Site icon SumutPos

Perawat Syok: Sudah Saya Sarankan ke RS…

Foto: Edwin Fs Garingging/Metro Asahan/JPNN Tubuh bayi Farida Hanum, yang lahir tidak normal dengan kepala terpisah dari badannya tampak ditutupi kain panjang saat masih berada di RSU HAMS Kisaran, Senin (11/1/2016).
Foto: Edwin Fs Garingging/Metro Asahan/JPNN
Tubuh bayi Farida Hanum, yang lahir tidak normal dengan kepala terpisah dari badannya tampak ditutupi kain panjang saat masih berada di RSU HAMS Kisaran, Senin (11/1/2016).

ASAHAN, SUMUTPOS.CO – Putusnya kepala seorang perempuan, saat persalinan ibunya Farida Hanum (30), Minggu (10/1) pukul 22.00 WIB, menyebabkan D br S, perawat yang membantu proses persalinan, terguncang. Hal ini terlihat dari wajah wanita yang kerap disapa dengan panggilan Bu Bidan oleh warga Dusun Aek Nagali itu.

Saat ditemui di sela-sela pemeriksaan di ruangan penyidik Unit Tipiter, lantai II Satreskrim Polres Asahan, kesedihan mendalam terlihat jelas di wajahnya.

Sorot matanya juga memperlihatkan jika dia tengah memikul beban mental yang cukup berat.

Meski demikian, D br S tetap berusaha menjelaskan kronologis peristiwa memilukan itu. Di hadapan polisi serta sejumlah wartawan yang tengah melakukan peliputan, D br S mengamini jika kepala bayi malang tersebut terpisah (baca: terputus, red) dari badannya, ketika dia tengah berupaya membantu proses persalinan.

Insiden itu kata dia, terjadi saat dia kembali berupaya menarik tubuh bayi malang tersebut dari rahim ibunya. Sesuai standar medis, lazimnya memang dilakukan dengan cara memegang kepala si bayi.

”Pas ditarik pertama, cuma bergeser dikit. Waktu yang kedua itulah kejadian,” ujarnya lirih. Dijelaskan pula oleh paramedis berkulit gelap ini, sebelum peristiwa itu, dia lebih dulu memeriksa kondisi Farida dan menyarankan agar persalinan dilakukan di rumah sakit. Dia memprediksi proses persalinan akan cukup sulit karena ukuran tubuh bayi terbilang besar. Hanya saja keluarga menolak.

“Sudah saya sarankan dibawa ke RS, tapi mereka nggak mau. Mereka yakin saya sanggup. Karena kelahiran anak kedua mereka, saya juga yang membantu persalinannya,” jelas D br S yang mengaku tidak pernah memproklamirkan diri sebagai seorang bidan di desanya.

Pun katanya, selama ini dirinya tidak pernah menjelaskan kepada masyarakat, bahwa dirinya hanya seorang perawat, bukan bidan. Menjawab pertanyaan Kasat Reskrim, D br S dengan lugas mengaku, selama membuka usaha balai kesehatan di Aek Nagali, dirinya tidak memiliki izin praktik kebidanan. Sebab, selain buka berlatar belakang keahlian kebidanan, dalam usahanya dia hanya memiliki izin sebagai balai kesehatan yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Asahan melalui Dinas Kesehatan.

“Nggak ada izin praktik bidan pak,” kata dia sembari siap menerima konsekwensi atas persoalan ini.

BUTUH DORONGAN SEMANGAT
Dihubungi terpisah, Roulina Simamora, S.Psi, seorang psikolog asal Medan yang dimintai komentarnya, terkait kondisi ini menyebutkan, untuk kebaikan bersama, ada 2 pihak yang harus mendapat pendampingan dan dorongan semangat pasca musibah ini. Kedua pihak itu, kata Lina adalah Farida Hanum, ibunda bayi malang tersebut, dan D br S, perawat yang membantu persalinan tersebut.

Dalam pandangan ilmu psikologi, jelas Lina, butuh kesabaran ekstra bagi pihak terkait, secara khusus keluarga, untuk menumbuhkan semangat Farida Hanum. Hal ini perlu untuk mencegah agar ibu malang tersebut tidak down, setelah menyadari sepenuhnya buah hati yang lama dinantikan tak terselamatkan.

“Jadi, untuk menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya pun, harus hati-hati. Cari moment yang pas. Ini berat! Apalagi kondisinya sampai sebegini,” kata dia.

Tidak berbeda jauh, D br S menurut Lina juga harus mendapatkan perlakuan yang kurang lebih sama. Sebab, sebagai orang yang terus berada di saat-saat kritis, yakni saat-saat persalinan akan terjadi, hingga musibah tersebut, beban mental yang menimpanya D br S tentu sangat berat sekali.

“Terlepas beliau itu orang medis yang harusnya siap dengan kondisi apa pun. Namun harus diingat, beliau juga manusia biasa. Tentu jiwanya terbeban,” tukasnya. ina sendiri menilai, bahkan sebelum musibah tersebut terjadi, sejatinya D br S sudah mendapatkan tekanan psikologis yang begitu besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan keputusannya untuk berusaha maksimal, membantu proses persalinan Farida.

Meskipun sejatinya dia sadar tidak mampu, dan menyarankan merujuk Farida ke rumah sakit, kondisi keluarga Farida yang mempercayakan sepenuhnya penanganan persalinan itu kepadanya, tentu melahirkan dilema tersendiri. (ing/deo)

Exit mobile version