Site icon SumutPos

Duh… Pilkada Simalungun-Siantar Bisa Molor ke 2017

Pasangan calon Bupati Simalungun, JR Saragih dan Amran Sinaga, pencalonannya dibatalkan KPU.
Pasangan calon Bupati Simalungun, JR Saragih dan Amran Sinaga, pencalonannya dibatalkan KPU.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kepastian pelaksanaan pemungutan suara pada pemilihan Bupati Simalungun dan Wali Kota Pematang Siantar, belum juga memperlihatkan titik terang. Setelah mengalami penundaan, pelaksanaan pemungutan suara pilkada Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun berpeluang dilakukan pada 2017. Tepatnya, pada Februari 2017, bersamaan dengan sejumlah daerah lainnya yang ikut menjadi peserta pilkada serentak gelombang kedua.

Selain keputusan dari Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan masih berupa putusan sela, kemungkinan KPU maupun penggugat mengajukan banding pada apa pun putusan pengadilan nantinya, semakin menambah ketidakpastian.

Padahal mengacu pada UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, pemungutan suara pilkada tahap pertama harus diselenggarakan di tahun 2015. Sementara bulan Desember di tahun 2015, hanya tinggal beberapa hari lagi.

Peluang itu ada jika nantinya begitu keluar putusan PTTUN Medan yang memenangkan gugatan pasangan cabup-cawabup Simalungun JR Saragih-Amran Sinaga, tapi KPU Simalungun tidak puas dan mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Hal yang sama bisa terjadi jika Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Medan memenangkan gugatan pasangan Survenof Sirait-Parlin Sinaga dan KPU Siantar mengajukan kasasi.

“Kalau KPU mengajukan kasasi ya bisa 2017,” ujar anggota caretaker Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Girindra Sandino kepada Sumut Pos, kemarin (13/12).

Terlebih lagi, lanjut, dalam kasus pilkada Gubernur Kalimantan Tengah yang juga tertunda, KPU juga mengajukan kasasi atas keluarnya putusan PTTUN yang memenangkan gugatan pasangan calon Gubernur Ujang Iskandar-Jawawi. Begitu pun untuk kasus pilkada Fakfak, KPU juga mengajukan kasasi atas putusan PTTUN Makassar yang mengabulkan gugatan pasangan calon Bupati Fakfak, Papua, Donatus Nimbitkendik-Abdul Rahman.

Sebaliknya, jika pasangan JR Saragih-Amran Sinaga dan Survenof Sirait-Parlin Sinaga kalah di tingkat PTTUN, juga punya hak untuk mengajukan kasasi. Jadi, peluang pilkada kedua daerah itu lewat Desember 2015 sangat besar.

Penjelasan lain mengacu ketentuan di UU No 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota. Di sana diatur PTTUN punya waktu 21 hari untuk mengeluarkan putusan. Jika ada upaya kasasi, maka permohonan harus sudah disampaikan ke MA paling telat tujuh hari sejak keluarnya putusan PTTUN. Sementara, MA wajib mengeluarkan putusan paling telat 30 hari sejak permohonan kasasi diterima. KPU diwajibkan menjalankan putusan yang sudah inkrah dalam waktu paling lama tujuh hari.

Dengan demikian, jika KPU atau pasangan calon yang bersengketa mengajukan kasasi, maka sulit berharap pilkada Simalungun dan Siantar bisa digelar Desember 2015. Sementara, sesuai ketentuan, tidak ada pilkada di tahun 2016.

Girindra Sandino mengatakan, jika pilkada kedua daerah itu, termasuk tiga daerah yang lain yang juga ditunda, dilakukan pemungutan suaranya pada 2016, maka akan muncul masalah hukum baru. Begitu pun jika digelar pada 2017.

Alasannya, jika digelar 2016 atau 2017, akan menabrak ketentuan pasal 201 ayat 1 UU pilkada.

“Pasal 201 ayat (1) UU Pilkada, ditegaskan di situ bahwa pemunguatan suara serentak dalam pemilihan gubernur, bupati/wali kota yangmasa jabatannya berakhir tahun 015 dan Januari sampai dengan bulan Juni 2016, dilaksanakan pada tanggal dan bulan yang sama pada bulan Desember 2015. Jadi, kalau digelar 2016, bisa dipersoalkan secara hukum,” jelas Girindra.

