Paling Sulit Cegah Pengunjung Naik di Bebatuan

Koordinator Juru Pelihara Situs Gunung Padang Nanang, dalam empat tahun terakhir kesibukan mereka semakin padat. Sebab, semakin banyak orang yang mengunjungi situs tersebut.
Koordinator Juru Pelihara Situs Gunung Padang Nanang, dalam empat tahun terakhir kesibukan mereka semakin padat. Sebab, semakin banyak orang yang mengunjungi situs tersebut.

M. HILMI SETIAWAN, Cianjur

Meski di kawasan pegunungan, situs cukup mudah dijangkau. Jalan 30 kilometer dari Kota Cianjur menuju lokasi situs sudah mulus beraspal. Untuk mencapai puncak Gunung Padang, pengunjung bisa melewati dua jalur. Satu jalur memiliki kemiringan yang lebih curam, namun jaraknya relatif pendek. Sebaliknya, jalur lainnya lebih landai, tapi jaraknya lebih panjang karena jalan selebar 1 meter itu mengitari bukit.

Berada di ketinggian 855 meter di atas permukaan laut (dpl) Gunung Padang, udara sangat sejuk. Hamparan kebun teh yang mengelilingi situs megalitikum yang dibangun pada 5.000 tahun sebelum Masehi itu menambah nyaman tempat tersebut untuk melepas penat. Apalagi, untuk masuk area itu, pengunjung ditarik tiket sangat murah. Hanya Rp 2.000 bagi orang Indonesia dan Rp 5.000 bagi turis asing.

Begitu sampai di lokasi, pengunjung akan disambut para juru pelihara yang bertugas menjaga peninggalan sejarah yang bernilai tinggi itu dari berbagai aktivitas yang tidak bertanggung jawab. Para juru pelihara tersebut setiap hari, siang malam, harus berada di lokasi meninggalkan, kehidupan ramai di bawah (kota). Termasuk keluarga masing-masing. Mereka para PNS (pegawai negeri sipil) terpilih dari Pemkab Cianjur, Pemprov Jawa Barat, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Menurut Koordinator Juru Pelihara Situs Gunung Padang Nanang, dalam empat tahun terakhir kesibukan mereka semakin padat. Sebab, semakin banyak orang yang mengunjungi situs tersebut.

’’Sekitar empat tahun terakhir kunjungan orang ke sini naik tajam,’’ kata Nanang ketika ditemui Jawa Pos Rabu dua pekan lalu (17/9).

Bahkan, yang mengejutkan, kata Nanang, pada 2012 rata-rata ada 10 ribu orang per bulan. ’’Bahkan, pernah dalam sehari 6.000 pengunjung. Itu rekor tertinggi kunjungan ke situs ini,’’ tuturnya.

Pada hari libur nasional biasanya pengunjung melimpah. Banyak warga dari kota yang memanfaatkan tempat rekreasi baru tersebut untuk melepas lelah dan mencari udara segar. Nah, saat itulah Nanang dkk harus kerja ekstrakeras. Sebab, tidak sedikit pengunjung yang penasaran, lalu memegang, menduduki, bahkan mencoret-coreti. Karena itu, Nanang bersama delapan petugas lain harus rajin mengelilingi situs seluas 3 hektare tersebut untuk memastikan para pengunjung tidak melakukan hal-hal yang membuat warisan budaya itu rusak. Fokus mereka adalah area utama situs yang mencapai 900 meter persegi. Ketika pengunjung sangat ramai, pengawasan difokuskan di area yang terdiri atas lima undak berjajar itu.

”Sebisa mungkin setiap juru pelihara dapat mengawasi gerak-gerik pengunjung satu per satu,” tegasnya.

Salah satu hal yang paling sulit dilakukan Nanang dkk adalah mencegah pengunjung naik ke batu-batu balok yang masih berdiri. Batu berukuran jumbo itu memang benda favorit untuk pengambilan foto.

