Site icon SumutPos

Guru Honorer, Dibutuhkan tapi Diupah Tak Layak

Foto: M IDRIS
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara, Abyadi Siregar (kiri), menyerahkan Diseminasi Hasil ‘Pengajar di Sekolah Negara Yang Tidak Dibayar Layak’ kepada Plt Kabid Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan Sumut, Abdul Malik Pane (kanan) di Hotel Polonia Medan, Jumat (3/11).

SUMUTPOS.CO – Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara (Sumut) melakukan Own Motion Investigation atau sebuah kajian cepat tentang nasib guru honorer di sekolah negeri. Kajian dilakukan lantaran nasib guru honorer di Sumut masih sangat memprihatinkan. Sebab, meski dibutuhkan di sekolah negeri, tetapi mereka dibayar tidak layak.

Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumut, Abyadi Siregar mengatakan, realita di lapangan membuktikan bahwa keberadaan guru honor di sekolah negeri begitu pentingnya. Dari hasil investigasi kajian cepat, ada banyak sekolah yang jumlah guru honornya jauh lebih banyak dibanding guru PNS.

Akibatnya, proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah sangat tergantung dengan keberadaan guru honor. Namun anehnya, perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru honor nyaris tidak ada. Bahkan, masih terdapat gaji guru honor hanya Rp100 ribu per bulan.

“Seluruh guru honorer di Sumut belum dibayar layak. Padahal, sebagian sekolah negeri yang ada justru sangat bergantung pada keberadaan mereka untuk menjalankan KBM,” ungkap Abyadi saat memaparkan hasil investigasi kajian cepatnya sejak April 2017 mengenai persoalan yang dihadapi oleh para guru honorer Sumut, yang digelar di Hotel Polonia, Medan, Jumat (3/11).

Hadir dalam kegiatan itu, Plt Kabid Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan Sumut Abdul Malik Pane, Staf Teknis Dinas Pendidikan Kota Medan Abdul Gofur dan guru honor dari SMP Negeri 6 Medan Asco Simarmata. Selain itu, sejumlah tokoh pendidikan Sumut seperti Ketua Yayasan Parade Guru Tapanuli Utara, Martua Situmorang dan Sekretaris Forum Guru Honor Simalungun, Beni Polin Purba.

Menurut Abyadi, tindakan pemerintah yang tidak memperhatikan kesejahteraan guru honor tersebut, sesungguhnya termasuk sebagai perbuatan maladministrasi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan mengabaikan kewajiban penyelenggaraan pelayanan publik. Maka dari itulah, dilakukan sebuah kajian cepat dengan objek tidak hanya di Kota Medan. Melainkan, di beberapa kabupaten/kota di Sumut, seperti Deli Serdang, Tapanuli Utara (Taput), Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Simalungun.

“Tujuan dari kajian ini untuk mengetahui nasib guru honorer dilihat dari ketiadaan perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan mereka. Sekaligus juga, untuk mendapatkan data perbandingan jumlah guru PNS dengan guru honorer yang mengajar di sekolah negara. Harapannya, dengan begitu pemerintah terutama pemerintah daerah segera mencari solusi memberi gaji yang layak kepada guru honorer,” sebut Abyadi.

Diutarakan dia, dalam kajian ini banyak hal yang membuatnya menghela nafas panjang, saat menelusuri pengelolaan pendidikan di Sumut terutama pelosok desa. Sebab, diketahui pengelolaan pendidikan yang menurut akal sehat, tidak mungkin terjadi di sebuah negara yang selama ini konsen terhadap pembangunan pendidikan.

“Di sebuah negara besar yang sejak lama mengalokasikan 20 persen anggarannya untuk sektor pendidikan, namun kenyataannya sungguh menyedihkan. Sebagai contoh, SMP Negeri 4 Sibabangun, Tapteng, yang memiliki 5 ruang kelas tetapi guru PNS hanya satu orang yaitu kepala sekolah. Oleh karena itu, agar proses KBM tetap berjalan maka terpaksa direkrut 4 guru honor yang harus mengajar semua mata pelajaran di semua kelas,” beber Abyadi.

Dia menuturkan, dengan fakta di lapangan yang ditemukan maka bisa disimpulkan hampir seluruh sekolah negeri di Sumut kekurangan guru PNS. Sehingga, disiasati merekrut guru honorer.

Meski keberadaan guru honor demikian pentingnya, namun faktanya penghargaan yang diberikan pemerintah ternyata tidak sepenting keberadaan mereka. Pemerintah belum pernah menganggarkan gaji yang layak untuk mereka baik dari APBN maupun APBD.

“Nasib guru honor lebih tragis dari para buruh pabrik, yang masih mendapatkan gaji setidaknya sebesar UMP, atau mencapai UMK. Guru honor masih ada yang menerima gaji Rp100 ribu setiap bulan. Ironisnya, gaji Rp100 ribu diterima dalam tiga bulan sekali. Hal ini dialami guru honor SMP Negeri 3 Purbatua, Taput,” cetus Abyadi.

