Site icon SumutPos

Inilah 13 Cara Membuktikan Hak Lama Atas Tanah

Foto: Dame/Sumut Pos
Kabiro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Tapanuli Selatan, di PN Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

PADANGSIDIMPUAN, SUMUTPOS.CO –  Tanah memiliki hubungan yang abadi dengan manusia. Pengaturan tentang penguasaan pemilikan tanah telah disadari dan dijalankan sejak berabad-abad lamanya oleh negara-negara di dunia. Penyelesaian sengketa lahan pun diatur dengan berbagai peraturan perundang-undangan

Di Indonesia, sengketa tanah antara masyarakat setempat melawan perusahaan, sering terjadi. Para pemilik yang tanahnya masih berlandaskan pada hukum barat dan hukum adat, masih banyak yang belum mensertifikasi/mengkonversi/mendaftarkan hak atas tanahnya menjadi hak-hak atas tanah yang diakui peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria) . Karena kelalaian tersebut, banyak terjadi sengketa khususnya di daerah-daerah pembangunan, yang mana para pihak terdiri antara Perusahaan melawan masyarakat setempat.

 

Tetapi meskipun ada niat dari pemilik hak-hak atas tanah terdahulu untuk mensertifikasi tanahnya, perlu diketahui bahwa tidak semua hak-hak atas tanah Hukum Barat dan Hukum Adat dapat menjadi bukti penguasaan tanah, yang menjadi salah satu persyaratan pensertifikasian suatu bidang tanah.

 

“Sejak diterbitkannya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA), keberadaan hak-hak atas tanah yang berasal dari Hukum Barat (baca: Belanda) dan Hukum Adat, tidak lagi mendapatkan privilage sebagai suatu bukti kepemilikan hak atas tanah di Indonesia. Karenanya, kedudukan mereka hanya sebatas bukti penguasaan dan bukti pembayaran pajak saja,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara perdata No. 22/PDT.G/2016/PN.PSP di Pengadilan Negeri Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

 

Perkara itu adalah sengketa atas sebidang tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan Penggugat Keluarga Mandongun Pulungan (alm) melawan PT Agincourt Resources sebagai pihak Tergugat.

 

Aslan Noor menambahkan, jika seseorang memiliki hak-hak atas tanah terdahulu tersebut, UUPA mewajibkan pemilik untuk mengonversinya menjadi hak-hak atas tanah yang diakui, seperti Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pengelolaan dan lain sebagainya.

 

“Oleh karena itu peran pemilik harus aktif dalam hal ini jika tanahnya tidak mau dicaplok oleh orang lain karena tidak mempunyai alas dasar kepemilikan yang kuat. Apabila Anda mempunyai tanah lama yang tidak bersertifikat, dan Anda ingin membuktikan kepemilikan atas tanah tersebut,  ada beberapa alat bukti yang Anda ajukan,” katanya.

Foto: Dame/Sumut Pos
Kabiro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Tapanuli Selatan, di PN Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama, pemohon harus menyertakan bukti kepemilikan/ dokumen asli yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan.

 

Alat-alat bukti yang dimaksudkan tersebut dapat berupa:

  1. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27), yang telah dibubuhi cacatan, bahwa hak eigendom yang bersangkutan dikonversi menjadi hak milik; atau
  2. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvings Ordonatie (S.1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah di daerah yang bersangkutan; atau
  3. Surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan; atau
  4. Sertifikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Selanjutnya; atau
  5. Sertifikat hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut di dalamnya; atau
  6. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini; atau
  7. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan; atau
  8. Akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Pewakafan Tanah Milik; atau
  9. Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan; atau
  10. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atu Pemerintah Daerah; atau
  11. Petuk Pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961; atau
  12. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  13. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

Foto: Dame/Sumut Pos
Kabiro Hukum dan Humas pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang BPN Pusat, Dr Aslan Noor SH MH, CN, saat menjadi saksi ahli dalam persidangan sengketa tanah seluas 3000 hektare di Desa Napa, Tapanuli Selatan, di PN Padangsidimpuan, Kamis (2/2/2017).

Tentang alat bukti nomor 3, yakni surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, Wikipedia menyebutkan, daerah swapraja adalah salah satu bentuk sistem administrasi daerah Indonesia yang diakui pada pemerintah kolonial Hindia Belanda dan mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian. Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya.

Tentang ketentuan swapraja, menurut Aslan Noor, hingga saat ini hanya dua tanah Swapraja yang diakui di Indonesia. “Yakni Grand Sultan Jogjakarta dan Grand Sultan Deliserdang. Pencatatan tanah di kedua kerajaan ini cukup lengkap. Kesultanan Jogjakarta paling lengkap. Tanah yang dikuasai kerajaan Jogjakarta terdaftar lengkap di Belanda. Sedangkan tanah milik raja yang diberikan kepada hamba atau orang luar, tercatat lengkap di administrasi Swapraja,” katanya.

 

Tanah-tanah Grand Sultan Deli di Deliserdang, wilayah yang diakui hanya di Medan, Binjai, dan Deliserdang. Surat Swapraja di kerajaan Jogjakarta dan Deliserdang, yang menyatakan menyerahkan tanah kepada hambanya atau pihak asing, diakui hukum Indonesia sebagai alas hak kepemilikan tanah. Pemiliknya bisa menuntut kepemilikan hak.

 

“Tetapi di daerah lain, jika ada pihak yang mengklaim memiliki tanah bekas kerajaan, harus tunduk pada ketentuan Swapraja, yakni tercatat, agar BPN bisa mengeluarkan sertifikat. Jika tidak, Hakimlah yang berhak menyatakan bukti itu sah atau tidak,” kata Noor. (mea)

Exit mobile version