Site icon SumutPos

Pasar Modern Harus Berjarak Minimal 2 KM dari Pasar Tradisional

File/Sumut Pos
Pekerja swalayan menata susunan coklat kemasan tersusun di rak yang dijajakan di salah satu supermarket di kota Medan, belum lama ini.

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Mulai terpinggirkannya pasar tradisional lantaran kalah bersaing dengan pasar modern/retail yang tumbuh subur, membuat pemerintah pusat melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta pemerintah daerah (Pemda) khususnya di Sumatera Utara (Sumut) untuk mengatur ulang tata letak keberadaannya.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan, jarak antara pasar modern dengan pasar tradisional maksimal 2 kilo meter. Oleh karenanya, Pemda diminta untuk mengatur ulang tata letak pasar modern.

“Sebenarnya kami ada peraturan tentang jarak antara pasar tradisional dengan pasar modern. Artinya, ada jarak tertentu yang boleh diizinkan pasar modern atau retail berdiri. Jaraknya, pasar modern maksimal 2 kilo meter dari pasar tradisional,” ungkap Mendag saat menghadiri pelantikan pengurus Persatuan Pedagang Pasar Tradisional Sumatera Utara (P3TSU) periode 2017-2022, di aula kampus Universitas Sari Mutiara-Indonesia, Medan, Selasa (2/5).

Menurutnya, pengaturan jarak tersebut bertujuan untuk mempertahankan keberadaan pasar tradisional. Sebab, kalau tidak begitu maka pasar tradisional tak mungkin mampu bersaing.

Akan tetapi, lanjutnya, regulasi itu kewenangannya ada di Pemda dan pihaknya sudah mengeluarkan kembali ketentuan tersebut. Selain itu, mempersiapkan satu regulasi lagi agar ketentuan itu dipatuhi.

“Kami akan mempergunakan instrumen anggaran. Apabila ada daerah atau provinsi yang tetap melanggar ketentuan kami berikan, maka kami akan mengambil kebijakan untuk mengurangi beberapa bantuan anggaran dari pusat,” cetus Enggar.

Diutarakannya, pasar tradisional atau pasar rakyat mencerminkan budaya dari masyarakat pada umumnya. Dimana di pasar tradisional, dalam transaksi jual beli terjadi adanya tawar menawar.

Kata dia, transaksi jual beli yang benar ada terjadi di pasar tradisional dan bisa diukur. Namun, lain halnya dengan pasar modern. Sebab, yang ada hanya pembeli mengambil barang dan membayarnya ke kasir. Sehingga, proses tawar menawar yang biasa terjadi dan sudah menjadi kebiasaan hilang. Padahal, proses itu sudah menjadi budaya.

“Istri saya itu, kalau lagi ke luar kota atau daerah dan bahkan luar negeri, ketika berbelanja pasti mencari pasar tradisional. Tidak ada pasar tradisional yang tidak dikunjunginya,” aku Enggar.

Namun sayangnya, sambung dia, kondisi pasar tradisional kini sebagian besar telah kumuh dan tidak layak. Sehingga, timbul pertanyaan apakah kondisi tersebut didiamkan? Jawabannya, tentu tidak karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri memberi perhatian lebih terhadap pasar tradisional. Artinya, perbaiki semaksimal mungkin dengan segala keterbatasan anggaran yang ada.

“Kami diperintahkan Presiden Jokowi bersama pemerintah daerah untuk melakukan renovasi maupun revitalisasi, terhadap kondisi pasar yang kumuh, jorok, bocor atau tidak layak lagi. Karena, dengan kondisi pasar yang tidak layak lagi, tentunya berdampak terhadap peningkatan ekonomi. Artinya, bagaimana mungkin meningkatkan ekonomi pedagang, sementara kondisi fisik pasar sudah tidak layak lagi,” jelasnya.

Enggar menyebutkan, ketika fisik pasar tradisional sudah direnovasi atau direvitalisasi, pedagang harus menjaga kebersihan dan juga merawatnya. “Kami tidak mau jika pasar sudah direvitalisasi tapi dalam waktu setahun sudah kumuh. Jadi, tolong rawat kondisi pasar dan anggap seperti rumah kita sendiri karena sebagai tempat untuk menyambung hidup,” ujarnya.

Ia mengatakan, di dalam perjalanan ke depan selain memperbaiki kondisi fisik pasar itu sendiri yang dilakukan secara bertahap, juga para distributor dan sub agen. Ada ketetapan baru yang dikeluarkan, yaitu wajib mendaftarkan kepada Kemendag.

Daftarnya bisa secara manual ataupun online, dan tidak ada dipungut biaya sepeserpun. Ketetapan ini bertujuan untuk melihat stok barang, sehingga tidak ada kekhawatiran terhadap pedagang pasar tradisional.

