Site icon SumutPos

Sumut = Semua Urusan Mesti Uang Tunai jadi Mindset

Suap-Ilustrasi
Suap-Ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Pengamat sosiologi politik, Sabar Sitanggang, mengaku tidak heran jika Sumut dalam empat tahun terakhir selalu berada di posisi teratas daftar provinsi terkorup. Dia menilai, banyak hal yang menjadi penyebab praktik korupsi di Sumut tidak kunjung berkurang. Salah satunya, sindiran kepanjangan Sumut yakni, ‘Semua Urusan Mesti Uang Tunai’.

“Semua mesti uang tunai, itu sindiran yang sudah begitu lama, dan kini menjadi mindset, tak gampang menghilangkan mindset itu,” ujar Sabar Sitanggang di Jakarta, Senin (16/11).

Doktor lulusan Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan, istilah ‘Semua Urusan Mesti Uang Tunai (Sumut)’ itu telah berubah menjadi pola pikir sebagian besar orang Sumut. “Karena itu, praktik korupsi begitu permisif di Sumut,” ujarnya.

Hal lain yang mendorong para pejabat di Sumut menyelewengkan dana APBD, antara lain karena sistem kekerabatan yang masih kuat. Jika seseorang menjadi pejabat, maka saudara-saudara dekat ingin ingin menikmati, lantas terjadi penyelewengan pengelolaan uang APBD.

“Seperti saya, Sitanggang, itu ada sekitar 90-an parna. Itu semua kerabat, orang-orang dekat. Susah bagi pejabat menolak ketika mereka datang. Ujung-ujungnya ngakali bansos,” kata Sabar.

Namun diakui, masalah mendasar adalah karena lemahnya pengawasan terhadap pengelolaan keuangan. Pasalnya, lembaga pengawas dalam hal ini DPRD, merupakan bagian dari jaringan yang korup itu.

Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Ronal Rofiandi mengatakan, serangkaian kasus yang menjerat Gubsu nonaktif Gatot Pujo Nugroho dan melibatkan sejumlah anggota DPRD, merupakan bentuk korupsi politik.

“Korupsi politik itu selalu terkait dengan modal menjadi calon kepala daerah dan modal menjadi calon legislatif. Bansos hanya salah satu yang dimainkan,” ujar Ronal kepada koran ini kemarin.

Anggota Koalisi Anti Mafia Anggaran itu mengatakan, selain bansos, biasanya mereka juga mencari modal politik dari proyek-proyek, gratifikasi, dan bahkan biaya perjalanan dinas.

Jadi, menurut Ronal, selama pelaksanaan pilkada dan pileg masih menguras kantong para calon, maka selama itu pula korupsi politik akan terus terjadi.

“Dan itu bukan hanya fenomena di Sumut. Di banyak daerah juga terjadi,” kata Ronal.

Diberitakan sebelumnya, sejak 2012 hingga 2015 Sumut selalu menempati posisi teratas daftar daerah terkorup berdasar kajian sejumlah lembaga pemerhati penyelewengan uang rakyat.


Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia (UI) Chudry Sitompul melihat, kondisi korupsi yang terjadi di Sumatera Utara, benar-benar telah sangat mengkhawatirkan.

Tidak saja karena gubernur maupun ketua DPRD-nya saat ini ditahan diduga terjerat pelanggaran hukum, namun juga temuan sejak 2012 hingga 2015, Sumut selalu menempati posisi teratas daftar daerah terkorup berdasar kajian sejumlah lembaga pemerhati penyelewengan uang rakyat.

“Saya kira kejadian di Sumut dengan ditahannya Gatot dan sejumlah pejabat lain, bukan yang pertama. Mulai dari kepala daerah sebelumnya. Jadi kondisi yang terjadi meski kepala daerah terjerat hukum, rupanya tidak membuat jera pejabat berikutnya,” ungkap Chudry kepada Sumut Pos saat dihubungi dari Jakarta, Senin (16/11).

Menurut Chudry, oknum pejabat tidak jera, karena merasa jeratan hukum yang menimpa orang lain bukan sebuah pelajaran untuk tidak berbuat pelanggaran. Namun hanya seperti istilah, nasib sial tengah menimpa orang yang terjerat kasus hukum tersebut.

