Site icon SumutPos

Anti Klimaks GMT di Maba

Suhendro Boroma
Suhendro Boroma

Oleh: Suhendro Boroma

Dirut JPNN

“HANYA gerimis saja,” kata seorang fotografer dari Jakarta di Pantai Tanjung Buleu, Maba.  Saat itu, tinggal 24 menit menuju pukul 08.37 WIT, awal Gerhana Matahari Total (GMT) di ibukota Halmahera Timur (Haltim), Maluku Utara. Lokasi lintasan GMT terlama di Indonesia, 3,19 menit.

Sejak pagi di 9 Maret lalu awan seperti setia mengikuti pergerakan matahari di Maba. Tiba pukul 06.48 WIT, saya dan Dirut Malut Post Tauhid Arief melihat tiga titik pemantauan GMT di kota yang lautnya berhadapan dengan Samudra Pasifik itu. Yang pertama di Pendopo Jiko Mobon. Ini lokasi yang dipilih tim peneliti National Aeronautics and Soace Admijiatration dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Ada tiga teleskop yang sudah siap ‘menyantap’ peristiwa langka itu di halaman pendopo seluas  setengah halaman sepakbola itu. NASA dan LAPAN masing-masing menerjunkan 4 dan 7 peneliti. Koordinator tim peneliti dari NASA Dr Nat Gopalswamy,  ilmuwan dan ahli antrofisika terkemuka lembaga antariksa ternama di dunia.  Selama dua dekade Dr Nat melakukan penelitian gerhana di berbagai belahan dunia.

Kolaborasi tiga peneliti dan fotografer asal Ceko dan University of Hawaii, Amerika Serikat, mengambil posisi di selasar lantai 2 aula Kantor Bupati Haltim. Hanya satu teropong yang ditempatkan di bawah tenda. Tetapi kameranya enam buah. Dirangkai jadi satu perangkat yang terkoneksi ke dua laptop untuk merekam GMT.

“Moga cerah,” kata ketiganya di pukul 07.17 WIT. Tak berapa lama, sinar matahari 100 % menembus bumi. Ketiganya sumringah.

Tim peneliti dari University of Hawaii Amerika Serikat dan Brno University of Technology Republik Ceska (Ceko) berjumlah 15 orang. Tim ini dipimpin Xavier Jubier, astronom asal  Prancis.  Xavier dikenal luas sebagai tokoh di organisasi astronom dunia, International Astronomical Union (IAU).

Total peneliti asing yang terjun ke Maba 26 orang. “Yang terdaftar ke pemerintah, 62 orang,” kata Allen Guslow, Camat Maba. Allen, sepupu penyanyi Melly Guslow ini, bertugas menjemput semua tamu yang datang ke Haltim untuk menyaksikan GMT, karena Bandara Buli berada di wilayah pemerintahannya. Para peneliti itu tersebar di Buli, Pulau Tengah, dan Maba.

Di Maba, selain di dua tempat tadi, lokasi pemantauan lain di Pantai Tanjung Buleu. Ini lokasi utama warga awam dan turis menyaksikan GMT. Pemkab Haltim menyediakan tenda ukuran 30 x 6 meter menghadap matahari terbit. Lapangan terbuka di depan tenda dijadikan ‘panggung terbuka’ untuk antraksi tarian tradisional. Sekira 30 turis asal Eropa ikut duduk di dalam tenda, selain ratusan wisman asal berbagai daerah di Indonesia.

Bupati Haltim Rudy Erawan,  Wakil Bupati Mah Din, dan jajarannya berbaur dengan warga di tenda ini. Puluhan wartawan media cetak, elektronik dan online dari Jakarta melakukan aktivitas liputan di lokasi utama menyaksikan GMT di Maba itu. Saya ikut berbaur dengan mereka.

Gerimis makin deras, berubah jadi hujan. Ratusan orang lari ke dalam tenda. Yang lain lari ke pendopo yang sudah reot tak jauh dari tenda utama. Lainnya lagi bernaung di bawah tenda Dinas Perindustrian dan Perdagangan Haltim yang memajang brosur potensi wisata dan investasi di daerah kaya nikel itu.

“Biasanya setelah hujan matahari cerah,” kata seorang ibu yang jualan martabak di pendopo. “Moga begitu,” kata yang lainnya. Saya berguman, “tapi hujannya sampai kapan?”

Saat itu sudah pukul 09.36. Tinggal 18 menit menuju pukul 09.54, puncak GMT di Maba. Hujan belum juga reda. Tapi langit mulai terang. Tak lama, hujan berhenti.

Orang-orang kembali ke pantai dan memenuhi ‘panggung terbuka’ di sekitar tenda. Perlahan demi perlahan matahari menemhus bumi. Tanpa halangan.

Tapi itu tak cukup 2 menit. Setelah itu awan tebal melintas. Terbuka lagi, sekira 1 menit. Tertutup lagi 3 menit. Terbuka sebentar, lalu ditutup awan tipis hingga matahari hilang di balik awan.

Begitulah ‘drama’ GMT di Maba. Pukul 09.50 awan tipis menghalangi matahari. GMT sudah sekira 95%. Tak ada lagi yang berkedip. Semua sudah dengan kacamata khusus buat menyaksikan momen yang sudah ditunggu-tunggu itu.

