Site icon SumutPos

Rp170 Miliar Menguap di Dishub

MEDAN-Estimasi pendapatan dari pungutan liar (pungli) di 11 jembatan timbang yang berada di Sumatera Utara (Sumut) cukup mencengangkan.

Diduga dari praktik tercela di Dinas Perhubungan (Dishub) Sumut tersebut diperoleh pendapatan hingga Rp198 miliar lebih. Sementara, dari paparan Dishub Sumut, pendapatan dari jembatan timbang ‘hanya’ Rp24 miliar lebih selama 2013. Artinya, ada Rp170 miliar lebih yang menguap
Kepada wartawan di Medan akhir pekan lalu, pihak Dishub Sumut memaparkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumut dari penindakan pengangkutan melebihi muatan sepanjang tahun lalu meningkat hingga mencapai Rp24,77 miliar. Sepanjang 2013, Dishub Sumut melakukan penindakan terhadap 248.351 angkutan yang kelebihan muatan pada seluruh unit jembatan timbang. Sementara itu, pada 2012, Dishub Sumut melakukan 244.667 penindakan dengan pemasukan daerah mencapai Rp24,4 miliar. Lokasi jembatan timbang di Sumut tersebar di 13 lokasi.

JEMBATAN TIMBANG: Suasana di sebuah jembatan timbang di Jalan Lintas Sumatera, beberapa waktu lalu.//batara/sumut pos

Kepala Dishub Sumut Anthony Siahaan menekankan, pengemudi atau perusahaan angkutan wajib memenuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan daya angkut, dimensi kendaraan, dan kelas jalan. “Kami tidak akan menoleransi pungutan liar. Saya tegaskan juga bahwa tidak benar kalau kami menerima setoran dari pungli tersebut,” tuturnya.

Paparan ini mendapat komentar dari Ari Wibowo Saleh, pelapor praktik pungli di 11 jembatan timbang. Staf Pos Pelabuhan Regional Teluknibung, Tanjungbalai, Seksi Kepelabuhan dan Pengerukan pada Bidang Laut, Dishub Sumut, ini mengatakan pendapatan harusnya lebih dari itu.

Ari Wibowo mengungkapkan, pungli di jembatan timbang sudah rahasia umum. Apalagi pungli tersebut berasal dari uang kelebihan muatan barang yang ditetapkan dalam perda No.14 tahun 2007, Tentang Pengendalian Kelebihan Muatan Angkutan Barang. Sehingga petugas jembatan timbangan dengan sopir truk melakukan negoisasi harga untuk tidak dilakukan pembongkaran barang.

Keterangan ini Ari Wibowo persis dengan penelusuran Sumut Pos mengikuti perjalanan truk dari Rantauprapat ke Belawan tahun lalu. Truk yang Sumut Pos tumpangi saat ditimbang bermuatan 37 ton namun tetap aman di jalan. Sebenarnya, jika sesuai speksi, untuk jenis truk Mitsubishi tronton roda sepuluh, berat Jumlah Beban Ideal (JBI) untuk truk sekitar 10 ton, jumlah beban muatan sekitar 11 ton setelah ditambah dengan tiga penumpang.

Sehingga, total berat truk ditambah muatan serta tiga orang penumpang (sopir dan dua kernet) hanya seberat 21 ton. Artinya, ada kelebihan 16 ton.

Sesuai peraturan daerah (Perda), kelebihan beban hingga 16 ton tentunya tak bisa dimaklumi. Beban yang bisa dimaklumi hanya sampai 26 ton atau 21 ton ditambah 25 persen berat. Perda mengatur, beban boleh bertambah sekitar 25 persen dari total berat truk dan muatan. Jika pengusaha truk hanya mengangkut beban truk ditambah beban seberat 21 ton, sopir tidak akan dipungli oleh petugas Jembatan Timbang. “Kalau hanya 21 ton kita tidak harus membayar karena memang itu seharusnya berat truk ditambah muatannya,” jelas sopir tersebut.

Jika beban 26 ton, maka pengusaha melalui sopir truk akan membayarkan sebesar Rp100.000 kepada petugas Jembatan Timbang yang pertama kali dilintasi. “Yang Rp100.000 itulah Perda untuk 5 ton, karena kita bertambah 25 persen muatannya dan itu istilahnya sudah JBB (jumlah beban yang diperbolehkan, Red),” terangnya lagi.

Tetapi jika beban truk melebihi 26 ton, barulah berlaku pungli yang dihitung dengan setiap ton. Dan untuk kelebihan setiap ton harganya beragam. Untuk yang ikut yayasan atau organisasi hanya membayar Rp7.500 per ton, tapi untuk yang bukan bisa mencapai Rp20 ribu per ton. Harusnya, berat di luar JBB tidak boleh jalan alias muatan harus dibongkar.

