Garap Proyek Pemkot dan Kirim Produk ke Supermarket


MENJELANG senja, 25 eks PSK dan mucikari terlihat semringah di depan salah satu bekas wisma di Dupak Bangunsari. Mereka menunggu mobilranger milik dinas sosial yang mengangkut peralatan masak dari Universitas Ciputra. Kala itu jam menunjuk angka 16.15.

Wajah penasaran bercampur cemas terlihat di raut mereka. Maklum saja, mereka bersemangat untuk berkarya dengan menggarap proyek pemkot. Yakni, pengadaan makanan untuk masyarakat lanjut usia (lansia) di bawah pembinaan pemkot.

Setelah menunggu 20 menit, mobil putih dengan pelat merah pun tiba di depan bekas wisma tersebut. Ani Sri Watiah, salah seorang di antara mereka, mengomando rekan-rekannya untuk mendekat. Mereka melihat kompor, wajan, piring, serok, dan peralatan masak lainnya di bak mobil itu. ’’Ayo rek, diangkut ke dalam,’’ ucapnya.

Satu per satu peralatan masak itu diturunkan dan dibawa ke dalam. Setelah selesai, Ani mencatat semua peralatan masak yang diterimanya sore itu. ’’Kami akan menggunakannya sebaik-baiknya,’’ ujarnya.

Maklum jika kalimat itu muncul dari mulut mereka. Sebab, peralatan tersebut hanya disewakan Universitas Ciputra kepada eks PSK dan mucikari. Tidak diberikan cuma-cuma. Artinya, sewaktu-waktu bisa diminta ketika kinerja mereka dinilai tidak layak.

Sambil mencatat, rekan Ani lainnya melihat satu per satu peralatan tersebut. Sekadar memastikan ada yang rusak atau tidak. Sesekali, guyonan pun muncul dari mereka. ’’Serok ini awet, kecuali dipakainampar muka orang,’’ ujar salah seorang eks PSK.

Guyonan lain pun muncul. Mereka saling menimpali sehingga suasana sore itu benar-benar gayeng. Ketidaksabaran untuk menunjukkan karyanya kepada masyarakat mulai terlihat. Misalnya, saat mereka melihat gambar sampel menu makanan yang diminta.

Di gambar itu, tampil menu nasi goreng, telur dadar, kering tempe, perkedel, dan mentimun. Bagi Ani, membuat menu seperti itu sangat mudah. Mereka yakin bisa lebih baik daripada menu yang ada di gambar tersebut. ’’Harga kami juga bisa lebih murah,’’ ucapnya.

Memang, keterampilan mereka sudah diuji pegawai di lingkungan dinas sosial. Salah satunya, sambal mereka dibandingkan dengan sambal restoran. Dua sambal itu diletakkan di piring yang sama tanpa tanda dari restoran dan buatan warga. Lima pegawai diminta mencoba. Kemudian, mereka memberi nilai di masing-masing piring tersebut.

Lalu, pegawai diminta mencicipi dan menilai. Sambal dari restoran mendapat total rata-rata nilai 80. Sambal buatan mereka dinilai rata-rata 78. Hanya terpaut dua angka. Kenyataan itu yang membangun mental mereka. ’’Produk kami tidak kalah. Kami yakin bisa memberikan yang terbaik,’’ ujar Ani.

Mereka menggarap proyek lansia untuk Kelurahan Krembangan. Sistem kerjanya, 25 eks PSK dan muncikari tersebut terbagi lima kelompok. Setiap kelompok diberi kesempatan seminggu. Setelah itu, mereka digantikan kelompok lainnya. Setelah semua merasakan garapan pemkot tersebut, dilakukan penilaian.

Harapannya, terjadi persaingan hasil produk di antara mereka. Mereka harus membuat menu yang menarik, lezat, dan tidak membosankan. Bagi mereka, sistem itu tidak sulit. ’’Kami sudah berlatih. Tinggal membuktikan,’’ ujar Reti, anggota kelompok lainnya.

Kinerja mereka mulai berlangsung awal Oktober lalu. Ani dan empat orang lainnya masuk kelompok pertama. Mereka menggunakan manajemen yang pernah diterima saat dibina tim dari Universitas Ciputra.

Mereka mulai menyusun menu selama seminggu. Tersusunnya menu bisa menentukan bahan yang harus dibelanjakan. Termasuk estimasi anggaran yang akan dikeluarkan. Untuk setiap menu, harganya Rp 10 ribu. ”Semua harus tepat,’’’ ujar Ani.

Artinya, belanja bahan tidak boleh berlebih sehingga banyak yang terbuang. Hal tersebut tidak sesuai dengan proses produksi yang ideal. Lalu, menu yang disajikan harus sesuai dengan keinginan pelanggan. Penilaian itu didasari pengalaman mereka bahwa pelanggan adalah segalanya.

Ketika pelanggan tidak puas dengan produk, prospek ke depan suram. Ani dan kawan-kawan pun berpikir demikian. Karena itu, semua produk buatan mereka selalu berorientasi pelanggan.