Kecilnya gaji yang diterima para guru honor, sambung dia, disebabkan tidak adanya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk gaji yang layak. Sehingga, praktis gaji mereka berasal dari dua sumber yakni dana BOS dan uang komite sekolah.

“Untuk menutupi kebutuhan keluarga, maka para guru honor harus mencari kerja sampingan. Pada umumnya, pilihan paling dekat adalah mengajar di sekolah swasta atau les,” ucap Abyadi.

Oleh karena itu, kata dia, sulit dipercaya melihat fakta yang terjadi. Tentunya, ini tidak bisa dibiarkan dan pemerintah harus segera mengambil langkah cepat untuk memutuskan kebijakan baru. Terlebih, persoalan ini sudah cukup lama berlangsung.

“Ada beberapa hal yang dapat ditawarkan dalam menyelesaikan nasib guru honor. Sebagai misal, dapat diawali dengan pendataan sehingga dapat melihat gambaran dicari solusi penyelesaian masalah. Yaitu, dengan melakukan reditribusi atau pemerataan guru PNS di sekolah-sekolah. Sebab, selama ini yang terjadi adalah tidak meratanya penempatan guru di sekolah,” jabarnya.

Selain itu, lanjut Abyadi, pemerintah daerah dapat memberi kepastian bagi para guru honor. Artinya, mengangkat mereka dengan Surat Keputusan (SK) Kepala Daerah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Solusi lain yang bisa diambil, pemerintah segera membuka moratorium penerimaan CPNS khususnya untuk guru, sesuai dengan kebutuhan daerah,” pungkasnya.

Salah seorang guru honor dari SMP Negeri 6 Medan, Asco Simarmata menyatakan, hingga saat ini nasib guru honorer masih sangat memprihatinkan. Di mana, dari sisi penghasilan, mereka belum mendapatkan upah/gaji yang layak. “Pada tahun 2004 lalu saya hanya menerima Rp250 ribu per bulan. Namun, kemudian terus naik hingga saat ini tahun 2017 menjadi sebesar Rp650 ribu per bulan,” ucapnya.

Dijelaskan dia, minimnya penghasilan mereka ini membuat para guru honor kerap kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Untuk urusan ini, ia mengaku tidak sungkan melakoni berbagai kegiatan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Saya pernah menjadi tukang parkir di Jambur Namaken, kemudian saat ada pembangunan di Johor saya jadi kuli bangunan. Lanjut saya juga kemudian mengumpulkan anak-anak untuk memberi les, itu semua saya lakukan hanya untuk memenuhi nafkah keluarga,” ujarnya.

Meski hidup dengan kondisi serba memprihatinkan tersebut, namun guru yang menjadi honorer sejak 2004 di SMP Negeri 6 Medan ini, mengaku tetap berkomitmen membawa anak-anak didiknya untuk berprestasi. “Kalau dalam bidang saya, saya kebetulan guru olah raga, sudah sangat banyak prestasi anak-anak SMP Negeri 6 Medan yang kami raih. Pialanya bisa dilihat di lemari kantor SMP Negeri 6, mulai dari kejuaraan Paskibra dan banyak lainnya,” ucapnya.

Ia mengaku pernah diminta untuk mengajar pada salah satu sekolah internasional di Kota Medan. Namun ia mengaku tidak betah karena merasa ilmu yang dimilikinya harus disalurkan kepada anak-anak generasi bangsa. “Kalau disana (sekolah internasional) saya merasa tidak menemukan kecocokan, karena yang saya ajari justru orang luar,” tukas Asco.

Sementara, Plt Kabid Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan Sumut Abdul Malik Pane mengatakan, para guru honor yang ada di Sumut sejak peralihan wewenang SMA/SMK ke Sumut akan mendapatkan upah dengan besaran Rp40.000 per jam pelajaran. Total guru honor di Sumut yang sudah terverifikasi 7.775 orang dari jumlah sekitar 12 ribuan.

“Upah ini akan dibayarkan terhitung dari Juni sampai Desember 2017, karena terhitung tahun ajaran baru. Upah guru honor tersebut berdasarkan anggaran dari P ABPD 2017 sebesar Rp45 miliar, yang akan dibagi untuk SMA/SMK dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Namun, ini belum dibayarkan karena anggaran yang disetujui di P APBD belum cair,” ujarnya.

Malik menyampaikan, untuk upah guru honor di tahun 2018, pihaknya akan mengajukan kembali dalam APBD 2018 dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.

“Selama ini kita bukan tidak memikirkan nasib guru honor, tapi berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, masalah guru honor tidak diatur. Sehingga untuk itu, dilakukan verifikasi jumlah guru honor dari seluruh daerah dan didapatkan 7.775 orang guru honor. Data ini nantinya akan kembali diverifikasi tahun depan untuk usulan anggaran APBD 2018,” tandasnya. (ris)

Exit mobile version