Site icon SumutPos

Kasus Pidana DL Sitorus: Tugas Kejaksaan Sudah Tuntas

Darianus Lungguk (DL) Sitorus, semasa hidupnya..

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Umum Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Merah Putih (LBH-RMP)  DR Ricky Sitorus, menyambut baik pernyataan Jaksa Agung di berbagai media, antara lain dimuat Detik News Jumat 27 Oktober 2017, yang menyatakan bahwa Tugas Kejaksaan meng-Eksekusi lahan perkebunan milik DL Sitorus seluas 47 ribu hektare sebagaimana bunyi amar putusan Pidana MA No2642/K/Pid/2006 tanggal 12 Februari 2006 sudahselesai.

“Kita sudah eksekusi sejak tahun 2009, saya ingat betul kami eksekusi tanggal 26 Agustus 2009, dan sejak itu Tugas Jaksa dalam eksekusi masalah itu sudah selesai,” kata Jaksa Agung Prasetyo, sebagaimana dikutip DetikNews (27-10-2017).

“Kami menyambut baik pernyataan sikap Jaksa Agung tersebut. Sehingga ke depan, tak adalagi pernyataan-pernyataan yang meresahkan masyarakat dengan ditakut-takuti oleh istilah eksekusi susulan, eksekusi fisik atau eksekusi apapun namanya. Maka dengan pernyataan itu tugas Jaksa dalam kasus Pak DL Sitorus terkait putusan Pidana MA No 2642 sudah selesai, walaupun dengan segala ketidak adilan hukum yang ditimpakan kepada almarhum DL. Sitorus tidak terulang lagi kepada putra batak lainnya di Padanglawas,” kata Ricky Sitorus yang juga pengamat Kehutanan,

Seperti diketahui, pada Rabu 26 Agustus 2009 bertempat di Kantor Kejaksaan Tinggi Sumut, pihak Kejaksaan Tinggi Sumut diwakili AgoesDjaja, AsistenTindak Pidana Khusus, mengeksekusi Putusan Pidana Nomor 2642 dengan menyerahkan Lahan Perkebunan Kelapa Sawit seluas 47 ribu kepada Ir J.B Siringo-Ringo, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumut. Eksekusi tersebut sebagai pelaksanaan Putusan Pidana MA No.2642 yang amarnya berbunyi

Menghukum DL Sitorus 8 tahun, denda Rp5 Miliar, dan kebun seluas 47 ribudirampas untuk Negara, padahal kerugian Negara tidak terbukti alias nol (0).

Sampai disini seharusnya tugas kejaksaan sudah selesai. Tapi, pascaeksekusi 26 Agustus 2009 itu, selalu saja oknum instansi pemerintah memancing kegaduhan di masyarakat menyatakan bahwa akan ada eksekusi susulan berupa eksekusi fisik atau eksekusi manajemen. Rupanya, pihak Kejaksaan melihat eksekusi yang dilakukanpada 26 Agustus 2009 tersebut adalah eksekusi pura-pura atau bahkan eksekusi yang keliru. Sehingga mau dilakukan eksekusi susulan. Tentu saja sikap Kejaksaan ini bertentangan dengan hokum dimana eksekusi itu prinsipnya sekali dan final.

Sikap kejaksaan yang tidak konsisten ini telah membangkitkan amarah masyarakat pemilik lahan yang tergabung dalam Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit Bukit Harapan (KPKS-BH) seluas 23 ribu dan Koperasi Parsadaan Simangambat Ujung Batu (Parsub) seluas 24 ribu hektare dan bermuara melalui Kuasa Hukumnya dari LBH RMP, menggugatperdata ke PN Padangsidimpuan, KemenLHK, KejaksaanAgung danKepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumut.

NET
Hutan register 40 Padang Lawas, Sumut.

PN Padangsidimpaun mengabulkan gugatan masyarakat sebagaimana termuat dalam Putusan No.37/Pdt.G/2015/PN.PSP danPutusanNo 46/Pdt.G/2015/PN.PSP, yang antara lain amar putusannya menyatakan bahwa PutusanP idana MA No 2642 terkait merampas kebun sawit seluas 47 ribu adalah tidak sah dan batal demi hukum. Pertimbangan majelis, karena masyarakat terbukti secara sah sebagai pemilik tanah tersebut yang diduduki secara turun temurun 7 generasi, danmemilik 12.000 sertifikat Hak Milik dari BPN. “Jadi tanah 47 ribu hektar itu milik masyarakat bukan milik DL Sitorus,” kata Marihot Siahaan Tim Hukum LBH RMP.

Sedangkan pihak tergugat, dalam persidangan tidak mampu menunjukkan bukti-bukti berupa Berita Acara Penataan Batas Temu Gelang, Surat Keputusan Penetapan Kawasan Hutan Negara Tetap sebagaimana dimaksud Putusan MK No 45/PUU-IX/2011 tanggal 21 Februari 2012.  Bahkan para saksi dari Departemen Kehutanan pada persidangan pidana DL Sitorus, yaitu Inspektur Jenderal Ir Surachmanto, Kepala Pusat Pengukuhan Penatagunaan Kawasan Hutan Ir Ali Arsyad, menyatakan register 40 bukan kawasan hutan karena tata batas belum temu gelang.

Pengadilan juga menyatakan bahwa GB No 50 Tanggal 25 Juni 1924 yang dipakai sebagai dasar hokum pihak KemenLHK menyatakan register 40 Padang Lawas Kawasan Hutan Negara Tetap dinyatakan tidak sah, karena tidak pernah ada aslinya dan sudah direkayasa serta tidakter daftar dalam Staasblad HindiaBelanda.

“Implikasi batalnya GB No 50 sebagai dasar hokum penetapan register 40 Padang Lawas Kawasan Hutan, maka klaim sepihak Kemen LHK Register 40 Padang Lawas adalah Kawasan Hutan batal demi hukum, “ kata Marihot Siahaan, Tim Hukum LBH RMP.

Pihak tergugat, menyatakan banding atas putusan perdata Nomor 37 dan 46 tersebut. Namun, dalam tingkat banding PT Medan menyatakan menolak banding para pihak sebagaimana termaktub dalam Putusan Perdata PT Medan No 78/PDT/2017/PT.MDN dan Putusan Perdata No 79/PDT/2017/PN.MDN. Sejatinya para tergugat, menyadari kekeliruan yang mereka lakukan pada masa lalu dan legowo dengan putusan pengadilan yang mengembalikan hak-hak masyarakat yang tergabung dalam koperasi KPKS-BH dan Parsub tersebut.

Tokoh Adat Padang Lawas, Ompu Solenggam Harahap, 85 tahun, menyatakan kedepan ini, jangan lagi ada pernyataan-pernyataan yang berpotensi mengundang keresahan dan konflik. “Kami sudahcukup lama terzolimi dengan dikatakan tanah ulayat kami Kawasan hutan, faktanya bohong. Harus diingat, Indonesia belum ada, nenek moyang kami sudah menduduki lahan ini. Jadi bagaimana mungkin dikatakan KawasanHutan ?“ kata Ompu Solenggam seraya menegaskan biarkanlah kami masyarakat batak berkembang mencapai kesejahteraan hidup menjadi petani kelapa sawit di tanah ulayat nenek moyang kami. Dan devisa hasil ekspor kelapa sawit menurut BPS penyumbang terbesar devisa Negara yaitu Rp. 239 triliun, Artinya kontribusi mereka terhadap Negara sudah bagus maka jangan diganggu-ganggulagi. (rel/val/ril)

 

Exit mobile version