Site icon SumutPos

Berdayakan Perempuan, Ciptakan 15 Motif Batik ala Tapsel

Foto: Dame Ambarita/Metro Tabagsel Santi Budi Lestari, Ketua KUB Batik Tapsel & Bator Craft binaan PTAR, yang menggagas batik Tapsel, berfoto di depan kain-kain batik produksi KUB Batik Tapsel & Bator Craft, di di Kampung Pasir Kelurahan Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Batik, kini tak lagi melulu dari Jawa. Berbagai daerah menciptakan corak batik khas masing-masing. Termasuk Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Dirintis tahun 2018, kini usaha batik Tapsel sudah memproduksi kurang lebih 15 motif. Digawangi 9 perempuan, KUB Batik Tapsel berhasil mengadaptasi simbol-simbol khas Tapsel. Motif salak dan Benteng Huraba paling diminati pasar.

——————————
Dame Ambarita, Batangtoru
——————————

Seorang gadis muda berparas mirip gadis India, tampak serius mencanting kain mori jenis primisima putih dengan motif batik, di sebuah rumah di Kampung Pasir Kelurahan Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, belum lama ini. Di dekatnya ada peralatan yang tampak terhubung ke sambungan listrik.
“Ini namanya kompor listrik. Yang cair di atasnya ini namanya malam, yakni lilin batik,” kata Sanda Siregar (24) –nama gadis itu –kalem, sembari tetap focus mencanting kain batik tulis di tangannya.
Sanda belajar membatik tulis, setelah sering melihat mamanya, Ny Simatupang, anggota KUB Batik Tapsel, bekerja. “Kalau mencanting, cukup ikuti pola saja. Saya belum ahli benar, karena mencanting batik tulis agar rumit,” jelasnya.
KUB Batik Tapsel terbentuk tahun 2018 lalu, berlokasi di Kampung Pasir Kelurahan Aek Pining. Beranggotakan 9 orang perempuan, KUB ini awalnya terbentuk atas program kemitraan antara Bank Indonesia dengan Dinas Perdagangan dan KUKM Tapanuli Selatan.
Adalah Santi Budi Lestari (33), yang menggagas batik Tapsel. Tahun 2016, perempuan yang pernah mendapat pelatihan membatik itu, memulai produksi batik Tapsel. “Awalnya sendirian. Bikin batik cap, pakai modal sendiri,” katanya.
Ia membeli kain katun, meja cap, canting cap, pewarna sintetis, serta membuat bak pewarnaan dan tong perebusan. Cap motif dipesan dari Solo, Jogja, dan Pekalongan. Sendirian, kala itu ia bisa memproduksi batik cap 10 lembar kain ukuran 2 meter x 115 cm per hari.
“Agar khas, saya menciptakan motif yang bernuansa Tapsel. Tapsel itu ‘kan berkiblat ke pertanian, budaya, dan adat istiadat. Sedangkan warna khas Tapsel adalah merah, hitam, putih, dan kuning. Nah… ini yang saya kreasikan,” katanya dengan nada manis.
Motif batik pertamanya adalah salak, buah khas Tapsel.
Awalnya, batik Tapsel hasil produksinya dijual di Tapsel saja. Dengan modal produksi yakni kain katun putih Rp25 ribu per meter, pewarna, dan upah, kain batik cap dijual mulai Rp175 ribu per lembar.
Apa kendala di awal?
“Tenaga kerja. Perempuan di sekitar awalnya sulit diajak membatik,” aku Santi.
Pelan-pelan, ia berhasil merekrut dua temannya untuk bergabung. Mengusung brand Batik Tapsel, produk batiknya mulai ikut acara-acara pameran dan bazar.
Tahun 2017, anggotanya menjadi lima orang.
Setahun berikutnya, kelompoknya terpilih menjadi KUB Batik Tapsel binaan dalam program kemitraan antara Bank Indonesia dengan Dinas Perdagangan dan KUKM Tapanuli Selatan. Sebagai penggagas, Santi terpilih menjadi ketua.
“Batik kami mulai menjadi produk unggulan Tapsel. Tahun 2018, batik Tapsel dipilih menjadi seragam PNS Tapsel, dipakai tiap hari Kamis dan Jumat,” katanya.
Dibantu Ketua Dekranasda Tapsel, produk batik mereka juga mendapat bantuan promosi dan pemasaran.
Setahun kemudian yakni sejak tahun 2019 –setelah BI tak lagi membina KUB ini–, PTAR mulai terlibat melakukan pembinaan KUB Batik Tapsel. Di antaranya dengan memfasilitasi kegiatan pelatihan batik tulis, dan perwarnaan alami.
“Pelatihan ini bekerja sama dengan Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta,” kata Meriah Tinambunan, Senior Supervisor SME PTAR, yang mendampingi Santi.

Foto: Dame Ambarita/Metro Tabagsel
Sanda Siregar, gadis lulusan IAIN Padang Sidempuan, focus mencanting kain batik tulis, di rumah produksi KUB Batik Tapsel & Bator Craft, di di Kampung Pasir Kelurahan Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.