Dalam hal itu, pelanggan berusia di atas 50 tahun. Berarti rasa tidak boleh terlalu pedas. Lalu, lauk yang disajikan harus empuk alias tidak boleh alot karena tidak disukai mereka. ’’Semua harus dipikirkan detail,’’ paparnya.

Segala sesuatu sangat diperhitungkan. Mereka sudah bisa memperhitungkan laba yang didapat ketika mengerjakan proyek tersebut selama sepekan. Pola pikir bisnis sangat ditekankan. Mereka berusaha mengambil laba sekitar 15 persen agar nanti bisa repeatproduksi.

Namun, ada kendala saat pengerjaan proyek itu. Kelompok tersebut tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Akibatnya, mereka terkena potongan pajak 3 persen atau Rp 300. ’’Kalau kami punya NPWP, potongannya hanya 1,5 persen,’’ ungkap Ani.

Pola pikir yang dimiliki eks PSK dan muncikari itu muncul setelah satu bulan mengikuti pelatihan dari Universitas Ciputra. Pelatihan yang diberikan berkonsep beda. Biasanya, pelatihan dan pembinaan bersifat formal. Mereka duduk, mendapat materi dengan durasi satu jam. Lalu, mereka kembali ke rumah masing-masing.

Kali ini Universitas Ciputra menerapkan konsep totalitas. Awalnya, masing-masing eks PSK dan mucikari itu diberi Rp 50 ribu. Mereka diajak ke Pasar Atom. Mereka diberi kebebasan untuk membeli apa pun sesuai keinginan. ’’Di situ, bisa dilihat keinginan mereka,’’ ujar Antonius Tanan, presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC).

Ternyata, sebagian besar membeli peralatan memasak. Ada yang memilih serok, wajan, baskom, dan beberapa peralatan lainnya. Di situlah, tim dari UCEC memulai konsep selanjutnya.

Eks PSK dan muncikari itu kembali diajak berkeliling di sekitar Surabaya. Di sela-sela itu, mereka diajak mampir ke salah satu rumah makan di kawasan Kertajaya. ”Mereka kami ajak mencicipi sambal di restoran itu,’’ imbuh Anton.

Setelah merasakan sambal tersebut, Anton bertanya kepada kelompok yang diberi nama Kembang Melati itu. ’’Bagaimana rasanya, bisa tidak membuat sambal seperti ini,’’ tanyanya.

Awalnya, tidak ada yang berani menjawab tegas. Namun, dari raut mereka terlihat keyakinan mampu membuat sambal dengan rasa yang hampir sama. Anton bersama tim pun mengajak mereka kembali berkeliling Kota Surabaya.

Keesokannya, materi yang diberikan adalah produksi sambal. UCEC menyediakan bahan yang diperlukan. Eks PSK dan mucikari bertugas membuatnya. Setelah jadi, sambal mereka disajikan kepada pegawai untuk dinilai. ’’Ketika orang menilai positif produk mereka, mulailah bangkit mentalnya,’’ jelas Anton.

Pembelajaran tidak berhenti sampai di situ. Hari keempat, kelompok Kembang Melati kembali disuguhi beragam bahan pembuatan sambal. Saking semangatnya, mereka mengambil bahan sesuai kebutuhannya. Seketika itu, salah seorang tim pembina mulai melaksanakan perannya.

Diajarkan cara memilih bahan secara minimal tanpa mengurangi rasa. Tujuannya menekan biaya produksi tanpa menghilangkan kualitas barang tersebut. Konsep itu sangat mengena. Mereka tidak mulai berpikir menentukan bahan yang dianggap penting. Dengan demikian, biaya produksi bisa lebih murah.

Selesai memilih bahan, mereka melanjutkan pembuatan sambal. Tidak lebih dari dua jam, sambal ala eks PSK dan mucikari siap dihidangkan. Namun, kali ini tim dari UCEC tidak meminta untuk disuguhkan. Sambal tersebut dimasukkan ke botol yang sudah dipersiapkan.

’’Botol berisi sambal itu kami minta untuk mereka jual ke masyarakat,’’ tegas Anton. Lokasi penjualan ditetapkan di Taman Bungkul. Di situlah terlihat, mereka belajar memproduksi, mengemas, dan memasarkan. ’”Mentalitas terbangun dan siap bersaing di dunia nyata,’’ imbuh Anton.

Materi dari hari ke hari terus diberikan. Bukan lagi proses produksi. Tapi, mulai manajemen hingga administrasi. Banyak pengalaman yang mereka dapat. Semua terbukti saat penggarapan proyek pemkot tersebut. Eks PSK dan mucikari tidak lagi menganggur. Mereka mulai kebanjiran order. Baik katering maupun sambal buatan tangan mereka.

Sambil mengembangkan pasar, kesadaran legalitas mulai tertanam. Ani dan kawan-kawan mulai mengurus perizinan, NPWP, dan beberapa persyaratan lainnya. Ke depan, perempuan-perempuan itu siap memiliki perusahaan untuk bersaing di pasaran. (thoriq/c6/dos)