Site icon SumutPos

KUA-PPAS Terlambat, Dewan Merasa Dijebak

Foto: Andika Syahputra/Sumut Pos Pelaksana Ketua DPRD Sumut, HT Milwan mengembalikan dokumen KUA-PPAS P-APBD 2016 kepada Ketua TAPD Pemprovsu, Hasban Ritonga, Kamis (29/9) lalu.
Foto: Andika Syahputra/Sumut Pos
Pelaksana Ketua DPRD Sumut, HT Milwan mengembalikan dokumen KUA-PPAS P-APBD 2016 kepada Ketua TAPD Pemprovsu, Hasban Ritonga, Kamis (29/9) lalu.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – DPRD Sumut akhirnya bersikap tegas perihal keterlambatan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) menyerahkan dokumen Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Perubahan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (P-APBD) 2016 untuk dibahas. Bahkan, lembaga legislatif menolak membahas dokumen KUA-PPAS P-APBD 2016 dan mengembalikan dokumen KUA-PPAS P-APBD 2016 ke Pemprovsu pada Kamis (29/9) lalu.

Menurut Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Sumut, Hanafiah Harahap, ada beberapa alasan mengapa mereka mengambil langkah tegas dengan memulangkan dokumen KUA-PPAS P-APBD 2016 tersebut. Di antaranya, keterlambatan TAPD Pemprovsu mengirim dokumen ke DPRD Sumut.

“Sudah kami pulangkan (KUA-PPAS P-APBD 2016),” kata Hanafiah saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (3/10).

Jika mengacu kepada Permendagri 52/2015 tentang tata cara penyusunan APBD 2016 maupun P-APBD 2016, maka pengesahan atau persetujuan bersama P-APBD 2016 dilakukan pada September 2016. “Kenyataannya TAPD Pemprovsu baru menyerahkan dokumen KUA-PPAS P-APBD 2016 pada 20 September 2016,” ungkapnya.

“Kalau namanya koreksi, tentu harus dibahas lebih dahulu di internal Banggar bersama TAPD. Tapi ini tidak ada, jadi ini bukan koreksi, tapi sikap tegas menolak membahas P-APBD 2016,” imbuhnya.

Politisi Golkar itu menbambahkan, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) mengenai sikap tegas DPRD Sumut untuk menolak membahas P-APBD 2016.

“Keterlambatan ini bukan yang pertama, tapi sudah terjadi sejak dua tahun lalu. Kita harapkan ada efek jera dari Pemprovsu, sehingga tidak terlambat lagi mengirimkan dokumen pembahasan APBD. Kemendsgri diharapkan juga bertindak untuk masalah ini,” tegasnya.

Diakuinya, tidak dibahasnya P-APBD 2016 akan berdampak kebanyak hal, diantaranya penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). “Itu biar menjadi urusan gubernur, biarkan dia memikirkan bagaimana mencari solusinya. Masyarakat juga harus tahu, ini murni kesalahan dari Pemprovsu khususnya TAPD yang diketuai oleh Sekdaprovsu, Hasban Ritonga,” bebernya.

Secara pribadi, Wakil Ketua Komisi C DPRD Sumut itu juga setuju dengan sikap lembaga legislatif yang menolak untuk membahas P-APBD 2016. “Kami merasa dijebak, karena hanya diberikan waktu yang singkat untuk membahas P-APBD, pihak TAPD selalu punya banyak alasan atau argumen untuk memaklumi keterlambatan itu,” bilangnya.

Alasan lain, bilang dia, yakni soal penambahan belanja Hibah dari Rp3,075.431.364.477 menjadi Rp52.615.364.477. Selain itu adanya usulan penambahan penyertaan modal, PT Bank Sumut, sebesar Rp78.737.325.291.

“Kok bisa bertambah begitu besar belanja Hibah, waktu yang tersisa hanya dua bulan. Apakah akan efektif, ini menjadi tanda tanya besar. Mengenai Bank Sumut, usulan ini belum pernah dibahas oleh internal Komisi C. Belum lagi ada penambahan Rp700 miliar lebih di sekretariat daerah, inikan tidak masuk diakal, sebenarnya masih banyak alasan lain,” tegasnya.