“Jadi mereka tidak takut, mungkin nanti mereka (okum pejabat, Red) akan bermain dengan cara lain yang menurut mereka itu cara paling aman,” ujarnya.

Karena itu melihat kondisi yang ada, Chudry pesimistis kondisi-kondisi pejabat terjerat kasus hukum, tidak akan membuat politikus di Sumut menjadi jera.

“Kalau penegakan hukum korupsi sudah dilakukan, tapi para politisinya itu tidak jera-jera. Jadi ada dua kontradiksi, yang satu (aparat hukum, Red) menindak, sementara pihak lain tetap melakukan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Mereka mengangap kasus yang menimpa seseorang itu sedang tertimpa nasib sial,” ujarnya.

Chudry mengemukakan pendapatnya bukan tanpa alasan. Selain berdasarkan fakta-fakta yang ada, juga jargon yang begitu melekat ‘Ini Medan Bung’. Memerlihatkan ada sesuatu yang beda dengan Medan, di banding daerah-daerah lain.

“Itu kan adalah istilah ‘Ini Medan Bung’. Tapi ini sebenarnya tidak menjadikan stereotip Sumut itu jelek. Buktinya, hukum ditegakkan. Jadi mesti harus ada shock therapy terhadap para politisi itu,”ujar Churdy.

Agar kondisi tidak kembali terulang, pria kelahiran 12 Desember 1955 menilai, perlu ada terobosan yang dilakukan masyarakat Sumut. Yaitu pada saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) nantinya, tidak lagi memilih calon yang diusung oleh partai politik. Namun memilih calon dari jalur independen yang memiliki track record cukup baik.

“Warga Sumut jangan pilih gubernur dari partai, cari dari independen.Karena terbukti, selama ini begitu saja (angka korupsi tetap melibatkan pejabat, Red),” ujar Churdy.

Langkah ini kata alumni Fakultas Hukum UI tahun 1986 ini, juga penting, sehingga ada pembelajaran kepada partai politik. Menurutnya, parpol juga harus bertanggungjawab atas kondisi yang ada. Meski disebut parpol tidak pernah memerintahkan kadernya melakukan korupsi, namun fakta memerlihatkan lain. Bahwa di banyak kasus, tidak ada calon kepala daerah yang diusung parpol secara ‘gratis’.

“Jadi untuk pembelajaran, dikhususkan untuk Sumut, nanti kalau pilkada coba pilih dari independen. Kalau hasilnya nanti tetap terjadi KKN, kita tidak tahu mau apalagi,” ujarnya.

Langkah lain, aparat hukum kata Churdy juga perlu membuat terobosan. Selama ini, kasus yang menimpa kepala daerah hanya sampai pada oknum tertentu. Belum pernah terlihat aparat hukum mengungkap dugaan aliran dana hasil korupsi sampai ke parpol untuk kepentingan tertentu.

“Jadi misalnya terkait kasus pak Gatot, itu perlu lebih didalami, aliran dananya sampai ke mana saja. Misal ke si-X, nah perlu ditelusuri si-X ini menggunakan dana itu untuk apa. Apakah untuk parpol. Rasanya enggak masuk akal kalau ini hanya sampai oknum-oknum untuk kepentingan pribadi semata. Karena sudah sangat massif dan melibatkan banyak oknum,” ujar Chudry.


Sebelumnya, berdasarkan kajian Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) yang mengacu hasil audit BPK semester II 2012, Sumut posisi teratas. Peringkat tersebut bertahan hingga 2013. Selanjutnya berdasar kajian Indonesia Corruptions Watch (ICW) semester I 2014, Sumut juga masih teratas. Semester II 20014, Sumut berada di posisi kedua setelah Riau.

Kemudian data Center For Budget Analysis (CBA) yang diolah dari hasil pemeriksaan BPK tahun 2014, Sumut menempati posisi ke dua dugaan provinsi terkorup se-Sumatera. Dengan potensi kerugian negara Rp770,963 miliar.

Peneliti Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah pada 17 Oktober 2015 menyebut, semester I 2015, Sumut merupakan provinsi yang mengalami kerugian negara paling banyak akibat kasus korupsi, yaitu mencapai Rp120,6 miliar, dengan nilai suap sebesar Rp500 juta. (sam/gir/val)

Exit mobile version