Site icon SumutPos

224 Warga Sumut Dipasung

Kondisi seorang warga yang kakinya dipasung.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Sepanjang tahun 2016, sebanyak 210 Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan pikun di Sumatera Utara (Sumut) hidup dalam pasungan. Sementara Januari hingga April tahun 2017, ada 14 kasus baru yang ditemukan sehingga jumlah keseluruhannya 224 orang yang dipasung.

Hal tersebut dikatakan Kepala Bidang (Kabid) P2P Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumut dr NG Hikmet melalui Kepala Seksi (Kasi) Penyakit Tidak Menular Hery Valona B Ambarita SKp Mkes.

“Namun berdasar Riset Kesehatan Dasar estimasi orang yang dipasung di Sumut sebanyak 1.715 orang, meski begitu kita hanya menghitung kasus yang masuk saja,” imbuh Hery Valona, Selasa (9/5).

Kata Hery Valona, untuk kabupate/kota yang paling banyak dipasung saat ini, yaitu Asahan berjumlah 23 orang, Padangsidimpuan 17 orang, Tapteng 19 orang, dan Simalungun 29 orang. “Jadi dari kasus pemasungan tahun 2016 itu ada 27 orang yang sudah dilepas,” ujarnya.

Menurut Hery Valona, bagi daerah yang sedang menangani masalah pemasungan ini memang membutuhkan waktu agar keluarga percaya dan sadar bahwa tindakan tersebut tidak perlu dilakukan.

Adapun penyebab pemasungan dilalakukan disebut Hery, karena korban mengalami dimensia (pikun) terutama pada orangtua yang sering keluar rumah namun tidak tahu jalan pulang atau pun suka mengamuk.

Jadi, lanjut Hery, sebenarnya tujuan dipasung itu untuk melindungi terjadi keributan dan merugikan orang lain serta lingkungannya. Selain itu juga melindungi terjadinya pemerkosaan terhadap korban.

“Ada juga untuk menghindari rasa malu keluarga, karena takut ketahuan orang lain. Umumnya mereka yang dipasung menggunakan balok kayu dan rantai,” terang Hery.

Hery juga mengungkapkan berbagai kendala dalam menangani orang agar tidak lagi dipasung. Kendalanya seperti kurangnya dokter spesialis kejiwaan, hanya berjumlah 47 tenaga medis yang mayoritas dari Medan.

Dari 34 rumah sakit umum daerah (RSUD) yang memberikan pelayanan jiwa, 12 dokternya dari Medan. Itupun datangnya hanya seminggu sekali. Selain itu, masih sedikitnya anggaran kabupaten/kota, bahkan masih ada belum memiliki anggaran untuk kesehatan jiwa.

“Penyebab kurangnya kesadaran masyarakat mengatasi masalah ini adalah, salah satunya masih banyak menganggap kasus ini terjadi akibat gangguan jiwa, sehingga keluarga lebih memilih membawa ke dukun ketimbang ke pelayanan kesehatan,” tambahnya.

Kendala lainnya, lanjut Hery, masih adanya stigma masyarakat terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang mayoritas tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), sehingga tidak bisa menggunakan BPJS Kesehatan karena tidak tercantum di kartu keluarga.

Hery berharap masalah pasung ini harus diatasi dengan kerja sama lintas sektor dan daerah, Disdukcapil, Bappeda, DPRD serta pihak terkait lainnya. Selain itu harus ada anggaran lebih dari pemerintah untuk mengatasi masalah pasung ini. “Sebenarnya mengatasi ODGJ yang dipasung bukan hanya masalah kesehatan saja, melainkan adanya kerja sama lintas sektor,” ucapnya.

Dinkes menurut Hery, sudah menyediakan obat, melakukan bimbingan teknik serta meningkatkan kapasitas petugas dengan melakukan pelatihan bagi petugas Puskesmas mengatasi masalah pasung.

Terpisah, Dr dr Elmeida Effendy Mked KJ SpKJ (K) mengatakan, gangguan jiwa sebenarnya dapat disembuhkan. Jenis gangguan jiwa sangat beragam mulai dari yang ringan hingga berat. ” Untuk taraf ringan bisa sembuh sempurna, tapi yang berat itu tergantung penatalaksanaannya, ” ujar Elmeida.

Bagi pengidap gangguan jiwa berat, kata Elmeida, ada juga yang sembuh hanya saja selain obat terapi non-medikamentosa harus dilakukan, seperti terapi perilaku kognitif, psikoterapi, latihan relaksasi, dan terapi kelompok. “Yang penting adalah selalu mengevaluasi ulang kondisi kejiwaan seseorang pasien secara berkala. Misalnya, enam bulan sekali dengan check up untuk kondisi fisik,” tandasnya. (ain/azw)

Exit mobile version