Site icon SumutPos

‘Nice’ Kita Level Berapa?

Azrul Ananda
Azrul Ananda

Ucapan ‘Orang itu baik sekali ya…’ mungkin pernah terlontar dari mulut kita. Mari kita uji, apakah itu ‘baik’ yang sebenarnya, dan kita ada di tingkat berapa.

***
Definisi ‘nice’ alias ‘baik’ bisa bergeser. Di mata satu orang dengan yang lain bisa beda. Dan setelah mengalami beberapa kejadian, seseorang bisa mendefinisikannya ke arah yang berbeda.

Seseorang tiba-tiba bisa menyadari bahwa ada level ‘nice’ alias ‘baik’ yang lebih tinggi, yang melebihi segala pemahaman dan ekspektasi kita sendiri.

Bagi beberapa orang, disapa ‘Halo’ saja sudah cukup untuk menganggap bahwa yang menyapa itu ‘nice’ alias baik.

Lalu, beberapa orang juga sudah sangat happy ketika tanya arah tujuan kepada seseorang, dan orang itu menuding ke arah jalan yang benar.

Misalnya, ketika ke pusat perbelanjaan, lalu tanya kepada orang yang sedang lewat: “Maaf Mas, toiletnya di mana ya?”
Kemudian, orang yang ditanya menjawab: “Ke sana, Mas…” sambil menuding ke arah yang dia maksud.

Kita pun menganggap orang itu ‘nice’ alias baik, dan membalas lagi dengan: “Terima kasih ya, Mas…”
Nah, itu ‘nice’ atau baik level berapa?
Mungkin, itu baru level satu. Masih ada beberapa tingkat lagi.

Soal tanya arah ke toilet, level berikutnya mungkin orang yang ditanya akan mendeskripsikan arah dengan lebih detail.

“Ke sana, Mas. Lurus kira-kira seratus meter, lalu belok kiri. Toiletnya ada di sebelah ATM.”

Kira-kira begitu.

Level tiga, dia akan ikut berjalan untuk memastikan yang bertanya tidak salah belok.

Level empat, dia bersedia mengantarkan sampai ke pintu toilet.

Mungkin untuk tanya toilet ini, levelnya hanya empat. Sebab, kalau dia sampai ikut masuk ke dalam, wah, ya bahaya…
Tapi, untuk hal-hal lain, mungkin ada level lima, enam, tujuh, dan seterusnya sampai infinity.

Nah, level ‘nice’ kita ada di level berapa?
Dalam beberapa hari terakhir, saya berada di Amerika Serikat. Dan seperti ketika saya tinggal di Amerika selama tujuh tahun dulu, negara-negara maju selalu mengingatkan saya level ‘nice’’ yang lebih tinggi.

Faizal, kakak istri saya yang ikut membantu memotret di Kejuaraan Dunia Cycling di Richmond, mengaku takjub ketika harus berebut tempat dengan orang-orang di salah satu kawasan paling populer untuk menonton.

Bukannya didorong-dorong atau digeser-geser, orang-orang di kanan-kirinya malah memberinya ruang untuk memotret. Bahkan memastikan dia dapat ruang yang cukup!
Padahal, pada event utama Minggu lalu (27/9), ada ribuan orang yang memadati lokasi tempat memotret itu!
Lalu, saya ingat beberapa rekan yang pernah merasakan pengalaman-pengalaman ‘nice’ level tinggi selama di Amerika.

Seorang seniman Surabaya pernah diterbangkan ayah saya ke Amerika. Datang bareng orang tua saya saat saya diwisuda. Rupanya, dia itu termasuk yang ‘anti-Amerika’ dan ayah saya ingin dia merasakan sendiri sebelum menyimpulkan.

Setelah orang tua saya pulang, dia stay di apartemen saya. Karena saya ada jadwal kuliah dan lain-lain, maka dia sering keluyuran sendirian, lalu kembali ke apartemen.

Seperti di kebanyakan film, saya menaruh kunci di bawah karpet depan pintu seandainya dia pulang duluan (dan selalu aman).

Suatu malam, dia bercerita takjub kepada saya.

