Site icon SumutPos

Negara Tak Boleh Salahkan DL Sitorus

Keluarga dan kerabat menyertai jenazah DL Sitorus saat diberangkatkan menggunakan pesawat beberapa hari lalu.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kuasa hukum Koperasi KPKS-Bukit Harapan, Koperasi Parsubdan keluarga Almarhum DL Sitorus, Marihot Siahaan SH MH, menyayangkan pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo di sejumlah media terkait meninggalnya DR Sutan Radja DL Sitorus. Jaksa Agung mengaku akan membicarakan kembali soal eksekusi lahan perkebunan kelapa sawit seluas 47 ribu hektar di Padang Lawas, Sumatera Utara.

“Ini yang miris. Mestinya dalam suasana duka, apalagi jenazah almarhum DL Sitorus belum dikebumikan (rencana Jumat 11 Agustus 2017 dikebumikan, Red), Jaksa Agung sebaiknya dapat menahan diri dulu demi menjaga wibawa sebagai pejabat negara dan menghindari timbulnya kesan seolah-olah terburu-buru dan punya kepentingan tertentu serta disetir, “ kataMarihot Siahaan di Jakarta, Selasa (8/8).

Marihot juga menilaai, pernyataan Jaksa Agung ini tidak sesuai dengan Inpres No. 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental khususnya program gerakan Indonesia bersatu yaitu peningkatan perilaku yang mendukung kehidupan demokrasi Pancasila. “Pernyataan Prasetyo terhadap almarhum DL Sitorus momennya sangat tidak pas bagi etika dan perasaan budaya suku Batak, terutama terhadap kerabat dekatnya yaitu Puak Nairasaon (marga Sitorus, Sirait, Manurung, dan Butarbutar) ini dapat melukai perasaan-batin mereka yang sedang berduka,” katanya.

Sesuai fakta, lanjut Marihot, tak dapat dipungkiri sumbangsih dan karya almarhum Dr Sutan Raja DL Sitorus kepada negara. Dia sudah ikut membantu negara membangun sarana pendidikan dari strata SD sampai perguruan tinggi dan membangun sarana kesehatan (klinik dan rumah sakit), serta sarana perbankan masyarakat di daerah tanpa membebani negara dengan utang atau pinjaman. “Tidak banyak putra bangsa yang bisa seperti almarhum. Dengan fakta itu, sangat wajar almarhum dihormati,” kata Marihot lagi.

Adapun kasus hukum yang menimpa almarhum DLSitorus yang diduga telah dijadikan korban dengan didakwa melakukan tindak pidana korupsi, didakwa menduduki kawasan hutan di register 40 Padang Lawas tanpa izin Menteri Kehutanan, dan dipaksakan dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pidana Nomor 481, yang sebenarnya dia tidak pernah melakukan seperti apa yang didakwakan dan diputuskan dalam putusan pidana dimaksud.

“Akibat putusan pidana tersebut, almarhum telah menjalani hukuman penjara 8 tahun dan di denda sebesar Rp5 miliar, walaupun dalam putusan pidana tersebut tuduhan utamanya yaitu Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tidak pernah terbukti. Beliau tidak pernah melakukan perbuatan yang merugikan Negara. Ini artinya, seluruh amar putusan pidana No 481 tersebut sudah dijalani almarhum DL Sitorus dengan baik,” bebernya.

Setelah Koperasi KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub memohon keadilan kepada Negara dengan menggugat Menteri KLHK dan Jaksa Agung, negara melalui Pengadilan Negeri Padangsidimpuan berdasarkan bukti dan fakta yang sah telah memutuskan, bahwa perampasan (eksekusi) kebun koperasi tersebut adalah tidak sah dan batal demi hukum. Karena lahan seluas 47 ribu hektar tersebut adalah milik masyarakat adat yang tergabung di KPKS Bukit Harapan dan Koperasi Parsub dan putusan itu juga menyatakan, lahan tersebut tidak berada di kawasan Rgister 40 berdasarkan sidang pemeriksaan di tempat, Kawasan Hutan Register 40 belum punya tata batas yang sah menurut hukum. “Lalu kenapa Pak Prasetyo mempersoalkan lahan seluas 47 ribu hektar itu lagi, dan sama sekali tidak mengungkap ke publik fakta ini. Logika orang awam, sulit menepis dugaan bahwa ada kejanggalan tersembunyi di balik pernyataan Jaksa Agung kita ini,” kata Marihot.

Anehnya lagi, kata Marihot, dalam pernyataannya, Jaksa Agung Prasetyo menyatakan, pihaknya sudah melakukan eksekusi pada 2009 terkait lahan seluas 47 ribu hektar tersebut dengan menyerahkan lahan tersebut kepada Departemen Kehutanan, “Ini artinya, tugas Kejaksaan sebagai eksekutor sudah dilaksanakan dan sudah selesai. Tapi kenapa terus melakukan hal-hal yang terkesan sebagai intimidasi dengan menyatakan akan melakukan eksekusi lagi, memangnya berapa kali eksekusi terhadap suatu perkara dapat dilakukan untuk satu kasus, bukankah eksekusi prinsipnya sekali dan final,” tegas Marihot. (rel/val/adz)

Exit mobile version