Bagaimana jika tetap digelar 2016 tapi disebut ‘pilkada susulan’ Girindra menjelaskan, di UU Pillkada disebutkan bahwa syarat pemilu susulan adalah jika terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya. Nah, Girindra bertanya, apakah adanya proses hukum itu termasuk dalam frase ‘gangguan lainnya’?
Menurut dia, jika KPU menafsirkan demikian, tetap saja bisa diperdebatkan secara hukum. Tapi menurut Girindra, proses hukum itu muncul juga disebabkan karena ketidakprofesionalan KPU dalam menjalankan tugas. Tepatnya, karena KPU tidak cermat dalam menjalankan tahapan pencalonan.

Dalam kasus pilkada Kalteng, lanjutnya, KPU tidak sejak awal mengklirkan masalah dualisme kepengurusan di PPP. Dalam kasus Kota Manado, KPU tidak memberikan definisi yang jelas terkait status bebas bersyarat.

Dalam kasus Simalungun, KPU setempat tidak cermat melakukan verifikasi status hukum Amran Sinaga, dimana putusan kasasi MA sebenarnya sudah keluar September 2014, jauh hari sebelum tahapan pencalonan.

Sikap KPU di lima daerah yang pilkadanya tertunda itu sesungguhnya sangat merugikan pasangan calon.

“Mereka sudah kampanye, sudah keluar uang banyak, tapi hak politiknya dihilangkan oleh KPU,” ujar Girindra.

Tidak hanya itu, dampaknya bisa lebih luas lagi, dimana pemilih berpotensi menjadi malas menggunakan hak suaranya di ‘pilkada susulan’ itu. Belum lagi soal tambahan anggaran karena harus mencetak surat suara, surat undangan menyoblos (C6), dan sosialisasi pasangan calon.

Menanggapi kondisi yang ada, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengajak semua pihak, bersabar menunggu terlebih dahulu keputusan dari pengadilan. Karena walau bagaimana pun, kepastian pelaksanaan saat ini ada di tangan lembaga hukum, setelah sebelumnya satu pasangan calon di masing-masing daerah tersebut, mengajukan gugatan sengketa penetapan calon.

Gugatan dilakukan setelah KPU mencoret pencalonan mereka karena dinilai tidak memenuhi syarat. Padahal sebelumnya telah ditetapkan memenuhi syarat. Bahkan seperti di Simalungun, foto pasangan calon JR Saragih-Amran Sinaga telah tercetak dalam kertas surat suara.

“Undang-undang mengatalkan maksimal 21 hari penundaan. Nah kita tunggu dulu keputusannya seperti apa. KPU kan saat ini juga posisinya menunggu keputusan pengadilan untuk tiga daerah (Simalungun, Siantar dan Kota Manado, Red). Sementara untuk dua daerah lain (Kalimantan Tengah dan Kabupaten Fakfak, Red) KPU banding,” ujar Tjahjo di Jakarta, Minggu (13/12).

Meski mengajak semua pihak menunggu, Tjahjo optimistis pengadilan dan Mahkamah Agung akan memprioritaskan penanganan kasus-kasus tersebut. Sehingga pilkada serentak 2015, tetap bisa dilaksanakan di 269 daerah. Meski lima daerah terpaksa harus malakukan pemungutan suara susulan.

“Saya yakin MA akan memperiritaskan kasus tersebut sebagaimana permintaan KPU juga,” ujarnya.

Dikatakan Tjahjo, selain menunggu putusan pengadilan juga sifatnya masih menunggu penghitungan terhadap hasil pemungutan suara yang dilakukan KPU. Karena walau bagaimana pun, masih terbuka peluang pasangan calon menggugat hasil keputusan pemenang pilkada yang akan diumumkan KPU dalam waktu dekat.

“Jadi di samping itu, kami juga menunggu keputusan penghitungan suara final dan penetapan pemenang oleh KPU dan mencermati apakah ada yang mengajukan gugatan s?engketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, KPU sebelumnya menunda pelaksanaan pilkada di lima daerah. Untuk Simalungun, Siantar dan Kota Manado, penundaan dilakukan setelah PTTUN mengeluarkan putusan sela.

Sementara untuk Pilkada Kalteng dan Fakfak (Papua), penundaan dilakukan setelah penyelenggara berniat mengajukan kasasi atas putusan PTTUN yang memenangkan gugatan masing-masing pasangan calon di kedua daerah tersebut. (sam/gir/val)

Exit mobile version