Yakin ‘Toba Blue’ jadi Tren Warna Internasional

Merdi Sihombing
Merdi Sihombing

 

SETELAH 10 tahun mengenal, mengeksplorasi, dan mengaplikasikan kehidupan modern dari kesederhanaan masyarakat di pelosok, desainer Merdi Sihombing akhirnya menyelesaikan buku perjalanan tenun dari barat ke timur Indonesia.

 

***

“ULOS tidak hanya perlu dilestarikan, tapi juga perlu dikembangkan. Salah satunya adalah dengan membuat songket,” kata Merdi Sihombing usai peluncuran buku pertamanya ‘Perjalanan Tenun’ di Alun-alun Grand Indonesia, Jakarta, Selasa (12/8).

 

Meluncurkan buku pertama berjudul ‘perjalanan tenun’, desainer kelahiran Medan, Sumatera Utara ini mendapatkan banyak pujian. Pasalnya, buku yang ditulis selama 10 tahun ini memiliki tujuan serta harapan terhadap kelangsungan tenun asli Indonesia.

 

Buku berjudul ‘Perjalanan Tenun’ yang sangat menginspirasi itu secara resmi diluncurkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu. “Saya bahagia sekali rekam jejak Merdi Sihombing dalam buku yang diluncurkan hari ini. Apa yang sudah dicapai semoga bisa menjadi referensi bagi orang lain,” kata Mari Elka memberikan sambutan pada peluncuran buku Merdi.

 

Menurut Mari, buku ini merupakan suatu kreativitas yang sangat membanggakan “Banyak sekali daerah pedalaman yang telah disentuh Merdi Sihombing tentang tenun. Terutama yang menarik adalah mengenai pewarnaan alam dan penggunaan serat alam sebanyak 100 persen asli Indonesia,” tutupnya.

 

Setelah ‘wara-wari’ selama 10 tahun dalam memelajari tenun hingga ke pelosok Indonesia, Merdi memang menggunakan kembali pewarna alam yang sudah ditinggalkan. Dari tanaman indigo, fesyen dan tekstil desainer ini menciptakan warna biru yang diberinya nama ‘Toba Blue’.

 

“Dulunya, suku Baduy menggunakan warna biru yang berasal dari tanaman indigo untuk membuat warna pada kain mereka sendiri, namun sekarang sudah menghilang,” kata Merdi.

 

Tanaman indigo yang tumbuh di sekitar Danau Toba, Merdi telah membuat teknik khusus dalam menciptakan pewarna alami untuk kain yang berwarna biru. Ia pun membuat sendiri perkebunan indigo sebagai bentuk pelestarian terhadap pewarnaan kain yang menggunakan bahan-bahan alami.

Merdi Sihombing saat Jakarta Fashion Week 2009.
Merdi Sihombing saat Jakarta Fashion Week 2009.

 

Dengan menggunakan indigo, pria berdarah Batak ini melakukan teknik dye secara manual. Melalui proses permentasi, warna yang dihasilkan adalah hijau kekuningan. Setelah itu, dengan proses pencelupan warna tersebut berubah menjadi biru hanya dengan bantuan oksigen. “Toba Blue akan menjadi tren warna internasional,” kata Merdi dengan mantap.

 

Apa alasan Merdi meluncurkan buku? “Saya mencoba mengangkat apa yang tidak diangkat orang lain. Selain itu, memang harus ada orang yang mengangkat tentang tenun ini,” kata Merdi.

 

Selain itu, pria kelahiran bulan Mei ini, memiliki rasa keprihatinan terhadap tenun di Indonesia. “Semua-semua ditulis sama orang bule. Dari situ saya berpikir mengapa kita tidak bisa membuatnya sendiri. Lalu kita buat ceritanya mengenai tenun dalam dokumentasi yang berguna untuk penerus,” jelas Merdi.

Setelah menelurkan buku pertama ini, Merdi tidak takut jika karyanya serta teknik-teknik pembuatan serta pewarnaan tenun di dalam buku tersebut akan ditiru orang lain. Buku seharga Rp550.000 berisi mengenai cerita perjalan tenun dari Batak, Baduy, NTT, Kalimantan, Papua dan lainnya.