Nah, menurut pengakuan Ari Wibowo Saleh kemarin, negoisasi antara petugas dengan sopir soal berat di luar JBB itulah pungli yang dia laporkan. Menurutnya, dalam sehari ada sekitar 800 truk yang masuki jembatan timbangan. “Mulai pukul 21.00 WIB hingga 07.00 WIB ada sekitar 400 sampai 500 truk yang masuk. Lalu, pada pukul 14.00 WIB hingga 21.00 WIB ada sekitar 300 sampai 400 truk lagi,” jelasnya.

Artinya, dari angka itu, jika ada 500 truk saja yang kelebihan muatan dan tidak ikut yayasan, maka angka pungli yang didapat cukup menggiurkan. “Yang dimasukan ke PAD hanya JBB. Bayangkan jika setiap truk kelebihan 5 ton saja dari JBB, kalikan dengan Rp20 ribu,” katanya.

Maka akan didapat Rp50 juta per hari dan menjadi Rp1,5 miliar per bulan atau Rp18 miliar per tahun. Jika dirata-ratakan pendapatan itu untuk 11 timbangan yang dilaporkan Ari Wibowo, maka akan didapati angka pungli selama setahun adalah Rp198 miliar dalam setahun. Dan, angka ini belum ditambahkan dengan dua jembatan timbang lainnya. Seperti diketahui, ada 13 jembatan timbang yang dikelola oleh Dishub Sumut dan dalam laporan Dishub Sumut pendapatan ‘hanya’ Rp24,77 miliar untuk tahun 2013. Artinya, ada selisih sekitar Rp170 miliar. “Ini belum termasuk dengan deal-deal tertentu petinggi dengan yayasan yang menaungi truk-truk,” kata Ari Wibowo lagi.

“Belum lagi, truk dari luar, seperti truk dengan nomor polisi BL berasal dari Aceh maupun dari daerah mana,” tambahnya Ari Wibowo.

11 Kepala Jembatan Timbang Dikumpulkan

Di sisi lain, Ari Wibowo mengaku mendapat kabar kalau hari ini, Rabu (15/1), 11 kepala Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) Jembatan Timbang akan melakukan pertemuan secara tertutup di Kantor Dishub Sumut, di Jalan Imam Bonjol Medan.

“Ada 10 hingga 11 kepala timbangan dipanggil ke Dishub Sumut di Medan. Saya belum jelas apa agenda pemanggil itu. Ada dua gendang, paling untuk menutupi pungli di jembatan penimbangan itu atau mengakui tidak ada terjadi pungutan liar terbut. Makanya orang itu dipanggil ke kantor Dishub Sumut di Kota Medan,”jelasnya.

Ari Wibowo mengungkapkan bahwa undangan itu, sifat mendadak tanpa ada undangan resmi yang diberikan Dishub Sumut kepada 11 kepala UPPKB. Undangan pemanggil itu, disampaikan Dishub Sumut melalui radio komunikasi Dishub Sumut dan pesan singkat atau sms yang disampaikan kepada 11 kepala UPPKB. “Tidak ada undangan resmi. Sifatnya dadakan, undangannya melalui radio panggil atau SMS saja yang langsung disampaikan Kadishub Sumut. Makanya mereka yang diundang terkejut dipanggil tiba-tiba seperti itu,” kata Ari Wibowo.

Ari Wibowo juga menyesalkan lambatnya atas tindaklanjuti laporan dirinya kepada Polda Sumut dan Kejati Sumut. Hingga kini, belum ada upaya hukum yang dilakukan.”Hinga saat ini, belum ada saya dipanggil untuk diperiksa di Polda Sumut maupun di Kejatisu, saya siap memberikan keterangan dengan jujur dan sesuai fakta serta barang bukti,” ungkapnya.

Masih kata Ari Wibowo, apa bila dirinya memberikan keterangan bohong atau memfitnah, sehingga ada orang dirugikan. Dirinya siap dilapor balik dan siap masuk penjara untuk mempertanggungjawabkan semuanya.”Kalau ini bohong saya siap dipenjara. Saya berbicara di media berdasarkan fakta dan barang bukti. Termasuk yang saya sampaikan kepada Poldasu dan kejatisu,” tuturnya.

Sebelumnya, sesuai perintah Gubsu, Jumat (10/1) lalu pada pukul 15.30 WIB, Kadishub Sumut Anthoni Siahaan bersama Kepala UPT Pengawasan Pengendalian Sarana dan Prasarana Lalu Lintas Angkutan Jalan Wilayah III, Tengku Reza Zulkarnain menggelar pertemuan dengan wartawandi Kantor Dishub Sumut Jalan Sudirman Medan.

