Site icon SumutPos

Tim Saber Uber Otak Pelaku Pungli di Belawan

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos Aktifitas pekerja pelabuhan di BICT Belawan, Minggu (21/8) lalu. Dwelling time di Pelabuhan Belawan masih 7-8 hari, dibarengi pungli. Untuk menyelidikinya, Poldasu membentuk timsus.
Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos
Aktifitas pekerja pelabuhan di BICT Belawan, Minggu (21/8) lalu. Dwelling time di Pelabuhan Belawan masih 7-8 hari, dibarengi pungli. Untuk menyelidikinya, Poldasu membentuk timsus.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Di tengah upaya Tim Sapu Bersih (Saber) Mabes Polri dan Poldasu memburu otak pelaku praktik pungli di Pelabuhan Belawan, saat itu juga importir mengeluhkan pembengkakan biaya penyimpanan peti kemas.

Hingga Rabu (2/11), Tim Saber terus mengusut pungli di Pelabuhan Belawan, bahkan setelah Poldasu menetapkan dua tersangka praktik pungli di Pelabuhan Belawan yang melibatkan, FHS dan SPM pengurus Primkop Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Upaya Karya. Diinformasikan, Tim Saber sudah menangkap otak pelaku praktik pungli, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Perhubungan, Am yang juga manajer Unit Usaha Jasa Bongkar Muat (UUJBM) Koperasi TKBM Upaya Karya.

Kepala Bidang Humas Poldasu, Kombes Pol Rina Sari Ginting, melalui Kasubbid Penerangan Masyarakat (Penmas) Poldasu, AKBP MP Nainggolan belum bersedia membuka lanjutan penangkapan Tim Saber Mebes Polri dan Poldasu, pada Rabu (2/11). “Besok saja (hari ini,red) dengar langsung dari Kapoldasu. Hingga kini tim masih terus bekerja,” ujarnya.

Adanya pengusutan itu, PT Pelindo I juga menekan angka dwelling time menjadi 2,5 hari. Dampaknya, pengusaha importir mulai mengeluh karena pengusaha harus mengeluarkan ongkos penumpukan tambahan di buffer zone IKD Belawan. “Di Belawan ini, ongkos logistiknya kok semakin tinggi. Padahal, kinerja petugas yang lambat, tapi pengusaha yang terjebak biaya progresif,” ujar, AR Panjaitan seorang importir, Rabu (2/11).

Menurut dia, biaya progresif sebesar 100 hingga 700 persen dari tarif penumpukan petikemas dengan alasan menekan angka dwelling time di BICT, dinilai bukanlah solusi tepat. Tapi, justru menambah beban biaya tinggi ditanggung oleh pengusaha. “Penumpukan petikemas di terminal BICT sekarang ini paling lama 1 x 24 jam. Jika pemeriksaan tidak selesai, petikemas dipindahkan ke buffer zone dan dilanjutkan disana, ini yang menimbulkan ongkos tambahan,” katanya.

Pemindahan petikemas ke area buffer zone IKD pelabuhan Belawan, serta biaya progresif yang dibebankan ke pengusaha tersebut mulai diberlakukan setelah surat edaran BICT PT Pelindo I Nomor.US.15/I/7/BICT.16.TU dikeluarkan, pada akhir bulan September 2016 lalu.

“Importir sulit menghindari tarif progresif ini, karena proses pengurusan dokumen dan barang oleh petugas Bea Cukai, karantina dan lainnya itu perlu waktu,” ungkap Panjaitan.

Cororate Secretary PT Pelindo I, M Eriansyah Boy mengatakan, pemberlakukan biaya progresif bertujuan untuk menekan waktu dwelling time 2,5 hari, supaya petikemas tidak sampai berlama-lama menumpuk dan berada di area terminal BICT.

“Kalau lebih dari 1 x 24 jam berada di terminal BICT, kita pindahkan ke buffer zone IKD Belawan. Tentunya biaya progresif ditanggung pengusaha,” ujarnya.

Proses pemindahan itu sebut, Eriansyah dilakukan apabila pemeriksaan terhadap barang maupun dokumen telah selesai dilakukan petugas, dan disertai adanya Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) dan Surat Pengeluaran Petikemas (SPP).

“Kalau memang SPPB dan SPP-nya sudah keluar, tapi proses trucking lambat. Maka upaya pemindahan ke buffer zone IKD Belawan kita lakukan,” terangnya.

Dia menambahkan, dalam menekan angka dwelling time di BICT, PT Pelindo I selaku pengelola jasa kepelabuhanan meminta dukungan dari instansi terkait seperti Bea Cukai, Karantina dan lainnya. “Soal dwelling time ini kita minta dukungan dari intansi terkait, agar proses pemeriksaan barang dan dokumen bisa berlangsung cepat,” pungkasnya.

Praperadilan Tersangka Dwelling Time

Hakim tunggal PN Medan, Morgan Simanjuntak menyidangkan kasus permohonan Herbin Polin Marpaung melalui kuasa hukumnya, Rabu (2/11). Sidang yang digelar di ruang Cakra 4 PN Medan beragendakan mendengar jawaban termohon yakni Polda Sumut.

