Site icon SumutPos

Regal Spring Ciptakan Peluang Bisnis bagi Warga Pinggiran Danau Toba

SUMUTPOS.CO – Memproduksi tilapia premium, sembari membangun masyarakat sekitar. Itulah misi awal yang dipertahankan Regal Springs Indonesia –produsen ikan filet putih terbesar di dunia–, hingga saat ini. Hadir di Danau Toba sejak 1998 lalu, apa yang telah dilakukan perusahaan membangun masyarakat sekitar?

IKAN ASIN: Ma Prandika Gultom (57), menjemur ikan tilapia asin, di belakang rumahnya di Desa Sitiotio, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir. Ikan mentah diperolehnya dari KJA Regal Spring Indonesia. Seminggu, ia bisa memproduksi 80 kg ikan asin, dengan harga jual saat ini Rp27 ribu per kg.

Didirikan tahun 1988 di sebuah danau air tawar di Wunut, Klaten, Jawa Tengah, Indonesia, bisnis Regal Springs Tilapia tumbuh dan berkembang hingga ke Honduras, Meksiko, termasuk ke Sumatera Utara, persisnya di wilayah Danau Toba.

Memproduksi ikan tilapia yang diakui konsumen rasanya paling fresh di dunia, Regal Spring menjadi produsen ikan putih terintegrasi terbesar di dunia. Rantai integrasinya mulai dari pembibitan ikan tilapia, pembesaran, pengolahan, hingga pemasaran ke Amerika Serikat dan Eropa.

Saat ini, bisnis ikan daging putih produksi Regal Spring diakui sebagai nomor 1 paling banyak dikonsumsi di USA. Fillet tilapia yang paling disukai adalah hasil budidaya di perairan Danau Toba. Bebas dari kandungan antibiotik, aditif, dan bahan pengawet.

Apa rahasianya?

“Perusahaan membudidayakan ikan di kolam jaring apung di danau air tawar yang terjaga kemurniannya, dengan kondisi arus alami. Keramba dibangun di danau dengan kedalaman sekitar 100 meter untuk menghasilkan ikan tilapia yang sehat. Karena kualitas air sangat mempengaruhi kualitas daging ikan, perusahaan berkepentingan menjaga kualitas air dan danau tetap prima,” kata Dian Octavia, Senior Community Affairs Manager Regal Springs Indonesia (RSI), didampingi Senior External Affairs Manager RSI, Kasan Mulyono, kepada Sumut Pos, pertengahan pekan lalu.

Berkomitmen untuk terus beroperasi secara keberlanjutan di Indonesia, PT Aquafarm Nusantara (AN) di bawah manajemen RSI, memiliki filosofi bisnis baru: KAMI PEDULI.

Program ini bertujuan menghasilkan produk RSI tilapia alami yang lebih baik untuk kebutuhan konsumen, sekaligus memelihara lingkungan dan sumber daya alam dan membangun masyarakat sekitar.

3 Pilar KAMI PEDULI

Dalam misi mengurangi kemiskinan dan kekurangan lapangan pekerjaan yang dihadapi masyarakat sekitar, Regal Springs Indonesia sejak awal kehadirannya, telah menggulirkan sejumlah program Corporate Social Responsibility (CSR). Namun konsep KAMI PEDULI baru diluncurkan tahun 2018. Program ini memiliki tujuan yang selaras dengan Sustainable Development Goals (SDG’s) yang digaungkan oleh PBB.

“Ada 17 tujuan pembangunan berkelanjutan yang digaungkan PBB, sebagai acuan seluruh jenis industri di dunia. Mulai dari pemeliharaan air bersih, gender equality, pendidikan, kesehatan, infratruktur, dan seterusnya. Intinya, menjaga bumi sebagai bagian masyarakat global,” kata Dian Octavia.

RSI merangkum setidaknya 6-8 tujuan tersebut dalam program KAMI PEDULI, yang diurai dalam 3 nilai dasar. Yaitu, kepedulian terhadap lingkungan, kepedulian terhadap komunitas, dan kepedulian untuk memproduksi ikan Tilapia secara alami.

Pilar pertama, peduli lingkungan. Sebagai bisnis yang bergerak di bidang pembudidayaan ikan air tawar, air menjadi sumber daya vital untuk menghasilkan ikan Tilapia yang aman untuk dikonsumsi.

“Air ibarat darah bagi bisnis ini. Kualitas ikan sangat dipengaruhi kualitas air. Karena itu, kondisi perairan tempat pembudidayaan ikan amat dijaga. Program pengujian kualitas air danau diawasi secara independen oleh Wageningen University Belanda. Selain itu, air danau yang menjadi tempat budidaya juga telah diuji oleh laboratorium independen berstandar ISO 17025,” kata Dian.

Selain itu, produksi dan penebaran pakan dilakukan secara bertanggung jawab.

RSI juga menanamkan prinsip zero waste dalam proses budidaya. Bisa dipastikan tidak ada bagian dari ikan Tilapia yang dibuang, sehingga tidak ikut mencemari lingkungan.

“Bagian-bagian yang biasanya dibuang, kami coba manfaatkan kembali. Misalnya, tulang ikan dijadikan pupuk kompos, dan dibagikan kepada warga sekitar perusahaan secara gratis. Kulit ikan diolah kembali untuk obat luka bakar. Sisik ikan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan kosmetik,” jelas Dian.