Selanjutnya, menata pedagang yang baik. Dengan kata lain, menata agar suplai barang dagangan terjamin. “Kami juga menetapkan bagi pasar-pasar yang mendapatkan bantuan dari APBN, akan ada SOP-nya. Artinya, ada ketentuan dan dijadikan objek pemeriksaan audit BPK, sehingga tidak bisa bermain-main. Kemudian, ke depannya juga akan menerapkan kartu untuk pembayaran retribusi bersama dengan BPJS Ketenakakerjaan,” bebernya.

Tak hanya itu saja, ucap Enggar, pengembangan terhadap pasar tradisional dilakukan dengan memberi bantuan beberapa komoditi kepada pedagang dengan dibayar mencicil.

“Pedagang pasar tradisional ketika waktu membeli barang sebagian besar dibayar tunai. Sedangkan pedagang pasar retail modern dengan waktu kurang lebih satu bulan. Sehingga, dengan demikian hal ini jelas tidak adil. Oleh karena itu, dalam kaitan ini kami akan meminta Bulog (Sumut) untuk mengirimkan gula curah hanya kepada pedagang pasar tradisional. Artinya, hanya pedagang pasar rakyat yang boleh menjual gula curah,” papar Enggar.

Pada kebijakan ini, jabar Enggar, nanti pihaknya akan meminta Bulog memberikan gula curah 50 kg kepada pedagang dan dibayar tidak langsung atau dengan diberikan waktu 2 minggu. Harga belinya Rp11.300 per kg dan dijual maksimal Rp12.500 per kg.

“Sejak ditetapkan 10 April lalu, saya tidak mau tahu harga gula semua merek dijual maksimal harus Rp12.500 per kg. Berani menjual lebih dari itu, maka kita anggap penjualnya melakukan kartel kenaikan harga. Sebab, dalam menentukan kebijakan harga gula maksimal Rp12.500 tidak mudah,” ungkap dia.

Terkait harga ketentuan harga, termasuk juga minyak goreng curah Rp10.500 per kg. Lalu, minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp11.000 per kg.

“Kami berharap penetapan beberapa harga komoditi itu dapat berjalan terus. Tujuannya tak lain untuk mengendalikan harga bahan pokok menjelang bulan puasa yang kerap mengalami kenaikan,” tambahnya.

Enggar mengemukakan, harga daging sapi juga menjadi prioritas untuk dikendalikan dengan memasok dari India. Harga belinya antara Rp60 ribu hingga Rp65 ribu, dan boleh dijual maksimum Rp80 ribu. “Untuk stoknya tidak usah khawatir, karena cukup hingga 4 sampai 5 bulan ke depan yang mencapai 50.000 ton,” cetusnya.

Lebih jauh Enggar menyebutkan, KUR juga menjadi fokus dalam pengembangan pasar tradisional. Sebab, untuk mendapatkan KUR itu tidak mudah. Pedagang harus melengkapi berbagai persyaratan administrasi. Akibatnya, dengan kondisi ini rentenir masuk ke pasar untuk menangkap peluang atas kebutuhan pedagang.

“Skema KUR terhadap pedagang pasar tradisional akan sedikit kita paksakan terhadap perbankan, ketentuannya dengan bunga 9 persen. Bunga itu juga berlaku terhadap para petani dan peternak,” ujarnya.

Enggar menambahkan, kebijakan dan rencana kedepan terhadap pengembangan pasar tradisional tersebut terdapat di dalam nawacita. Dimana ada 5.000 pasar sampai tahun 2019.

“Untuk tahun 2017 ada hampir 3.000 pasar, namun tahun depan kita kejar menjadi 4.000 pasar dan 2019 5.000 pasar. Namun, tidak semua pasar bisa terjangkau dengan dana APBN, DAK maupun bantuan sehingga kita juga kombinasi dengan APBD. Program ini diprioritaskan kepada pasar Tipe C dan Tipe D di daerah-daerah, dengan anggaran mencapai Rp4 miliar dan Rp6 miliar pada tahun 2017 2018,” tukasnya.

Sementara, menanggapi ketentuan jarak pasar tradisonal dengan pasar modern, Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution mengatakan, akan dilakukan pengujian jaraknya. Karena, selama ini ada yang bersebelahan dan sudah existing. “Tidak gampang, sekarang masalah share marketnya, tidak terganggu,” katanya.

Begitupun, Akhyar menyatakan, pihaknya akan melakukan evaluasi kalau memang ada peraturan menteri terkait jarak tersebut.

Dirut PD Pasar Kota Medan, Rusdi Sinuraya menuturkan, tahun ini pasar tradisional yang direvitalisasi yaitu Pasar Kampung Lalang. Tahun 2018, dua pasar yang direvitalisasi seperti pasar Belawan yang terganggu dengan adanya banjir rob dan atapnya sudah hancur. (ris/ram)

Exit mobile version