Cintai Ulos Batak, Kampanyekan Tenun Manual

Poster film dokumenter Rangsa ni Tonun produksi Sandra
Poster film dokumenter Rangsa ni Tonun produksi Sandra Niessen.

Kecintaan yang luar biasa terhadap tekstil tenun Batak mendorong Sandra Niessen, seorang Antropolog yang berbasis di Belanda, memproduksi film berjudul ‘Rangsa ni Tonun’. Selain bicara sejarah panjang dan filosofi ulos, film ini sekaligus menggambarkan kondisi krisis dan kegelisahan komunitas di Tanah Batak yang berjuang mengembalikan tradisi pembuatan ulos yang orisinil dengan alat tenun manual (backtrap).

***

DILANSIR dari Fibre2fashion News Desk, Niessen prihatin atas tenun asli Batak yang dikerjakan secara manual sudah berada di ambang kepunahan. Kain hasil pintalan mesin tangan, yang nota bene salah satu bentuk tertua dari kain tenun adat di Indonesia ini, mulai langka menyusul melonjaknya permintaan konsumen terhadap ulos yang diproduksi secara massal dengan harga relatif murah.

Sejarah ratusan tahun menggambarkan betapa alat tenun backstrap yang digunakan para penenun ulos di suku Batak Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan kelompok etnis Mandailing adalah benda bersejarah yang menenun ulos yang taka hanya melindungi tubuh dan jiwa, tapi juga dianggap sebagai simbol dan kehormatan.

Namun, sayangnya, penurunan permintaan kain ulos yang dihasilkan oleh alat tenun backstrap ini membuat teknik menenun ini secara bertahap menghilang dan menyusut jumlah petenunnya.

Dalam film tersebut, Niessen memvisualiasi proses produksi ulos secara manual yang biasanya memiliki pola zig-zag, melingkar atau bunga yang dirancang dari campuran benang warna-warni yang dicelupkan ke dalam ekstrak tanaman lokal seperti ‘salaon’ yang menghasilkan warna biru) dan ‘bangkudu’ (dalam bahasa Latin: Morinda citrifolia) untuk menghasilkan warna merah atau kemerahan.

Ada yang unik dalam proses tenun ulos secara manual tersebut. Pola ditenun di atas media kain tambahan dengan menggunakan teknik substitusi warp dimana set kedua benang lungsin putih digunakan menggantikan benang lungsin berwarna untuk bagian kain yang lain selama penenunan. Teknik ini digunakan untuk berbagai motif, termasuk ‘Bulang’, kain di kepala yang biasanya dikenakan oleh perempuan Batak yang sudah menikah di pesta pernikahan atau acara duka cita.

Tekstil ulos Batak yang unik dalam motif dan proses pembuatannya itu menggelitik hati Niessen untuk membawanya ke dalam dunia mode. Untuk menuntaskan obsesinya, Niessen merenung, film adalah media yang paling cocok dan kuat untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat di berbagai belahan dunia. Dari sini lah Niessen terinspirasi membidani kelahiran film ‘Rangsa ni Tonun’.

Dalam film tersebut, Niessen memasukkan tradisi sastra lisan Batak yang diperkaya dengan nasehat (umpasa) yang puitis sebagai media penyampai pesan. Skenarionya dicuplik dari hasil karya sastra (puisi) Guru Sinangga ni Adji yang ditulis pada 1872. Puisi ini juga secara umum mengisahkan langkah demi langkah proses teknik tenun dalam suku Batak.

Dibuat dalam rentang tahun antara 2010 dan 2013, film yang uniknya juga disutradarai oleh seniman berdarah Jawa, MJA Nashirini, itu memperlihatkan sejumlah desa (huta) di Tanah Batak yang berkukuh melestarikan tekstil tenun secara manual. ”Saya percaya film ini akan memberikan inspirasi pada budaya lokal dan tradisi tenun Batak yang sekarang ini kondisinya krisis dan terancam punah,” katanya.

Ketertarikan Niessen pada ulos Batak dimulai pada 1979, saat dirinya belajar dan menulis tentang budaya Batak di Universitas Sumatera Utara (USU), khususnya tradisi tenun Batak. Sebelum menginjakkan kaki ke Medan dan sejumlah desa di tanah Batak, selama hampir 15 tahun Niessen sibuk mengajar di University of Alberta, Kanada sembari bekerja sebagai kurator (pengurus atau pengawas institusi warisan budaya atau seni, Red) di berbagai museum di Eropa dan Kanada.

‘Rangsa ni Tonun’ adalah film pertamanya. Buku terbarunya diberi judul sama dengan film pertamanya tersebut. Niessen juga sudah menulis sejumlah buku. Salah satu bukunya adalah biografi penelitian tentang asal-usul dan sejarah panjang keluarga besarnya di Belanda yang terpecah dan berakhir lantaran Pertempuran Arnhem. ”Buku ini menandai awal penelitian saya tentang sejarah lokal Belanda,” tukasnya.

Selain penulis, pembicara seminar, peneliti, dan pengajar, minatnya pada museum etnografi ikut memperkaya wawasan pengetahuan Niessen. Dalam beberapa kali undangan, dia juga berkontribusi untuk katalog museum, koleksi museum dokumen, dan berpartisipasi dalam pameran.

Pada tahun 2006, lewat kurator Woven Worlds, Niessen menyelenggarakan pameran yang mengisahkan sejarah pengumpulan tekstil Batak di Tropenmuseum, Amsterdam, Belanda.

”Atas jasa sebuah yayasan, saya juga menggelar pameran di Yogyakarta pada tahun 2011,” ujarnya.

Boleh dibilang, film ‘Rangsa ni Tonun’ merupakan puncak dari tiga puluh tahun penelitian Niessen menggali dokumen dan perbendaharaan lisan soal jenis tekstil tenun Batak dari berbagai sub-etnis, seperti Toba, Karo, dan Simalungun.

”Saya melihat ada warisan yang begitu kaya yang segera luntur. Tradisi ini harus segera diselamatkan. Saya menyaksikan penurunan yang cepat dalam seni tenun Batak. Sesuatu harus dilakukan. Bagaimana pun para penenun tradisional membutuhkan akses informasi tentang pasar (produk) mereka,” katanya. (val)