Dulu, ketika pengunjung masih sepi, banyak batu yang masih berdiri tegak. Batu-batu itu membentuk sekat-sekat mirip kotak-kotak ruang. Namun, setelah banyak pengunjung yang sering menduduki atau menaiki, kini banyak batu tersebut yang roboh. Akibatnya, bentuk sekat-sekat ruangnya ikut rusak. Itulah yang sangat disayangkan karena kecerobohan pengunjung itu membuat konstruksi situs berubah.

Konon setiap undak di situs tersebut digunakan sebagai tempat pemujaan warga pada masa Prasejarah, sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Semakin tinggi undak yang digunakan memanjatkan doa, semakin tinggi derajat keagamaan masyarakat setempat.

”Sangat disayangkan kalau batu-batu yang masih berdiri itu akhirnya roboh. Memang, paling sulit adalah mencegah pengunjung untuk tidak menaikinya,” papar Nanang.

Tidak hanya bisa merusak situs, aksi nakal para pengunjung bisa membahayakan mereka sendiri. Sebab, batu-batu itu hanya tertancap di tanah. Tidak ada fondasinya. Dengan demikian, bila tidak kuat menahan beban di atasnya, batu-batu tersebut bisa-bisa roboh dan menimpa pengunjung. ’’Ini yang kami khawatirkan selama ini,’’ ungkapnya.

Menjadi juru pelihara situs Gunung Padang sejak 1994, Nanang merasakan banyak suka dan dukanya. Sebab, pekerjaan itu termasuk profesi yang tidak biasa bagi orang di sekitar Gunung Padang. Orang-orang di sana umumnya lebih tertarik menjadi pedagang atau petani. Banyak juga yang memilih merantau ke kota, termasuk Jakarta.

”Sejak muda saya diperkenalkan ke situs ini oleh orang tua. Itulah yang membuat saya tertarik menjadi juru pelihara di sini,” kenangnya.

Awalnya Nanang bekerja secara swadaya alias pegawai honorer untuk menjaga situs itu. Mereka mendapatkan gaji dari uang yang disisihkan dari pemasukan tiket masuk. Dia rata-rata mendapat honor Rp 500 ribu per bulan.

Tetapi setelah diangkat menjadi PNS pada 1997, kesejahteraan Nanang meningkat. Dia juga bekerja seperti halnya PNS pada umumnya, mulai pukul 08.00 hingga 15.00. Tapi, kadang harus melembur karena ada pengunjung yang datang malam hari untuk melakukan kegiatan ritual.

Para juru pelihara situs Gunung Padang kompak tidak mengenakan pakaian seragam PNS pada umumnya. Tetapi mereka menggunakan pakaian adat Sunda lengkap dengan ikat kepala. Ornamen busana lain yang tidak boleh ketinggalan adalah pin kujang yang menempel di baju. Kujang merupakan senjata adat orang-orang Sunda. Penggunaan pin kuningan berbentuk kujang itu sebagai tanda bahwa para juru pelihara bertekad untuk melestarikan kebudayaan orang-orang Sunda.

’’Kalau tidak ada yang mau peduli dengan situs ini, kami tidak tahu bagaimana kondisinya nanti,’’ ujar Asep Sudrajat, juru pelihara yang lain.

Di antara sembilan juru pelihara Gunung Padang, Asep memang paling senior. Pria berusia 46 tahun itu memulai karier sebagai petugas penjaga cagar budaya itu sejak 1986. Saat itu, dia hanya berdua dengan kawannya, Dahlan. Itu pun statusnya ’’tidak jelas’’. Yang penting, katanya, dia ingin situs prasejarah itu tidak dirusak orang.

’’Ketika itu masih banyak batu yang belum muncul seperti sekarang. Banyak yang masih tertutup tanah dan rumput-rumput tinggi,’’ kata Asep yang tinggal tidak jauh dari situs Gunung Padang itu.

