Tomorrowland dan Kisah Kedinginan di Amerika

Foto: Allaf Dzikrillah/Jawa Pos RANCAK: Angger Dimas saat beraksi meracik lagu.
Foto: Allaf Dzikrillah/Jawa Pos
RANCAK: Angger Dimas saat beraksi meracik lagu.

ALLAF DZIKRILLAH

Pulang dari sekolah dengan wajah muram, Angger kecil langsung merengek meminta ayahnya mengajari bermain gitar. Rupanya, bocah tujuh tahun itu diolok-olok teman-teman sekolahnya karena tidak bisa bermain gitar. Melihat kesungguhan anaknya, ayah Angger pun akhirnya mau melatihnya setiap pulang kantor.

Ajaran sang ayah membuat Angger jatuh cinta untuk kali pertama kepada musik. Hal itu juga membuat Angger semakin bersemangat untuk terus belajar. “Saya berlatih dua jam sehari. Main kunci dasar sampai ngerti cara berimprovisasi,” ungkapnya.

Kemampuan Angger bermain gitar terus meningkat. Apalagi ayahnya mengenalkannya dengan musik-musik antimainstream seperti musik dari band asal Jerman Heatwave, musik dengan sedikit vokal dan lebih banyak menggunakan instrumen.

Sebulan belajar bermain gitar, Angger akhirnya mendapat pengakuan dari teman-temannya. Dia pun semakin bersemangat bermain gitar. Bahkan, saat baru berusia 13 tahun, Angger sudah menempati posisi lead guitar di band indie Tanpa Nama. Namun, band itu bubar pada 2008.

Bubarnya Tanpa Nama tidak membuat putra pasangan Agus Riyanto dan Tri Rahayu tersebut berhenti bermusik. Dia tetap memiliki rasa ingin tahu mengenai beragam jenis genre musik. Hingga suatu hari, dia mengenal genre electronic dance music (EDM).

“Pertamanya bingung, kok bisa orang-orang nikmati musik yang nggak ada vokalnya. Dari situ, saya mikir bahwa musik elektronik ini bersifat universal. Dengan instrumen saja, orang dari belahan dunia mana pun bisa menikmati musik ini,” terang pria yang bernama lengkap Raden Angger Dimas Riyanto tersebut.

Dia pun mulai mengunduh aplikasi Fruity Loops, sebuah perangkat lunak untuk mengedit musik. Tidak butuh waktu lama bagi Angger untuk menguasai aplikasi tersebut. Angger pun menjadi disc jockey dan membuat sejumlah lagu elektronik.

Lagu-lagu racikannya dilirik sebuah kelab di daerah Jakarta Selatan. Pria penyuka nasi goreng itu pun ditawari untuk bermain di kelab tersebut. Layaknya orang yang baru mengendarai sepeda, pasti ada saatnya terjatuh. Angger pun mengalami hal itu. “Ada saatnya yang menonton pertunjukan saya nggak menikmati musik saya. Itu nusuk banget,” ujarnya.

Karena belajar secara otodidak, kemampuan Angger meracik lagu-lagu elektronik juga diremehkan beberapa home DJ di kelab tersebut. Namun, dia tidak menyerah dan belajar membuat musik yang lebih baik. Hasilnya langsung terbukti, dia menjadi DJ favorit di tempat itu.

Karir Angger pun meroket begitu cepat hingga membuat beberapa DJ yang sebelumnya meremehkan berbalik mengapresiasi perjuangannya. Apresiasi juga datang dari luar negeri. Mereka menyukai house music racikan Angger. Awal 2009, Angger ditawari bergabung dengan Vicious Record yang sangat tersohor di Australia. “Pertama ke luar negeri ya buat kerja. Alhamdulillah, mereka suka musik saya,” papar pria kelahiran 1 Maret 1988 tersebut.