Pilar kedua, peduli komunitas. Sebagai bentuk apresiasi kepada masyarakat di sekitar lokasi pembudidayaan, program KAMI PEDULI turut memperhatikan aspek-aspek kehidupan sosial masyarakat. Di antaranya peduli terhadap pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur setempat, perekonomian warga, hingga edukasi masyarakat mengelola limbah domestik.

“Kami meniru konsep Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh yang meraih penghargaan Nobel Perdamaian. Ia mengatakan: ‘Every time I see a problem, I create a business to solve it.’ Ia menciptakan bisnis untuk mengurai masalah sosial yang ada. RSI pun setuju cara itu. Pertumbuhan ekonomi seharusnya berjalan beriringan dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, kami mendukung program-program pendidikan dan peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar,” kata Dian.

Dan pilar ketiga, peduli dalam produksi ikan tilapia yang lebih baik. Dimulai dari proses budidaya secara alami di danau (bukan di kolam), pemberian pakan terapung untuk memaksimalkan penggunaan pakan, serta pengendalian unit operasional yang lebih baik.

Konsepnya, memproduksi ikan dilapia secara alami yang lebih baik, sebagai nutrisi makanan kelas dunia, tanpa antibiotik.

“Untuk mencapai ketiga pilar itu, RSI bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan, dengan menekankan skala prioritas secara bertahap,” cetus Dian.

Peluang Bisnis bagi Masyarakat Lokal

Mengembangkan bisnis sembari memberikan peluang bagi masyarakat setempat untuk memiliki penghasilan dan mata pencaharian yang lebih besar, menjadi salahsatu misi RSI. Menjadi pilar kedua KAMI PEDULI.

“Perusahaan terus berupaya memperkuat masyarakat nelayan sekitar melalui pengembangan ekonomi dan sosial,” kata Dian.

Di Sumut, Regal Springs mempekerjakan 3.600 pekerja. Sekitar 780 karyawan dipekerjakan sekitar wilayah Danau Toba sendiri, sisanya di wilayah Serdangbedagai.

Dengan mempekerjakan warga lokal, Regal Springs Indonesia berharap mampu menghidupkan geliat perekonomian warga dan ikut memajukan aktivitas bisnis di sekitar kawasan pembudidayaan ikan Tilapia.

“Sebagai perusahaan asing yang memiliki izin operasi di Indonesia, Regal Springs Group memiliki kewajiban untuk ikut berpartisipasi bersama pemerintah daerah, dalam memajukan perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat di sekitar wilayah operasional,” kata Dian.

Selain mempekerjakan warga lokal, RSI juga menggerakkan program Corporate Social Responsibility (CSR) di sejumlah bidang di kawasan Danau Toba. Program-program CSR itu bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup warga, dari berbagai aspek.

Mulai dari bantuan honor untuk guru-guru bantu di sejumlah sekolah, pelatihan sanggar tari dan menjahit bagi warga, pemberian makanan tambahan dan komputer untuk sekolah, bantuan alat-alat kesehatan (alkes) ke polindes dan klinik desa, sarana air bersih sumur bor dan tangki untuk warga, penebaran bibit ikan, pembersihan air danau dari enceng gondok, pembangunan infratruktur jalan, sarana protokol kesehatan di sekolah dan rumah ibadah, membuka peluang bisnis bagi warga, dan banyak lagi.

“Misalnya, OSF (out of specification) berupa ikan-ikan yang mati, menjadi peluang bisnis bagi masyarakat sekitar. Ikan baru mati yang kondisinya masih bagus, diolah masyarakt menjadi ikan asin. Yang mutunya dinilai agak jelek, diolah menjadi pakan ternak. Ada juga yang diubah menjadi tepung ikan untuk pakan ternak juga. Jadi tidak ada yang terbuang,” kata Dian.

Dia mengakui, idealnya pengolahan ikan-ikan mati dikelola secara profesional sesuai anjuran pemerintah. “Tapi kondisi di lapangan cukup unik. Masyarakat justru berebutan minta ikan mati. Mereka keberatan jika distribusi ikan mati yang selama ini berlangsung, dihentikan. Alasannya, selama ini mereka diuntungkan secara finansial. Mereka mengolah ikan mati menjadi ikan asin. Sisanya bisa diolah menjadi pakan, sehingga tidak perlu lagi beli bahan pakan ternak,” jatanya.

Kondisi ini menjadi dilema bagi perusahaan. “Perusahaan siap mengalihkan pengolahan ikan OSF ke pihak ketiga. Dijadikan tepung ikan untuk pakan ternak sesuai tata cara yang berlaku. Tapi bagaimana dengan masyarakat yang selama ini telah menerima manfaat? Saya kira, perlu win-win solution dari pemerintah,” cetusnya.

Strategi lainnya adalah pembentukan mindset social enterpreneur di kalangan warga sekitar perusahaan. Di Parapat dan Ajibata misalnya, RSI menggandeng Desmond Group untuk tujuan pembentukan mindset social enterpreneur.

“Potensi social enterpreneur digali pelan-pelan, step by step. Tahun pertama, diskusi dulu untuk menggali potensi warga lokal. Tahun kedua, melakukan studi banding. Dan tahun ketiga praktek. Saat ini masih tahap penggalian potensi lokal. Bertahaplah,” kata Dian. (mea)

Exit mobile version