Setelah para perempuan perajin itu makin ahli membatik, tahun 2021, produk kerajinan turunan Batik Tapsel mulai diinisiasi.
“Berbekal keterampilan menjahit yang dimiliki oleh beberapa perempuan di Kelurahan Aek Pining yang tergabung dalam KUB Bator Craft, produk turunan batik ini memadupadankan Batik Tapsel dengan bahan-bahan kerajinan lainnya,” jelas Meriah.
Kembali ke Santi. Setelah didampingi secara intensif oleh PTAR, KUB Batik Tapsel yang dipimpinnya memperbaharui namanya menjadi KUB Batik Tapsel dan Bator Craft. “Saat ini anggotanya 9 orang. Semua perempuan. Kami berbagi tugas. Dua orang bertugas mencap, dua orang mewarnai, dua orang merebus. Yang lainnya mengerjakan batik tulis dan menjahit produk turunan,” kata Santi.

Santi bertanggung jawab membuat motif. Hingga saat ini, motif batik khas Tapsel yang diciptakannya kurang lebih 15 motif. “Motif salak, motif kopi, motif dalihan natolu, motif Gajah Najunggal, motif Benteng Huraba, dan sebagainya. Prosesnya, motif saya gambar dulu. Baru saya order cap sesuai motif itu ke Pulau Jawa. Cap yang dipesan terbuat dari tembaga. Harganya tergantung kerumitan motif. Antara Rp700 ribu sampai Rp1,5 juta,” kata Santi.
Motif paling disukai pasar sampai saat ini masih motif salak dan Benteng Huraba, yakni ikon khas Tapsel.
Dengan kerja kelompok, mereka bisa memproduksi rata-rata 100-150 lembar batik cap motif Tapsel per minggu. Kain batik cap motif Tapsel dijual Rp 175 ribu, Rp240 ribu, Rp260 ribu per lembar. Harga tergantung kerumitan pola dan proses pewarnaan.
Upah pekerja para perempuan itu bervariasi, tergantung senioritas. “Antara Rp60 ribu – 75 ribu per hari,” kata Santi.
Per bulan, seorang pembatik bisa membawa pulang rata-rata Rp1 juta-1,3 juta. “Jam kerja bisa diatur sesuai keinginan mereka. Sebagian mencolet atau mencanting tembok (mengisi warna hasil batik tulis) di rumah masing-masing,” kata Santi.
Sedangkan batik tulis dijual hingga Rp600 ribu per lembar. Selembar batik tulis bisa selesai dalam 2 minggu. Artinya, dalam sebulan hanya bisa memproduksi 2 lembar batik tulis per orang, dengan harga jual Rp1,2 juta. Upah yang diperoleh setelah dipotong modal kain dan tinta, jelas tidak terlalu memadai.
“Atas binaan PTAR, sejak 2021, KUB kami sudah mulai menjahit tas, dompet, pakaian, souvenir, tempat tissu, tutup botol gallon, dan sebagainya. Kami padukan kain belacu dan kain katun untuk mendapatkan variasi,” katanya.
Pemasaran produk-produk mereka kini tak lagi hanya seputar Tapsel. Tetapi sudah merambah ke Medan hingga ke Pulau Jawa.
Apa target ke depan?
“Maunya sih perluasan pasar. Karena jika pasar bertambah, kami bisa menambah produksi. Artinya, bakal bertambah juga kesejahteraan,” katanya seraya tersenyum simpul.

Salahsatu proses pengerjaan batik Tapsel, menggunakan cap dengan motif khas Tapsel.

Ia juga mengaku mereka masih butuh belajar teknik pewarnaan alami. “Trus, pelatihan membuat pola. Karena kami merasa belum mantap. Trus, masih butuh dukungan beberapa peralatan membatik.” Cetusnya lagi.
Meriah Tinambunan, Senior Supervisor SME PTAR, yang mendampingi mengatakan, PTAR terus membantu KUB Batik Tapsel & Bator Craft memperluas akses pasar ke luar Tapsel, termasuk ke Jawa. Kemudian menambah produk turunan dari Batik Tapsel. “Sejak 2022, sudah mampu memproduksi baju, tas, pouch, dll, agar dekat dengan kebutuhan real masyarakat,” kata.
PT AR juga sedang mendampingi proses pendaftaran karya batik Tapsel di Dirjen Kekayaan Intelektual untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). “Jadi targetnya, KUB Batik Tapsel & Bator Craft memiliki legal organisasi dan brand Batik Tapsel,” kata Meriah.
Pengembangan ini diharapkan semakin mendorong geliat perekonomian masyarakat setempat, terutama kelompok perempuan yang menjadi salah satu kelompok sasaran pemberdayaan PTAR.
Mengapa perempuan? “Karena perempuan termasuk dalam kelompok rentan yang hak-haknya harus diperhatikan. Di antaranya hak untuk mendapatkan kesemapatan untuk berusaha dan memperoleh penghidupan yang layak,” sebutnya.
Melalui pendampingan kelompok Batik Tapsel, perempuan di Kelurahan Aek Pining diharapkan bisa menjadi lebih mandiri dan berdaya serta mampu berkontribusi secara nyata bagi peningkatan kesejahteraan keluarganya. (mea)

Exit mobile version