Meski sudah go international, Angger tetap mengasah skill DJ-nya. Hasilnya, album perdananya, Duck Army, telah dimainkan beberapa DJ papan atas seperti Laidback Luke, Tocadisco, dan Joachim Garraud.

September 2009, seorang DJ kenamaan AS, Steve Aoki, memuji musik-musik ciptaannya. Bahkan, Steve mengaku sebagai fans Angger. “Kaget juga, ini orang ternyata dengerin remix saya. Padahal, saat itu dia (Steve) adalah DJ yang mendekati posisi 100 di dunia,” ucap Angger.

Dari perjumpaan di Jakarta, Steve mengajak Angger berkolaborasi dan mengikuti tur ke Amerika Utara. Tur saat musim dingin itu begitu membekas. Sebab, selama berkeliling di Amerika Utara, Angger mengaku tidak mandi. “Pemerintah Ottawa ternyata pelit air panas. Jadi, saya pilih nggak mandi berhari-hari karena nggak kuat dinginnya air di sana,” ungkapnya.

Pada 2013, Steve dan Angger mengeluarkan album remix bertajuk Phat Brams. Angger juga bekerja sama mengerjakan beberapa single dengan Steve. Yang paling booming adalah lagu berjudul Steve Jobs. Mereka menggandeng raper kenamaan Iggy Azalea untuk membuat lagu berjudul Beat Down.

Angger turut tampil dalam klip video lagu tersebut. “Pas itu mengenakan topi serigala dan scarf hitam putih sambil bilang beat down terus-terusan,” terang sulung dua bersaudara tersebut lantas tergelak.

Pada 2013, Angger juga mempromosikan album pribadinya, Angger Management. Total, selama lima tahun sejak 2009, Angger telah 17 kali melakukan tur internasional. Yakni, tujuh kali di Australia, lima kali di Eropa, dan lima kali di AS.

Angger juga kerap tampil dalam event Tomorrowland, acara besar pencinta musik elektronik di seluruh dunia yang diadakan di Boom, Belgia. Nama Angger makin dikenal setelah DJ Ranking menempatkannya di posisi ke-137 sebagai DJ terbaik dunia dan nomor wahid di Asia.

“If Nasi Goreng, the mash up of rice, egg and vegetables is Indonesia”s nation food dish then DJ and Angger represents Indonesia”s national music dish with his mash up of chopped beats and pumping synths that are topped off with some Dutch inspired spicy sounds!”

Itulah kalimat atau slogan andalan Angger di setiap akun profil miliknya. Melalui EDM, dia memang berusaha membawa nama Indonesia ke dunia internasional.

Meski berprestasi, sarjana hukum lulusan Universitas Padjadjaran tersebut memilih tetap low profile. Angger juga menolak senioritas dalam bermusik elektronik. “Karena itu, saya sangat menghargai siapa pun yang terjun ke dunia EDM,” papar Angger.

Dia mencatat, ada hal yang menggembirakan dalam perkembangan EDM di Indonesia. Menurut dia, EDM yang dulu hanya dikenal kalangan berumur 20 tahun ke atas kini sudah merambah anak-anak muda. EDM kini juga mulai tidak identik dengan kehidupan malam dan narkotika, melainkan sudah merambah ke tarian modern seperti break dance.

“Adik saya yang umur 14 tahun pernah merengek minta dikenalin sama Steve Aoiki. Rupanya, dia sangat menyukai Steve. Nah, pikir saya, ini anak umur segini udah seneng EDM. Saya dulu seumuran dia masih nge-fans Muse (band alternatif asal Inggris),” ujar Angger.

Dia tidak memusingkan predikat DJ terbaik dunia yang disandangnya. Angger lebih fokus pada penggarapan single bersama tim DJ-nya. “Kalau mikir peringkat, takutnya malah menjadi beban buat saya. Saya sih berkarya saja, biarkan orang lain yang menilai,” ungkapnya. (c5/noe)