“Memang untuk menjadi trendsetter kita harus ditiru. Kalau tidak, sama saja hasil karya kita tidak bagus. Tidak perlu takut karena kita memiliki kreatifitas tanpa batas. Jika mereka tiru, kita bisa buat yang lain,” tukasnya.

 

Dalam memproduksi tenun, Merdi mengaku memberlakukan fair trade kepada para perajin tenun.

 

Fesyen sekaligus tekstil desainer ini merasa bahwa perajin tenun sekarang ini sering diperlakukan tidak adil. Dengan kerja keras yang dilakukan, mereka hanya mendapat sedikit upah sedangkan para pedagang yang mengambil pasokan kain dari perajin menjualnya dengan harga yang jauh lebih tinggi.

 

“Misalnya saja pedagang membeli kain dari perajin seharga Rp500.000, lalu kemudian dijual kembali dengan harga Rp2.500.000. itu kan tidak adil, tidak fair,” kata Merdi.

 

Untuk menghargai mereka sebagai perajin, desainer yang belakangan jadi langganan selebritas dan kelompok jet-set Batak ini memberlakukan sistem bagi hasil dalam produksi tenunnya. Pembagian hasilpun disesuaikan dengan kerja dan usaha yang telah dilakukan untuk membuat suatu fair trade.

 

“Saya tidak terlalu hitung-hitungan, pokoknya ada jasa, desain dan promosi. Itu semua dihitung kemudian dibagi. Yang pasti angkanya (yang didapat perajin) bisa dua kali lipat dari orang. Saya tidak ingin menekan perajin dan menguntungkan pedagang,” dia meyakinkan.

 

Merdi menyebutkan semakin banyaknya desainer yang kini menggunakan dan mengembangkan tenun perlu diapresiasi. Namun, menurut fesyen dan tekstil desainer, kata dia, perlu ada etika dalam memerlakukan kain tenun.

 

Banyaknya orang yang kini membuat pakaian dari tenun secara tidak langsung dinilai telah merusak nilai tenun itu sendiri. Pasalnya tenun memiliki cerita serta filosofi mendalam yang tertuang dalam kain tenun itu sendiri. Dengan menggunting tenun secara acak, maka akan meninggalkan makna mendalam dari kain tenun sendiri.

 

“Harus ada etika dalam memerlakukan kain-kain tenun. Tidak boleh ada pengguntingan di tengah kain tenun itu sendiri,” kata Merdi.

Menurut pria kelahiran Medan ini, motif yang ada di kain tenun itu bercerita dengan filosofi yang mendalam. Merdi mengerti kini orang-orang sedang memiliki euforia dalam menggunakan dan memakai tenun. Namun hal tersebut harus dibarengi dengan edukasi.

 

“Kalau mau digunting, benar-benar harus di desain dengan matang. Dipotong atau digunting dari motif awal, jangan sampai digunting di tengah motif. Kalau bisa dilipit-lipit saja,” tukasnya.

 

Sebagai seorang putra Batak, Merdi juga komitmen untuk selalu melestarikan ulos. Dia juga akan memberikan sentuhan baru dan modern pada ulos-los rancangan terkininya.

 

Ulos sebagai kain identitas suku Batak dikenakan dalam berbagai acara, dari kelahiran, pesta, hingga upacara kematian. Diakui Merdi, suku Batak hanya mempunyai ulos dan tidak memiliki songket.

 

Namun, setelah melalui pengembangan, pria yang sempat berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tersebut membuat suku Batak kini memilki songket. Ia menciptakan songket dengan mengambil inspirasi dari beberapa ulos yang sudah ada.

 

“Ulos Tumtuman digunakan untuk ngeceng (bergaya, Red) pada raja dahulu kala, itu yang menjadi inspirasi songket Batak saya. Diwarnai dengan daun randu dan dikerjakan di Samosir oleh sekelompok anak muda di sana,” tutupnya. (bbs/val)