Anggota Banggar Fraksi PKB, Zeira Salim Ritonga menambahkan, ditolaknya dokumen KUA-PPAS yang diserahkan TAPD Pemprovsu tidak terlepas dari tidak adanya penjelasan perihal penggunaan dana sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) 2015 sebesar Rp500 miliar lebih.

“Soal Silpa menjadi salah satu pertimbangan atau alasan untuk menolak membahas P-APBD 2016,” akunya.

Anggota Banggar dari Fraksi Demokrat, Muhri Fauzi Hafiz menyebutkan, pimpinan dewan sudah beberapa kali menyurati gubernur untuk mengingatkan perihal keterlambatan pengiriman dokumen P-APBD 2016.

“Kemendagri juga sudah disurati perihal keterlambatan ini,” akunya.

Oleh karena itu, Muhri mendukung rencana Kemendagri menyusun peraturan pemerintah (PP) untuk memberikan sanksi kepada pemerintah daerah baik eksekutif maupun legislatif perihal keterlambatan pengesahan APBD.

“Selama ini memang TAPD tidak konsisten dengan tahapan yang sudah dibuat oleh Kemendagri, makanya perlu ada PP yang mengatur sanksi,” ucapnya.

“Jika Sanksi itu menjadi pilihan terbaik dari pemerintah pusat, kita mau bilang apa? Walaupun menurut saya, sanksi pemotongan gaji tersebut tidak cerdas dan cenderung merugikan bagi kami di DPRD,” tambahnya.

Dia menyebutkan, yang perlu ditekankan oleh Kemendagri adalah soal konsistensi pemerintah daerah untuk mematuhi tahapan penyusunan dan pengesahan APBD. “TAPD Pemprovsu kan sudah didampingi tim supervisi dari KPK, jadi pihak Pemprovsu harusnya sudah bisa lebih nyaman dalam hal menyusun anggaran,” akunya.

Bahkan, kata dia, Pemprovsu sudah memiliki tim yang lengkap seperti adanya biro keuangan untuk urusan keuangan, serta bidang perencanaan ada Bappeda, untuk urusan asset ada biro perlengkapan dan asset, untuk urusan pendapatan ada dinas pendapatan, urusan BUMD ada biro perekmonomian. “Jadi kenapa harus terus terlambat?” katanya.

Sekdaprovsu, Hasban Ritonga selaku Ketua TAPD Sumut belum bisa dikonfirmasi perihal penolakan dokumen KUA-PPAS P-APBD 2016. Nomor ponselnya tidak dapat dihubungi, pesan singkat yang dilayangkan juga tidak berbalas.

Sebelumnya, Dirjen Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzard Moenek mengatakan, Pemda tidak bisa lagi berleha-leha dalam menetapkan rancangan APBD. Sebab, pemerintah pusat menyiapkan sanksi tegas bagi oknum eksekutif maupun legislatif daerah yang menghambat pengesahan.

Menurutnya, ketentuan tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi turunan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Sebab pasal 321 ayat 2 UU Pemda mengharuskan sanksi bagi Pemda yang terlambat mengesahkan Perda APBD.

“PP sudah hampir rampung,” kata pria yang akrab disapa Doni tersebut.

Karena turunan dari UU Pemda, lanjutnya, sanksi yang akan diberikan juga akan disesuaikan dengan ketentuan yang ada di UU Pemda. Yakni sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya gaji bagi kepala daerah dan anggota DPRD selama enam bulan lamanya.

Meski demikian, sanksi tersebut bisa jadi tidak dipukul secara merata antara eksekutif dan legislatif. DPRD bisa saja tidak dikenakan sanksi jika keterlambatan tersebut disebabkan oleh lambatnya kepala daerah dalam menyerahkan rancangan Perda APBD.

“Harus melalui mekanisme pemeriksaan terlebih dahulu, siapa yang mengalami keterlembatan. Tidak harus dipukul rata,” kata mantan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri tersebut.

Jika mengacu UU Pemda, rancangan APBD harus ditetapkan sebulan sebelum dimulainya tahun anggaran baru. Jika diimplementasikan saat ini, Peraturan Daerah (Perda) APBD tahun 2017 harus disahkan selambat-lambatnya 31 November 2016. (dik/adz)

Exit mobile version