Dia bilang, malam itu dirinya balik naik bus, dan hanya ada dia penumpang saat itu. Saat di pemberhentian, dia mengaku lupa jalan menuju apartemen saya, dan bertanya kepada sang sopir.

Karena kendala bahasa, dia tidak bisa memahami penjelasan sang sopir. Tapi, bukannya sama-sama stres, sang sopir yang ramah itu memutuskan untuk memarkir dulu busnya. Dia lantas ikut turun bersama seniman Surabaya itu, lalu ikut berjalan mengantarkan sampai gerbang apartemen, sekitar dua blok dari pemberhentian bus.

Setelah itu, sang sopir berjalan balik lagi ke busnya.

Itu ‘nice’ level berapa?
Ketika bercerita kepada saya, sang seniman sempat membuat saya tertawa terpingkal. Orang yang sebelumnya agak anti-Amerika itu sampai melontarkan ucapan, “Ternyata Amerika itu lebih Islami…”
Ada lagi cerita lain.

Pernah sepasang penulis dan fotografer harian ini pergi meliput ajang Miss Universe, waktu itu di kawasan Los Angeles.

Sempat tersasar, mereka bertanya kepada seorang pengemudi mobil tentang lokasi venue. Pertama-tama, yang ditanya minta maaf dan mengaku juga tidak tahu lokasi pastinya. Lalu, dia pun pergi.

Eh, tidak lama kemudian, mobil tadi kembali. Dia mengaku melewati lokasi yang dituju, dan kembali untuk memberi tahu wartawan harian ini. Rupanya, dia merasa punya ‘utang’ karena tidak bisa menjawab. Begitu tahu jawabannya, dia kembali.

Itu ‘nice’ level berapa?
Dan masih banyak lagi cerita lain yang serupa.

Ya, tidak semua orang di Amerika ramah. Sama seperti tidak semua orang di Indonesia ramah. Sama seperti tidak semua orang di Arab Saudi ramah. Sama seperti tidak semua orang di Australia ramah. Sama seperti tidak semua orang di Prancis ramah.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk bilang Amerika lebih baik, Indonesia lebih baik, Timur Tengah lebih baik, Australia lebih baik, dan lain sebagainya.

Sama sekali tidak.

Silakan Anda masing-masing memutuskan level ‘nice’ kita itu di level berapa. Dan kalau dibandingkan dengan orang lain, bedanya seperti apa.

Saya sendiri, terus terang, juga kayaknya gak level terlalu tinggi kok, wkwkwkwk. Sampai kadang malu juga karena sejak kecil saya selalu diajari bahwa negara kita ini ramah dan masyarakatnya ramah…
Sayang, buku pelajaran kita tidak pernah menuliskan ramahnya Indonesia itu di level berapa…
Selain itu, ‘nice’ atau tidak bergantung pada persepsi. Orang yang sebenarnya sangat, sangat baik, mungkin tidak disadari kalau baik karena tidak pernah banyak bicara. Atau mungkin, ada kelengahan sedikit yang mengakibatkan dia terkesan tidak nice.

Saya punya contoh lucunya.

Saya dan sahabat kuliah asal Jogja dulu jalan masuk ke sebuah mal di Sacramento. Di anak yang sangat baik, paling baik dan paling tidak bandel di antara kami semua waktu itu.

Ketika itu, dia jalan duluan di depan, membuka pintu masuk mal duluan. Dia tidak sadar, tidak jauh di belakangnya, ada seorang nenek yang juga ingin masuk.

Di Amerika, etiketnya adalah menahan pintu untuk orang berikutnya yang akan masuk, apalagi perempuan, anak-anak, dan manula.

Teman saya itu tidak sadar dan langsung membiarkan pintu tertutup. Sadar pintu itu akan menghantam sang nenek, saya melompat dan menahannya.

Nenek itu langsung menceletuk: “Terima kasih banyak. Kamu nice, teman kamu tidak…”
Wkwkwkwkwkwk…Padahal tidak sengaja!
Saya ceritakan kejadiannya kepada teman saya tadi, dan dia hanya bisa garuk-garuk kepala… (*)

Exit mobile version