Site icon SumutPos

Pemerintah Isyaratkan BBM Subsidi Bakal Naik

Foto: Triadi Wibowo/Sumut Pos_
Gus Irawan Pasaribu

MEDAN, SUMUTPOS.CO -Kenaikan harga bahan bakar minyak non subsidi yang sudah dilakukan beberapa waktu lalu harusnya mendorong pemerintah merevisi ICP (Indonesian crude price) karena hitungan yang diterapkan sudah tidak sesuai. Begitulah kata Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu. “Kalau ICP dinaikkan otomatis itu isyarat harga BBM subsidi bakal naik,” ujar Gus Irawan.

Gus mengungkapkan hal itu seiring kian meningkatnya harga minyak dunia di pasar internasional yang sekarang sudah menyentuh level 60 dolar AS per barel. “Trend produksi (lifting) minyak nasional terus mengalami penurunan dalam satu dekade terakhir. Bersamaan dengan itu, konsumsi publik semakin tinggi. Anehnya, tidak ada terobosan baru dari pemerintah,” kata Gus lagi.

Menurutnya, kenaikan harga BBM non subsidi merupakan konsekuensi logis dari naiknya harga minyak secara global dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Puncaknya, jika ini dibiarkan terus menerus dipastikan akan berpengaruh kepada besaran Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN).

Gus Irawan Pasaribu menegaskan kalau pemerintah selama ini terlena dengan rendahnya harga minyak dunia. Karena itu pula subsidi energi lebih banyak dialokasikan kepada sektor non energi, seperti infrastruktur. “Kita lihat pembangunan infrastruktur dimana-mana. Akibatnya, saat harga minyak kembali tinggi seperti saat ini, APBN terancam defisit makin dalam,” tutur Gus.

Gus menegaskan, sebenarnya sudah dari awal diingatkan harga minyak dunia akan naik signifikan walaupun dengan proses yang sangat perlahan. Sebab, ada perkembangan teknis dan non teknis di negara produsen.  Apalagi dibarengi kondisi geopolitik negara-negara produsen minyak di Timur Tengah cenderung tidak stabil.

Menurutnya, kenaikan harga minyak dunia akan membebani APBN dengan asumsi ICP yang masih berada di angka 48 dolar AS per barel. Berbagai kalangan sudah memperkirakan kalau harga minyak akan berada di angka 55 dolar AS per barel hingga 60 dolar AS per barel. “Jika asumsi harga ICP naik, akan mempengaruhi defisit anggaran tahun ini yang ditetapkan sebesar 2,19 persen dari PDB lantaran pemerintah nantinya akan membayar subsidi energi yang lebih banyak.  Defisit di 2018 bisa lebih besar, tapi masih aman,” tegasnya.

Komisi VII, ungkap dia, sudah menyarankan pemerintah mengajukan revisi ICP dalam APBN-P 2018. “Jika ICP naik, anggaran subsidi juga naik. Pemerintah juga harus bisa menjaga volume penyaluran subsidi energi,” katanya.

Dalam rapat di Komisi VII, Gus mengatakan hitungan ICP terakhir dibuat mendekati brent dan harga brent saat ini cenderung di atas 60 dolar AS per barel. Maka range 60-65 dolar AS per barel untuk asumsi ICP lebih masuk akal, ungkapnya.

Kondisi yang terjadi pasar dunia memang mengkhawatirkan karena untuk harga minyak acuan brent (ICE) sudah di level 67,31 dolar AS per barel. Sementara WTI Crude Oil berada di harga 63,55 dolar AS. “Kondisinya makin sulit karena kurs rupiah berada di angka Rp13.700. Level ini mengkhawatirkan,” tuturnya.

Memang, kata Gus Irawan, kenaikan harga BBM non subsidi hampir tidak bisa dicegah karena pemerintah telah menyerahkan mekanisme penentuan harga kepada pasar. “Yang penting adalah pemerintah merumuskan formula dan strategi yang tepat dari setiap kenaikan angka ICP yang berkembang. Terlebih kenaikan harga minyak ini secara faktual tidak sesuai lagi dengan alokasi anggaran energi yang telah dipatok pada Anggaran Peneriman Belanja Negara (APBN) 2018,” paparnya.

Cara lain yang bisa ditempuh tentu meningkatkan produksi minyak tapi butuh waktu lama, ungkapnya. “Kita seperti sudah masuk ke dalam liberalisasi sektor migas. Sekarang BBM non subsidi naik. Saya khawatir bulan depan pemerintah juga akan menaikkan harga bahan bakar bersubsidi. Strategi pemerintah dan Pertamina kelihatannya sudah berhasil karena konsumsi bahan bakar bersubsidi semakin kecil,” bilang Gus.

Dengan begitu ke depan pengguna pertalite, pertamax, dexlite dan pertamina dex bisa mengalami perubahan harga setiap bulan tanpa pemberitahuan. “Itu kan sudah tidak disubsidi. Jadi tak perlu diumumkan. Bisa dinaikkan diam-diam. Tapi kalau saya melihat keadilan untuk masyarakat kecil diabaikan,” tegasnya.

Kenaikan harga BBM non subsidi memang tidak hanya dilakukan oleh PT Pertamina (Persero) semata tapi juga oleh Vivo dan Shell sebagai penyedia stasiun pengisian bbm umum (SPBU). Harga jual BBM Vivo jenis Revvo 90 atau setara Pertalite dari sebelumnya Rp7.500 per liter menjadi Rp8.350 per liter. Sementara untuk jenis Revvo 92 atau setara Pertamax juga naik dari Rp8.250 menjadi Rp9.100 per liter. (ila)

 

 

Exit mobile version