Saya teringat peneliti NASA dan LAPAN di Pendopo Jiko Mobon. Juga penelti Ceko dan University of Hawaii di selasar lantai 2 aula kantor Bupati Haltim. Betapa sumringahnya mereka. Juga berdebar-debar. GMT 9 Maret 2016 yang hanya bisa disaksikan di Indonesia akan segera tiba. Di Maba, lokasi GMT terlama di dunia untuk momen kali ini.

Empat menit menuju puncak GMT, pukul 09.54 WIT, mungkin seperti penantian panjang yang hampir tiba di puncak. Gembira. Campur galau. Mungkin juga harap-harap cemas.

Awan tipis tak juga menjauh. Malah makin tebal. Tinggal 1,5 menit. Cahaya matahari terus meredup. Concin korona, bulatan di sekiling matahari saat GMT belum juga tampak. Awan terus setia. Tak beranjak. Menutup ‘persembahan’ GMT bisa tembus 100 % ke bumi.

Tak tahu apa perasaan 62 peneliti asing di Haltim. Terutama mereka yang di Maba. Detik demi detik penantian menuju puncak GMT seperti anti klimaks. Awan tak juga mau meninggalkan posisi matahari. Bami makin gelap. Cemas bercampur kecewa. Di tambah informasi lewat WA atau telepon dari seberang, “di Ternate cuaca cerah. GMT 100 % bisa dilihat.”

Saya membuka handphone. Segera menyaksikan siaran langsung beberapa stasiun televisi tentang GMT. Di Ternate, Palu dan Planetorium Jakarta. Silih berganti. Antara takjub dan kecewa. Juga iri oleh ekspresi kegirangan mereka yang menyaksikan GMT secara penuh.

Waktu terus bergulir. Puncak GMT di Maba akhirnya tiba. Pukul 09.54 mulai berlalu. Bumi seperti sudah hampir pukul 19.00. Tak ada tanda-tanda awan sirna.

Sempat agak menipis. Membersitkan harapan di sisa durasi 3,19 menit. Tapi ternyata awan tak mau kompromi. Meski tipis, tetap dengan setia menempel matahari. Hingga akhirnya, puncak GMT habis.

Di ujung penantian, awan mulai sirna. Tapi bulan sudah mulai meninggalkan matahari. Sekitar 3 %. Bumi kembali terang. Babak akhir yang menghibur. Kebalikan dari suasana menuju puncak GMT yang terus berawan.

Saat bulan perlahan-lahan meninggalkan garis lurus dengan orbit matahari, awan makin menghilang. Keindahan pasca GMT bisa disaksikan dengan takjub. Leluasa. Detik demi detik, menit demi menit berlalu. Bumi kian terang lagi. Bulan terus menjauh dari matahari.

Di stasiun televisi, terus saja disiarkan kegirangan orang-orang yang menyaksikan GMT tanpa halangan awan. Paling membuat iri bagi yang di Maba, mungkin di lapangan Swering Ternate. Ini titik paling dekat dengan Maba.

Malah untuk ke Maba, harus dengan pesawat atau perjalanan laut lanjut dengan bermobil ke Maba. Semua peneliti asing, domistik, turis dan wisman, juga wartawan dari luar Malut yang hari itu di Maba, pasti lewat Ternate. Karena hanya bandara Babullah Ternate pintu masuk yang paling mudah ke Malut, lalu ke Maba.

Ekspresi kegembiraan  ratusan turis asing dan domistik benar-benar terpuaskan di Ternate. Di lokasi GMT mencapai 3,9 menit. Terlama setelah di Maba. Dengan kualitas 100 %.

Di antara ribuan turis yang berbahagia di Ternate, banyak orang penting. Putri Thailand Maha Chakri Sirindhorn paling menarik perhatian. Sang putri datang dengan jet pribadi dari Bangkok. Dia mendapat kehormatan menyaksikan GMT dari Kedaton Ternate. Istana Sultan Ternate yang sudah berumur ratusan tahun.

Sudah tentu ratusan peneliti lain di Ternate dan Tidore merasakan kegembiraan yang luar biasa. Di bandara Babullah, mereka berjalan dengan wajah puas. Terus sumringah. Sambil berfoto ria. Mengambil momen-momen terakhir berlatar belakang Gunung Gamalama.

Entah mereka yang di Maba.

Hari itu sebagian langsung pulang. Tapi kebanyakan masih bertahan. Bergelut dengan kesunyian di Maba dan Buli. Dua kota yang kegiatan ekonominya menyusut lebih dari 70 % gara-gara larangan ekspor bahan mentah nikel.

Larangan amanat UU No 4/2009 tentang Minerba yang mengakibatkan ratusan ribu pekerja pulang kampung. Sebanyak 31 perusahaan tambang nikel di Haltim mati suri. Kebijakan yang membuat ekspor Malut nyaris bangkrut: terjun bebas 95,92 % pada 2014. Hingga kini.

GMT 9 Maret 2016 di Ternate mungkin menumbuhkan kembali harapan ekonomi daerah itu bangkit lama di Bumi kali ini, harapan itu anti klimaks. GMT yang bisa memberi kegembiraan sesaat di kala dirundung duka dan derita, juga tak bisa diraih. (*)

Exit mobile version