Site icon SumutPos

Masyarakat Adat Berbenah Majukan Danau Toba

Foto: M IQBAL HARAHAP/SUMUT POS
MATERI: Ketua KSPPM Kabupaten Samosir Anggiat Sinaga, saat memberikan materi penguatan peran masyarakat adat di Samosir.

SAMOSIR, SUMUTPOS.CO -Masyarakat adat sebagai bagian dari warisan kekayaan di kawasan Danau Toba, merupakan satu faktor penting guna menjadikan 7 daerah di Sumatera Utara (Sumut) itu mendunia. Sehingga, peran lembaga pendamping diperlukan guna memberikan penguatan terhadap keberadaannya.

Ketua Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Kabupaten Samosir, Anggiat Sinaga mengatakan, pihaknya terus melakukan upaya penguatan peran masyarakat adat se-kawasan Danau Toba, seiring rencana pemerintah pusat mengembangkan potensi wisata yang ada dari segala sektor.

“Tentunya kami terus mengawal perkembangan yang ada di masyarakat. Termasuk akan dimulainya pembangunan, seperti infrastruktur jalan, masuknya investor untuk kebutuhan hotel, dan sebagainya. Jadi kami harus pastikan peran masyarakat,” tutur Anggiat, belum lama ini.

Kelompok masyarakat adat khususnya, lanjut Anggiat, masih banyak yang dinilai belum memahami betul bagaimana rencana pemerintah dalam pengembangan kawasan pariwisata Danau Toba. Seperti mengemas sedemikian rupa segala bentuk aktivitas masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai budaya turun temurun. “Selama ini, bicara adat, ya itu menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat adat Batak Toba di kawasan ini. Namun, untuk menghadapi kemungkinan masuknya rencana pembangunan besar dari pusat, tidak hanya kelestarian alam, tapi juga kelestarian adat istiadat harus dipertahankan,” jelasnya.

Ia mencontohkan seperti saat ini, aktivitas bertani, berladang, hingga pemasaran, masih belum mengarah kepada produksi untuk kebutuhan wisata. Sehingga, sebagian masih harus didatangkan dari luar kawasan. Selain itu, untuk pemasaran perlu ada koordinasi jelas, antara hasil panen warga dengan permintaan dari pelaku wisata. “Kalau selama ini, bertani itu ya untuk kebutuhan biasa saja, termasuk pemasarannya yang juga tradisional. Ini yang perlu diperkuat, karena biasanya untuk pariwisata, komoditi pertanian bisa lebih tinggi harganya. Nah, posisi masyarakat adat ada di mana, harus dipastikan,” kata Anggiat.

Selain itu, pihaknya juga tengah fokus mengorganisir masyarakat dalam hal mempersiapkan perubahan, yang bakal muncul dengan banyaknya pembangunan yang diprogramkan pemerintah. “Kami tetap fokus memberikan pencerahan tentang dampak apa yang akan muncul dengan pengembangan ini. Apalagi dampak sosial masyarakat,” beber Anggiat.

Menurut Anggiat, dengan rutinitas dialog bersama masyarakat, akan ada tawaran mengenai bagaimana menghadapi perubahan yang akan muncul, apa yang dibutuhkan masyarakat, dan mana yang tidak diperlukan.

Prioritas mereka saat ini, bagaimana masyarakat adat mengantisipasi permasalahan lahan. Sebab sebagai pemilik sebagian besar tanah di kawasan Danau Toba, masyarakat tidak boleh hanya menjadi penonton di rumahnya sendiri. “Kami melihat kemungkinan itu, karena secara tidak langsung, banyak warga belum siap dan hanya mendengar cerita, ada pengembangan di tanah Batak. Kalau tidak disiapkan, warga setempat bisa kehilangan peran,” ungkap Anggiat.

Dengan sebagian besar mata pencaharian masyarakat sebagai petani dan nelayan, harus ada manfaat yang dirasakan warga. Sehingga mereka sebagai organisasi yang fokus di masyarakat, melihat hal ini sebagai sebuah tantangan sekaligus kekhawatiran. “Kami mendukung pembangunan ini. Tapi tetap melihat nilai kritis terhadap dampak yang mungkin akan muncul. Terutama potensi konflik sosial, ini yang harus dijaga,” pungkas Anggiat. (bal/saz)

Exit mobile version