Dipentaskan Keliling Eropa demi Danau Toba

 

Foto:  Bedah Buku Perempuan di Pinggir Danau Toba di Unimed.
Foto: Puput Damanik/Sumut Pos
Bedah Buku Perempuan di Pinggir Danau Toba karya Lena Simanjuntak, di Unimed, Selasa (14/10/2014).

Puput Julianti Damanik, Medan

Setidaknya seperti itulah adegan pertama yang diungkapkan oleh seorang perempuan dengan gaya andung Batak dalam cerita Opera Batak Perempuan di Pinggir Danau yang rencananya akan dibawa keliling Eropa.

Teks adegan tersebut jelas terpapar di buku naskah drama Perempuan di Pinggir Danau karya Lena Simanjuntak yang dilaunching di Gedung Adiministrasi Unimed, Selasa (13/10). Keras di dalamnya sebuah harapan akan terwujudnya Danau Toba yang bersih dan dilindungi secara Internasional. Masuk ke jaringan Global Geopark UNESCO.

“Jauh di dalam buku ini, tersimpan harapan akan kepedulian masyarakat terhadap Danau Toba. Kerusakan Danau Toba secara geografis akan mengganggu Sumatera, namun kerusakannya juga akan dirasakan oleh seluruh dunia. Kami mendorong agar Danau Toba dapat masuk ke jaringan Global Geopark UNESCO dan kami akan bawa naskah ini keliling Eropa agar mereka dapat melihat,” ujar Lena menggebu.

Ide Lena membuat buku naskah ini ternyata sudah ada sejak ia melihat Danau Toba dengan sampah-sampah plastik di pinggirannya 20 tahun yang lalu. Yah, istri dari Mertes, warga negara Jerman ini memang sejak kecil berpindah-pindah tempat tinggal karena tututan pekerjaan ayahnya.

“Tapi setiap liburan saya dibawa ibu saya pulang kampung. Ibu saya sering bercerita dengan bangga tentang kisah Danau Toba, makanya sangat disayangkan bila Danau Toba yang menjadi kebanggaan harus rusak. Saya dulu sering termenung duduk sendiri di pinggir danau,” ujar Lena.

Perenungan setelah melihat Danau Toba, ternyata menggusarkan hati Lena. “Saya melihat air begitu tercemar, korban pertama yang tercemar itu adalah perempuan. Karena mereka orang pertama yang bergaul dengan air. Perempuan dan air tak dapat dipisahkan. Saya juga menceritakan bagaimana kerja keras perempuan untuk mensosialisasikan menghormati alam, dan lingkungan. Saya ingin mengembangkan metode teater atau opera Batak untuk menyosialisasikan banyak hal, mulai dari melestarikan alam, dan siapa saja korban akibat tercemarnya air,” kata Lena.

Naskah lena selain berbahasa Indonesia juga lengkap dengan Bahasa Inggris, Bahasa Jerman, Bahasa Batak, dan yang menggunakan aksara Batak Toba. “Dengan 5 bahasa di dalamnya saya harapkan opera ini bukan hanya untuk lokal, tapi juga nasional dan internasional,” ujarnya.

Pemateri yang menguliti isi buku ini pun langsung para pengamat seni dan budaya yakni Robert Sibarani, Flores Tanjung, dan Ichwan Azhari. Disela-selanya adapula monolog yang tampilkan oleh budayawan Thomson HS, dan dihibur oleh Musik Mukhlis , grup ‘Gordang Hawa’.

Buku ini ditulis hanya beberapa bulan namun perenungannya selama 20 tahu hingga akhirnya diterbitkan pada 2013 dan dicetak untuk universitas-universitas di dalam negeri dan juga disebar di luar negeri yang memiliki jurusan Ilmu Budaya. Sebelumnya, beberapa karya Lena Simanjuntak adalah Suara-suara diangkat dari kisah nyata kehidupan para pekerja perkebunan dan nelayan di Sumut, kemudian Ibu-ibu diangkat dari kisah ibu rumah tangga yang mengalami kekerasan dan dominasi.

Rektor Unimed, Ibnu Hajar, dalam kata sambutannya menuturkan, membaca karya Lena membuatnya balik mengingat teatrikal kampung yang kerap kita dengar dahulu, namun uniknya dibungkus dengan sosialisasi lokal kehidupan di Sumatera Utara khususnya Danau Toba dengan cara dimainkan dengan cerita naskah Opera Batak.

“Isinya tentang kepedulian seorang wanita terhadap air bersih, hingga menyosialisasikannya hingga ke penjuru dunia. Mengetuk kita akan kebutuhan air bersih sehingga masyarakat sekitar maupun pendatang tidak membuang sampah dan menebang pohon. Dalam kisah inilah Lena menceritakan kekuatan perempuan untuk bertahan hidup, dan tanpa lelahnya mengajak orang perduli terhadap isu-isu air bersih dan melestarikan Danau Toba,” katanya.

Sementara Robert Sibarani sebagai pengamat dan pemateri buku ini menuturkan ada kesalahan pengartian makna di cetak Bahasa Inggris, dan Bahasa Bataknya. Dimana kata perempuan dimaksudkan sebagai gender, padahal setelah membaca isinya, buku ini menceritakan renungan, kekecewaan dan penderitaan perempuan-perempuan di Danau Toba terhadap pencemaran Danau Toba.

“Saya tahu betul dalam buku ini Lena ingin kembali mengenalkan tulisan tentang Batak dan merekapitulasi Opera Batak agar masyarakat khususnya yang masih muda dan tidak mengenal atau tidak pernah menonton Opera Batak bisa melihat,” katanya. (rbb)