“Kami sudah mengetahui laporan yang dilakukan saudara Ari Wibowo Saleh ke Polda Sumut atas tuduhan pungutan liar ini, dari harian Sumut Pos. Yang perlu saya tegaskan hari ini, laporan yang dilakukannya itu (Ari Wibowo Saleh, Red), adalah tidak betul. Barang bukti yang dia bawa ke Polda Sumut, berupa rekaman video adalah rekayasanya,” ujar Reza dalam konfrensi pers.

“Rekamannya itu dia buat setahun lalu bersama-sama rekan satu timnya dengan alasan hanya untuk main-main. Bahkan kita telah memanggil rekannya untuk dimintai keterangannya satu per satu. Maka dari keterangannya rekan-rekannya itulah saya baru mengetahui, bahwa rekaman itu, semula pengakuan Ari hanya untuk main-main. Maka untuk itulah mereka mulai mengumpulkan uang dari hasil retribusi resmi angkutan barang sesuai perda. Tapi rupanya ini dijadikannya sebagai laporannya,” tambah Reza.

Reza juga menegaskan dia tidak ada menerima uang pungli. “Saya membantahnya. Bahkan saya siap mengkarifikasi ini pada Polda Sumut apabila saya dipanggil. Karena saya juga sudah memanggil kepala regu masing-masing untuk mengklarifikasi ini. Bahkan teman satu regu Ari juga sudah meminta maaf dan sudah membuat pernyataan bahwa itu tidak benar. Begitu juga dengan yang bersangkutan (Ari Wibowo aleh, Red),” ujar Reza.

Anthoni Siahaan, menambahkan, bahwa aksi yang dilakukan Ari Wibowo itu didasari ketidakterimaan karena dipindahtugaskan. “Dia dikenakan sanksi disipilin dan dipindahtugaskan karena tidak pernah disiplin. Dia tidak pernah ikut apel pagi, tidak pernah memakai seragam dinas, bahkan tidak pernah memakai sepatu bots layaknya seorang petugas. Yang bersangkutan mau berbuat semaunya. Untuk itu yang bersangkutan dimutasi,” ujar Anthoni.

Bahkan Ari Wibowo Saleh juga pernah mengajukan surat permohonan pembatalan mutasi pada Gubernur Sumatera Utara. Oleh Gubsu, surat ini dibalas Sekdaprovsu yang disampaikan pada BKD Pemprovsu dan diteruskan pada Dishub Sumut.

“Surat balasan dari Pak Gubernur itu isinya menolak permohonan itu. Kasus ini sekitar awal Agustus 2012. Ia juga melanggar disiplin tidak pernah melaksanakan pekerjaan tidak sesuai Perda,” bebernya.

Dishub Sumut, juga akan berencana akan mengambil tindakan dengan melaporkan yang bersangkutan pada aparat kepolisian. (gus/rud/ril/rbb)

Pengusaha Kewalahan

Kasus pungutan liar (pungli) yang terjadi di beberapa jembatan timbang di Sumut diakui mengganggu pelaku dunia usaha. Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Forum Daerah Usaha Kecil Menengah (Forda) UKM Sumut, Fariz Tanjung.

Menurut Fariz Tanjung, selama ini praktik pungli turut menyumbang pengeluaran yang besar di dalam dunia usaha. “Biaya untuk jembatan timbang cukup besar selama ini harus kami keluarkan. Padahal uang tersebut juga belum tentu masuk ke kas daerah,” katanya kepada Sumut Pos, Selasa (14/1).

Fariz menuturkan jika praktik-praktik ini terus menerus terjadi tentu saja dapat mengganggu para pengusaha. Untuk itu dirinya meminta agar pemerintah mengevaluasi terkait regulasi di jembatan timbang.

“Seharusnya seluruh jembatan timbang dievaluasi agar benar-benar melakukan kerja-kerjanya. Kami cukup kewalahan juga selama ini,” paparnya.

Menurutnya jika praktik tersebut terus menerus dilakukan maka jembatan timbang hanya menjadi lumbung bagi segelintir orang. Padahal sebenarnya diawal relugasi yang dihaturkan oleh jembatan timbang cukup baik. “Orang-orang tertentu saja memang yang mengeruk keuntungan dari diberlakukannya jembatan timbang,” katanya.

Dirinya menyarankan agar evaluasi di beberapa titik keberadaan jembatan timbang. Bagi Fariz lebih baik pemerintah mulai memikirkan jembatan timbang per estafet. Fariz mencontohkan barang dari Medan menuju Pekanbaru, maka lebih baik meletakkan jembatan timbang di daerah Rantauparapat. Lalu jika barang ingin dibawa ke Berastagi maka bisa diletakkan jembatan timbang di Berastagi.

“Per estafet saja jembatan timbang diletakkan, tidak perlu di setiap kabupaten/kota. Jadi tidak efektif soalnya,” ujar Fariz. (mag-5/rbb)

Exit mobile version