Site icon SumutPos

Pansus Ngotot Sidang Pilih Wagubsu

Foto: Kombinas/Dok Sumut Pos Mantan anggota DPR RI periode 2009-2014, Muhammad Idris Luthfi Rambe (kiri), dan mantan calon Bupati Asahan, Brigjen Pol (Purn) Nur Azizah Marpaung.
Foto: Kombinas/Dok Sumut Pos
Mantan anggota DPR RI periode 2009-2014, Muhammad Idris Luthfi Rambe (kiri), dan mantan calon Bupati Asahan, Brigjen Pol (Purn) Nur Azizah Marpaung.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pansus Pengisian Kursi Wagubsu DPRD Sumut tampaknya tetap ngotot mengelar sidang paripurna pemilihan Wagubsu pada Senin (24/10) mendatang. Padahal, PTUN Jakarta telah mengabulkan gugatan PKNU Sumut dan meminta Kemendagri menunda pelaksanaan keputusan surat No 122.12/5718.OTDA pertanggal 4 Agustus 2016 yang menjadi acuan DPRD Sumut menggelar paripurna.

Anggota Pansus Pengisian Kursi Wagubsu, Sopar Siburian mengatakan, putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan PKNU Sumut tidak akan mempengaruhi jadwal yang telah diputuskan Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Sumut.

“Internal pansus sudah membahas putusan PTUN secara khusus. Karena yang digugat itu Kemendagri, maka proses di DPRD Sumut tidak akan terpengaruh,” kata Sopar Siburian kepada Sumut Pos, Jumat (21/10).

Karenanya, dia meyakini kalau paripurna pemilihan Wagubsu tetap akan dilaksanakan Senin (24/10) mendatang. Namun, Sopar mengaku memberikan kebebasan kepada seluruh anggota Fraksi Partai Demokrat untuk memilih cawagubsu berdasarkan dua pertimbangan.

Pertama, cawagubsu harus bisa bekerja sama dengan Gubernur. Kedua, cawagubsu harus mengenal daerah Sumut serta problematikanya. Serta mampu mencarikan jalan keluar dari masalah yang ada.

“Tugas wakil gubernur itu membantu gubernur. Makanya kita berikan kebebasan memilih, tidak ada instruksi khusus apakah dari fraksi ataupun DPD Demokrat Sumut. Silahkan berkomunikasi dengan calon yang ada, yang jelas pertimbangan untuk memilih calon adalah dua kriteria yang disampaikan diawal,” sebut Ketua Komisi B DPRD Sumut ini.

Demokrat , lanjut dia, belum pernah bertemu secara khusus dengan kandidat Cawagubsu baik Nur Azizah maupun Idris Lutfi. “Sampai saat ini belum ada,” imbuhnya.

Sekretaris DPW PPP Sumut, Yulizar Parlagutan Lubis juga mengaku tak menghiraukan proses hukum yang ditempuh PKNU Sumut. “Sudah dengar ada putusan PTUN atas gugatan PKNU, tapi Mendgari belum memberikan pemberitahuan apapun, jadi proses yang berada di DPRD Sumut tetap berjalan sebagaimana mestinya,” sebut politisi yang akrab disapa Puli ini.

Mengenai siapa calon yang akan didukung pada Senin nanti, Puli juga mengaku partainya belum memutuskan kepada siapa suara akan diberikan. Dia mengaku, PPP baru bertemu dengan salah satu kandidat cawagubsu asal Hanura, Nur Azizah Marpaung.

“Tapi itu bukan berarti PPP memberikan dukungan ke beliau (Nur Azizah). Belum ada arahan dari Ketua maupun DPP,” tuturnya.

Sementara, DPW Partai Nasdem menghargai proses hukum yang ditempuh PKNU Sumut. Bahkan, partai besutan Surya Paloh itu menilai putusan yang dikeluarkan PTUN Jakarta itu untuk dipatuhi.

“Hukum di negeri ini harus dipatuhi, karena itu panglima tertinggi,” ujar Sekretaris DPW Nasdem Sumut, Iskandar, Jumat (21/10).

Secara khusus, Iskandar mengaku belum membaca salinan putusan PTUN Jakarta bernomor 219/G/2016/PTUN-JKT secara langsung. “Kalau memang putusannya mengintruksikan agar dilakukan penundaan, maka lakukan,” ungkapnya.

Meski begitu, Iskandar mengatakan, dirinya tidak akan memberikan instruksi khusus kepada Fraksi Nasdem di DPRD Sumut. Sebab, dia mengaku partainya menganut azas demokrasi.

“Memang Fraksi itu perpanjangan tangan partai, tapi di Nasdem sistemnya demokrasi. Silahkan Fraksi Nasdem di DPRD Sumut menentukan sikap, apakah menjatuhkan pilihan kepada cawagubsu asal Hanura, atasi PKS. Atau bahkan menolak digelarnya sidang paripurna karena ada putusan PTUN Jakarta,” jelasnya.

Lebih jauh, dia melihat Gubernur Sumut, Tengku Erry Nuradi yang juga Ketua DPW Nasdem Sumut bersifat pasif didalam persoalan pengisian kursi wakil gubernur. “Gubernur tidak menghambat proses pemilihan, juga tidak memaksakan. Karena tidak ada kewenangan Gubenur untuk itu,” paparnya.

Sebelumnya, saat diskusi Kamisan yang digelar Sumut Pos kemarin (20/10), akademisi Univeritas Sumatera Utara (USU), Prof Dr Arif Nasution menilai, proses pemilihan Cawagubsu yang saat ini bergulir di DPRD Sumut sudah cacat hukum dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Karenanya, jika DPRD Sumut tetap memaksakan proses pemilihan berjalan, diyakini wakil gubernur yang terpilih menjadi ilegal.

