Site icon SumutPos

Pemkab dan Kepolisian Tak Peduli

Foto: Solideo/Sumut Pos
Satu unit truk bermuatan kayu pinus kawasan Bukit Barisan, mellintas di Desa Tanjung, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaen Simalungun.

KARO, SUMUTPOS.CO -Penebangan kayu pinus di kawasan Bukit Barisan, tepatnya di Desa Tanjung, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, kian marak. Meski bukit di sekitar lokasi sudah terlihat gundul, namun sampai detik ini pemerintah maupun penegak hukum masih melakukan pembiaran.

Pantauan Sumut Pos, kegiatan yang diduga kuat ilegal tersebut sudah berlangsung kurang lebih sebulan. Dalam sehari, puluhan ton kubik kayu yang sudah dipotong-potong sepanjang 3 meter diboyong dari desa kecil yang berbatasan dengan Desa Pertumbuken, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo itu.

Parahnya lagi, meski truk-truk kayu itu dipastikan bakal merusak jalan karena kelebihan tonase, namun Pemkab Karo maupun Camat Barusjahe, juga seolah tak peduli. Info yang dihimpun, penebangan ini dilakukan dengan dalih hutan pinus seluas 30 hektare tersebut adalah milik warga Desa Tanjung.

Untuk memuluskan aksinya, pihak pengusaha yang disebut-sebut di-backup oknum Polres Siantar itu, telah menyerahkan uang Rp80 juta untuk dibagi-bagikan pada warga desa.

“Kami sudah bayar Rp80 juta ke masyarakat Desa Tanjung. Para kepala desa juga sudah kami kasih semua,” tutur Karo-karo, yang mengaku sebagai pengawas saat dikonfirmasi, Kamis (26/10).

Karo-karo ngotot, pihaknya tak melakukan pelanggaran, karena telah membeli kayu tersebut dari masyarakat. Karo-karo bisa saja berdalih, namun fakta yang terungkap di lapangan, penebangan itu jelas-jelas terjadi di kawasan Bukit Barisan. Dasar masyarakat yang disebut sebagai pemilik perbukitan hutan pinus itu juga tak jelas.

Dari pantauan, sejak sore hingga tengah malam, kayu-kayu itu dilansir dari Desa Tanjung melintasi Desa Pertumbuken menggunakan truk jenis coltdiesel. Jika sebelumnya kayu itu dilansir ke Desa Bulanjulu untuk dibawa ke Pematangsiantar, namun saat ini tempat penampungan sementara telah berpindah ke kawasan Desa Sinaman, Kecamatan Barusjahe.

Pemindahan lokasi penampungan sementara tepaksa dilakukan untuk menghindari bentrok. Pasalnya, sebelumnya Kepala Desa Bulanjulu dan masyarakat sekitar sempat melayangkan protes.

Kapolsek Barusjahe AKP Siswaya, yang dikonfirmasi mengaku, sudah mengetahui soal praktik penebangan kayu tersebut. “Kemarin sudah saya kirim anggota turun ke lokasi penampungan sementara untuk melakukan penyelidikan,” bebernya.

Sesuai laporan anggota, lanjut Siswaya, lokasi penabangan kayu itu adalah milik warga Desa Tanjung. Namun saat ditanya, apakah mungkin masyarakat punya bukti kepemilikan lahan di Bukit Barisan? Siswaya mengaku, pihaknya belum melakukan pengecekan ke lokasi penebangan. “Katannya penebangan dilakukan di perladangan milik masyarakat. Kami memang belum ada turun ke lokasi, kami tak mengetahui pinus-pinus tersebut berada di kawasan Bukit Barisan,” elaknya.

Meski belum turun ke TKP, namun Siswaya mengaku, sudah melaporkan masalah tersebut ke Polres Karo. “Saya sudah lapor ke Polres Karo, karena pihak Tipiter Polres yang punya hak melakukan penindakan. Lokasinya juga berada di wilayah hukum Polres Simalungun. Hanya lokasi penampungan sementara yang berada di wilayah kami,” ungkapnya.

Sementara Kapolres Simalungun AKBP Marudut Liberty, yang dikonfirmasi juga terkesan santai menanggapi masalah tersebut. “Akan saya infokan ke jajaran,” katanya. Liberty juga membantah oknum polisi yang mem-backup penebangan kayu pinus itu sebagai anggotanya. “Polisi itu bukan anggota Polres Simalungun, tapi Polres Siantar,” katanya.

Firdaus Ginting (27), seorang warga Desa Pertumbuken, yang ditemui wartawan, menyesalkan penebangan kayu di kawasan Bukit Barisan terus terjadi tanpa adanya tindakan dari pemerintah dan aparat penegak hukum. “Sudah gundul hutan itu kami lihat. Bukan hanya di Desa Tanjung, sebelumnya penebangan juga terjadi di Desa Tambak Bawang, yang memang berbatasan dengan Desa Tanjung,” bebernya, diamini warga lain.

Jika terus dibiarkan, penebangan itu dipastikan tak hanya merusak ekosistem hutan, tapi juga menutup sumber mata air. “Air minum yang setiap hari dikonsumsi warga tiga desa itu berasal dari mata air yang tak jauh dari lokasi penebangan. Jika terus dibiarkan, sumber air bersih ini bakal habis. Ini yang warga takutkan,” pungkasnya. (deo/saz)

Exit mobile version