Melalui kuasa hukum Polda Sumut, Kompol Ramles Napitupulu SH dan AKP Mila Mufida SH menyatakan tindakan penyidik Polda Sumut dalam menetapkan status tersangka terhadap pemohon sudah dalam koridor hukum dan peraturan perundang-undangan.

Menurut Ramles dalam jawabannya, penetapan status tersangka terhadap pemohon dengan mengenakan pasal 368 KUHP pidana tentang pemerasan sudah sesuai dengan unsur-unsur pidananya. “Pada intinya pemohon tidak melakukan pekerjaan tetapi dia dibayar sebesar Rp 141 Juta. Hal tersebut jadi jelas unsur pemerasannya sudah terbukti,” ucap Ramles seusai sidang.

Dalam permohonan gugatan pemohon dijelaskan, termohon telah melakukan tindakan-tindakan dan upaya paksa yang tidak sah menurut hukum. Penetapan pemohon sebagai tersangka oleh termohon akibat pengabaian fakta dan bukti serta regulasi yang berlaku oleh termohon. Penetapan termohon sebagai tersangka bertentangan dengan asas kepastian hukum.

“Kasus ini awalnya ketika pemilik barang berupa batu split atas nama D Moran alias Deny telah membongkar barang miliknya di dermaga Lantamal Belawan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Seharusnya pemilik barang tersebut membongkar muatannya di pelabuhan yang diperuntukkan untuk umum,” ucap pemohon melalui kuasa hukumnya Yudikasi Waruwu didampingi Maya Manurung dan Agam Iskranen Sandan.

Menurut Waruwu, sebelum penangkapan, pemohon yang juga Direktur PT Paramitra Cemerlang, selaku penyedia jasa bongkar muat telah sepakat dengan D Moran alias Deny. Tarif biaya bongkar muat batu splite sekitar Rp 141 juta.

Setelah kata sepakat itu, lanjut Waruwu, Herbin bertemu dengan Oktavianus di D’Foffe, salah satu kafe di Kompleks Cemara Asri 3 Oktober 2016 sekitar pukul 16.30 WIB. Pertemuan sesuai kesepakatan. D Moran melalui pesan Whatsapp menyuruh Oktavianus membayar semua biaya bongkar muat sesuai kesepakatan. Namun, Oktavianus hanya menyerahkan uang Rp 10 juta dan giro Rp 30 juta.

Herbin menolak uang itu dan menunjukkan pesan Whatsapp D Moran yang berisi sudah menyerahkan uang Rp 141 juta kepada Oktavianus. Kemudian Oktavianus bingung dan mendesak-desak agar Herbin menerimanya.

Sambil menunggu kemungkinan adanya negosiasi, Herbin mencoba mencari solusi dengan mengusulkan bagaimana kalau bayar Rp 75 juta sebagai panjar, sedangkan sisanya dilunasi setelah barang tunai dibongkar muat.

Atas usulan itu, Oktavianus pamit mengambil uang. 30 menit kemudian, ia kembali dengan membawa uang Rp 75 juta. Saat Herbin menghitung uang dan Oktavianus membuat kwitansi, polisi datang menangkap Herbin.

Selanjutnya Herbin dibawa ke Polres Belawan dan ditetapkan sebagai tersangka. Setelah dilakukan gelar perkara, Herbin kemudian dibawa ke Poldasu dan ditetapkan sebagai tahanan. “Jadi ini murni urusan bisnis. Bukan dwelling time. Bukan pemerasan. Tapi laporan ke Presiden dan Kapolri dwelling time, sehingga warga sipil dikriminalisasi,” kata Waruwu.

Dalam tuntutannya pemohon meminta agar pengadilan mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan dalam hukum bahwa termohon terbukti telah menyalahgunakan hak diskresi nya dengan menetapkan pemohon sebagai tersangka. Menyatakan dalam hukum bahwa penetapan tersangka atas diri pemohon Herbin Polin Marpaung adalah tidak sah menurut hukum.

Menyatakan dalam hukum bahwa termohon terbukti telah menyalahgunakan hak diskresi nya dengan mengeluarkan surat penangkapan terhadap diri pemohon berdasarkan surat perintah penangkapan nomor Sp. Kap/40/X/2016/Direskrimsus tertanggal 4 Oktober 2016 yang ditandatangani oleh AKBP Dr Maruli Siahaan SH MH sebagai Wakil Direktur Reskrim Polda Sumatera Utara dan oleh karenanya surat perintah penangkapan tersebut haruslah dinyatakan tidak sah menurut hukum.

Diketahui, PT Paramitra Cemerlang adalah perusahaan penyedia jasa yang bergerak di bidang bongkar muat barang di Pelabuhan Belawan. Herbin sendiri selain sebagai Direkturnya, juga Ketua Dewan Pengurus Wilayah Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia. (mag-1/gus/rul/ril)

Exit mobile version