Site icon SumutPos

Anggaran Kampanye Deliserdang Rp6 Miliar

Calon tunggal Pilkada Deliserdang, Ashari tambunan dan M Ali Yusuf Siregar.

LUBUKPAKAM, SUMUTPOS.CO -Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Kabupaten Deliserdang menganggarkan Rp6 miliar untuk dana kampanye pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang digelar 27 Juni mendatang. Dana kampanye itu sendiri bagian dari biaya pelaksanan pilkada yang sudah dianggarakan sebelumnya.

Demikian disampaikan Anggota Kosimioner Bidang Sosalisasi dan Humas Bobby Indraprayoga ketika dihubungi di ruang kerjanya di Kantor KPU Deliserdang Jalan Karya Jasa, Kamis (25/1).

Menurut Bobby, KPU selaku penyelengara pilakda perkewajiban membiaya dana kampanye yang bertujuan memaksimalkan angka partisipasi warga untuk hadir ke tempat pemilihan suara (TPS).

Tetapi selain dana kampanye ditanggung KPU, namun pasangan calon bupati dan wakil bupati juga mengeluarkan dana kampanye sendiri.

“Dana Rp6 miliar itu dipakai untuk mengkampanyekan pelaksanaan selama pilkada berlangsung dengan tujuan angka partisipasi masyarakat tinggi nantinya,”terangnya.

Terkait pembatasan pengangaran yang bisa dikeluarkan peserta pilkada belum diputuskan oleh KPU daerah. Alasannya, karena belum ada penetapan besaran angka yang harus dikeluarkan kandidat.

“Sampai saat ini KPUD Deliserdang masih menghadapi perkara sengketa pilkada yang kini masih dalam proses. Jadi, angka itu kita belum tahu. Soalnya ini berkaitan apakah nanti calon tunggal atau bukan. Kita lihat hasil putusan panwaslu-lah,” terangnya.

Selanjutnya Bobby merinci, anggaran Rp6 miliar tersebut akan dipergunakan untuk biaya penyelengarakan debat kandidat yang diselengarakan sebanyak tiga kali. Dan, itu berbiaya sekitar Rp600 juta. Kemudian bahan kampanye penyelengaranya KPUD berbiaya Rp2 miliar.

Selanjutnya biaya pengadaan alat peraga kampanye Rp3 miliar. Kampanye di media massa berupa iklan media cetak dan elektronik selama tiga hari Rp496 juta.

Menyikapi hal ini, pengamat anggaran Elfenda Ananda mengatakan memang menjadi dilema kalau dikaitkan dengan anggaran. Disatu sisi negara menganut sistem demokrasi lewat pilkada langsung yang membutuhkan biaya besar, namun  di sisi lain diharapkan dengan pilkada masyarakat dapat memutuskan pemimpinnya lewat memilih. “Namun, inilah proses demokrasi kita yang terjadi saat ini,” katanya kepada Sumut Pos, Kamis (25/1).

Fenomena satu paslon hanya melawan kotak kosong, menurut dia, patut disesalkan dan dikecewakan masyarakat terhadap kinerja partai politik. Sebab dari sisi pembiayaan harusnya bisa lebih efesien karena sosialisasi bisa ditekan lewat penjaringan parpol.

“Regulasi memang harus memberi jalan keluar seandainya semua partai ada di satu paslon. Tapi, parpol harus punya tanggung jawab dari sisi membangun demokrasi yang lebih kompetitif,” imbuhnya.

Mantan Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Sumut ini menambahkan, kenyataan bahwa ada paslon melawan kotak kosong juga menunjukkan parpol itu pragmatis. Di samping itu parpol dinilai gagal melahirkan kadernya.

“Pragmatis hanya memikirkan kemenangan lewat incumbent. Sebaiknya rakyat mengawasi proses pelaksanaan pemilukada dengan melawan kotak kosong. Selain itu, mengambil sikap terhadap parpol-parpol yang telah gagal melahirkan kader. Kuncinya ada di masyarakat,” pungkasnya. (prn/btr/azw)

 

Exit mobile version