“Prosesnya saja sudah cacat, apalagi hasilnya. Wagubsu bisa ilegal,” tegas Arif.

Dengan adanya putusan PTUN Jakarta atas perkara yang diajukan PKNU Sumut, Prof Arif menyarankan agar Pansus di DPRD Sumut berkonsultasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

“Mendagri mengacu pasal 174 dalam pemilihan cawagubsu, tapi surat Mendagri itu sudah dibatalkan oleh putusan PTUN. Agar tidak ada kekeliruan, alangkah baiknya Pansus berkonsultasi ke MK, sehingga tidak ada multi tafsir lagi ,” katanya.

Ribut-ribut dan tarik-menarik kepentingan di dalam proses pemilihan cawagubsu, diyakininya akan mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. “Persentasi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah itu kecil, sekitar 30 persen. Kalau terus-terusan begini, akan makin kecil kepercayaan masyarakat kepada pemangku kepentingan,” sebutnya.

Sementara anggota DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan memastikan dirinya akan mendukung pelaksanaan sidang paripurna pemilihan cawagubsu jika mengacu kepada pasal 176 UU No 10/2016.

Menurutnya, surat Kemendagri tidak bisa dijadikan dasar pegangan oleh pansus. Karena telah bertentangan.

“Ini sudah kesalahan kolektif secara kelembagaan, harusnya UU yang dijadikan patokan, bukan surat Mendagri,” tegas politisi yang dikenal vokal itu.

Maka dari itu, dia menilai, baik PKNU, PPN serta Patriot yang ikut menjadi parpol pengusung pasangan Ganteng pada Pilgubsu 2013 lalu tetap berhak mengajukan nama kepada gubernur.

“Lakukan saja seharusnya kewajibannya, karena itu memang amanat dari UU,” cetusnya.

Secara khusus, Sutrisno mengaku tidak pernah berkomunikasi dengan PPN, Patrito serta PKNU. Namun, ia mengakui selalu berada tiga parpol non seat itu karena sama-sama mengerti atas UU.

Sutrisno coba menempatkan dirinya pada posisi parpol pengusung nonseat yang saat ini telah dizalimi. “Andaikan PDI-P dimasa yang akan datang merasakan hal yang sama, tentu sedih. Makanya, saya ingin membela siapa yang benar,” terangnya.

“Pasal 174 itu dipakai ketika posisi gubernur dan wakil gubernur sama-sama berhalangan. Sedangkan untuk masalah yang menimpa Sumut itu menggunakan pasal 176,” tukasnya.

Foto: Sutan Siregar/Sumut Pos
Ketua PKNU Sumut, Ikhyar Velayati Harahap, dalam diskusi bersama redaksi Sumut Pos di gedung Graha Pena, Kamis (20/10).

Sementara, Ketua PKNU Sumut, Ikhyar Velayati Harahap mengancam akan melaporkan Pansus Pengisian Kursi Wagubsu ke KPK jika lembaga legislatif tersebut mematuhi putusan PTUN Jakarta. Ikhyar menilai, sikap pansus tersebut bertentangan dengan UU 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi khususnya pasal 3 yang menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

“Kalau pansus tetap ngotot, PKNU akan laporkan ke KPK, karena sudah melanggar UU Tipikor khususnya penyalahgunaan wewenang,” katanya.

Keputusan untuk melaporkan pansus ke KPK diakuinya merupakan jalan akhir yang akan mereka tempuh. Maka dari itu, pria berkumis tebal itu mengungkapkan, tiga partai nonseat yang selama ini terabaikan akan mencabut gugatan ketika dilibatkan dalam pengusulan dua nama cawagubsu.

“Masih ada tiga hari ke depan, sebelum jadwal paripurna. Kalau kami diajak berdiskusi, dan secara bersama-sama mengusulkan nama atau memakai pasal 176 UU 10/2016 dalam mekanisme pengisian kursi wakil gubernur maka masalah ini akan cepat selesai. Andainya, pansus tetap memaksakan paripurna dan mengabaikan putusan PTUN, maka langkah kongkrit yang akan kami lakukan adalah melaporkan pansus ke KPK, karena sudah menyalahgunakan wewenang,” bebernya.

“Dua nama yang diusulkan PKS dan Hanura banyak menyalahi administrasi. Anehnya ketika PKS dan Hanura yang disebut Mendagri bisa mengusulkan nama, kedua partai itu tidak juga ada kata sepakat. Ini dibuktikan dari cara PKS dan Hanura yang mengajukan dua nama secara terpisah. Artinya apa, kedua partai itu tidak sepakat dengan usulan masing-masing,” tambahnya.

Ikhyar kembali menegaskan, putusan PTUN Jakarta bernomor 219/G/2016/PTUN-JKT mengintruksikan kepada pihak tergugat (Kemendagri) untuk menunda pelaksanaan keputusan surat nomor 122.12/5718/OTDA pertanggal 4 Agustus 2016.

“Selama inikan pansus berlindung di balik surat Mendagri, ketika surat Mendagri dibatalkan maka tidak ada alasan untuk menggelar sidang paripurna pemilihan cawagubsu, semua harus dibatalkan. Mereka (Dewan) bilang selama ini mematuhi UU dalam menjalankan tugas. Tapi, kenapa ada keputusan hukum dari PTUN tetap diabaikan,” terangnya. (dik/adz)

Exit mobile version