Situs Gunung Padang ditemukan pada 1949 oleh warga. Tapi, dikelola secara resmi pemerintah mulai 1979. ’’Meski kami hanya dua orang, dulu kerjanya tidak terlalu berat. Karena pengunjungnya belum seramai sekarang,’’ ujar Asep.

Situs Gunung Padang mulai ramai dikunjungi empat tahun terakhir. Hal itu setelah staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bidang bencana, Andi Arief, menyebut di dalam situs Gunung Padang terdapat bangunan berbentuk piramida. Sejak itu, berbagai penelitian arkeologi kembali digiatkan. Sejak itu pula orang berduyun-duyun ingin menyaksikan dari dekat bangunan piramida raksasa di gunung tersebut.

Asep mengatakan, menjaga situs Gunung Padang merupakan suatu kehormatan. Sebab, tidak setiap warga setempat bisa menjadi petugas situs purbakala itu. Hanya orang-orang terpilih yang boleh menjadi juru pelihara.

’’Sejak lahir saya sudah punya ikatan dengan situs Gunung Padang ini,’’ tuturnya.

Sebab, Asep dilahirkan di sebuah lembah tidak jauh dari situs tersebut. Sayangnya, desa tempat Asep dilahirkan itu kini sudah hilang karena disapu banjir bandang. Dia pun harus pindah ke desa lain.

Sebagai juru pelihara paling senior, Asep memang paling mahir menjelaskan situs Gunung Padang dengan lebih detail. Dia menyebutkan bahwa situs itu merupakan tempat pemujaan bagi nenek moyang. Hal itu karena lokasi situs yang menghadap ke Gunung Gede dan Gunung Parangro di seberangnya. Menurut kepercayaan orang tempo dulu, dua gunung itu merupakan poros untuk memuja sang pencipta.

Gunung Padang juga berada di tengah beberapa gunung besar. Di sisi barat ada Gunung Karuhun, sisi timur Gunung Pasir Malang, dan di selatan Gunung Malati, Gunung Pasir Empet, serta Gunung Batu.

Menurut Asep, meskipun situs Gunung Padang dipercaya sebagai peninggalan 5.000 tahun SM, tetapi pernah digunakan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa Barat. Di antaranya Kerajaan Pajajaran dan Kerajaan Siliwangi. Hal itu dibuktikan dengan penemuan koin-koin berlubang dari Tiongkok di kolam bagian depan area situs. Koin-koin tersebut berada pada zaman Kerajaan Siliwangi.

Waktu itu diduga ada kepercayaan, setiap warga selesai mengunjungi situs ini untuk memuja harus melemparkan uang logam ke kolam tempat menyucikan kaki. Dengan harapan akan mendapatkan rezeki berlebih atau hal baik lainnya.

Selain penemuan koin, di area lokasi situs juga ditemukan pecehan-pecahan keramik dari Dinasti Ming (1386 – 1644) dan Dinasti Song (960-1272). Pecahan keramik itu mengindikasikan situs Gunung Padang pernah menjadi tempat para petinggi kerajaan yang sedang berkuasa di Jawa Barat.

Asep menuturkan, sampai saat ini situs Gunung Padang masih dimanfaatkan orang-orang aliran kepercayaan untuk berdoa. Pada hari-hari tertentu, mereka datang ke Gunung Padang untuk menjalankan ritual. ’’Mereka membawa serta sesaji yang diperlukan dalam menjalankan ritual itu,’’ tutur Asep.

Asep berharap situs Gunung Padang bisa terus dipelihara sebaik-baiknya. Bahkan harus dilindungi dari upaya-upaya yang merusak peninggalan sejarah lama tersebut. Sehingga keberadaannya bisa diwarisi anak-cucu nanti.

’’Ketika masuk ke situs ini, pengunjung semestinya juga merasakan sebagai juru pelihara. Mereka harus ikut memelihara situs yang masih menyimpan banyak misteri ini,’’ pungkasnya. (*/ari)