Site icon SumutPos

Yodium di Bawah 30 Ppm Dilarang Beredar

Pekerja sedang mengolah garam sebelum dijual ke pasar.

SUMUTPOS.CO – Komoditas garam kembali memantik polemik. Kali ini muncul dari indikasi rembesan garam industri yang diimpor dari India dan Australia di pasar umum yang bukan direkomendasi untuk kebutuhan konsumsi.

Keberadaan garam industri menjadi masalah seiring masuknya garam asal India dan Australia akibat kegagalan petani garam nasional memasok kebutuhan dalam negeri.

Dengan adanya spesifikasi khusus, garam industri dianggap belum mampu diproduksi di dalam negeri. Akibatnya, sejumlah industri yang kegiatan produksinya membutuhkan bahan baku garam mendesak pemerintah untuk membuka kran impor.

Kuota impor garam industri inilah yang akhirnya memicu masalah, seperti munculnya tudingan bahwa garam yang diimpor untuk kebutuhan industri olahan justru merembes ke pasar umum dan dikonsumsi masyarakat.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumut Abubakar Siddik mengingatkan kepada konsumen dan masyarakat agar berhati-hati dengan kehadiran garam impor dan jangan sampai salah beli.

“Bisa saja terjadi kekeliruan, garam yang khusus digunakan untuk industri, namun tiba-tiba saja beredar dan diperjualbelikan secara bebas untuk konsumsi di masyarakat,” katanya di Medan, Senin kemarin.

Oleh karena itu, menurut dia, di sinilah peranan dan tanggungjawab Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sumut untuk mengawasi secara ekstra ketat terhadap garam yang masuk dari luar negeri.

Sebab, katanya, garam dari negara asing yang beredar di Sumut, terdiri dari dua macam, yakni garam yang khusus digunakan untuk keperluan industri, dan garam yang bisa dikonsumsi atau bisa dibeli masyarakat.

“Masyarakat yang membeli garam impor itu, juga perlu teliti dan jangan sampai menggunakan garam yang tanpa beryodium. Ini jelas berbahaya bagi kesehatan,” ujar Abubakar.

Dia mengatakan, garam beryodium adalah garam yang telah diperkaya dengan yodium yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kecerdasan. Selain itu, jelasnya, garam beryodium yang dapat digunakan sebagai garam konsumsi harus memenuhi standar nasional indonesia (SNI) antara lain mengandung yodium sebesar 30-80 ppm.

Garam yang mengandung yodium di bawah sebesar 30 ppm, tidak dibenarkan untuk dikonsumsi, karena di luar ketentuan atau tidak sesuai dengan SNI.

“Kalau masyarakat menemukan garam untuk konsumsi yang mengandung yodium di bawah 30 ppm dilaporkan saja ke Disperindag dan Dinas Kesehatan (Dinkes). Garam yang seperti itu dilarang untuk diedarkan kepada masyarakat,” ucap dia.

Lebih lanjut Abubakar mengatakan, petugas Disperindag Sumut tidak hanya memantau dan mengawasi garam impor yang datang luar negeri, tetapi juga garam lokal yang masuk dari Madura, Jawa Timur.

Garam lokal untuk konsumsi yang masuk ke Sumut juga harus diawasi, apakah memang telah sesuai dengan ketentuan SNI atau memiliki yodium sebesar 30-80 ppm.

“Petugas Disperindag Sumut jangan sampai lalai atau lengah dalam mengawasi garam yang beredar di masyarakat,” tukasnya.

Soal ini, anggota Komisi B DPRD Sumut Aripay Tambunan juga meminta PT Garam Indonesia memonitor garam konsumsi beryodium yang beredar di Sumut, karena ada kekhawatiran masyarakat selama ini mengkonsumsi garam bahan penolong untuk industri, bukan jenis garam konsumsi.

“Kami ingin ada semacam jaminan dari penyuplai bahwa garam yang beredar di pasar, khususnya garam konsumsi benar-benar beryodium, sehingga masyarakat dapat memilih garam yang sehat patut dikonsumsi,” katanya, belum lama ini.

Aripay menekankan perlu adanya upaya dari pemerintah pusat untuk melakukan pengaturan agar impor garam tidak dilakukan terus menerus atau setiap tahunnya, karena Indonesia memiliki laut yang cukup luas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.“Kalau perlu setiap provinsi yang memiliki daerah pantai yang luas menjadi produsen garam, sehingga daerah-daerah tidak harus bergantung dari garam Madura atau bahkan garam impor yang terindikasi garam industri,” dia menambahkan.

Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemprov Sumut Ibnu Sri Hutomo yang dihubungi terpisah mengatakan kebutuhan garam Sumut setiap tahun di atas 80.000 ton. Lebih separuh dari konsumsi garam masyarakat di Sumut, baik rumah tangga maupun industri, berasal dari Thailand dan India, sisanya dari dalam negeri. Dari jumlah itu, lebih dari setengahnya diimpor dari negara-negara produsen garam di dunia.

Dia mengatakan kendati memiliki banyak pantai, produksi garam di Sumut sangat minim, hanya dapat memenuhi sebagian kebutuhan masyarakat. Angka impor juga cenderung meningkat karena adanya peningkatan permintaan.

“Lebih dari setegah untuk memenuhi kebutuhan garam di Sumut dari impor. Negara asal garam terbesar untuk kebutuhan di Sumut adalah India dan Thailand,” paparnya.

Sekretaris Umum Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara mengatakan bahwa garam yang berasal dari luar biasanya didatangkan dari negara India, di mana kadarnya hampir sama dengan yang berasal dari Indonesia. Namun untuk Australia, biasanya diperuntukkan bagi kebutuhan industri seperti pengolahan ikan.

“Yang kita tahu biasanya untuk garam konsumsi itu didatangkan dari India. Sementara dari Australia itu biasanya untuk kebutuhan industri,” ujar Cucu kepada wartawan, Selasa (2/5).

Pihaknya berharap proses impor garam oleh PT Garam yang akan masuk dari pelabuhan Tanjung Perak-Jawa Timur, Ciwandan-Banten dan Belawan-Sumut benar-benar bisa diawasi agar tujuan mendatangkan bahan baku tersebut sampai kepada pihak yang tepat dan sesuai kebutuhan untuk konsumsi.

“Kita berharap jangan sampai ini digunakan untuk industri. Karena bahan baku ini murni untuk kebutuhan konsumsi, ikan industri,” sebutnya.

Dihubungi Sumut Pos pekan lalu, Pjs Kepala Cabang PT Garam Indonesia Sumut Febrico Wardono mengatakan garam yang didatangkan dari India dan Australia sebanyak 20.000 ton sudah sampai di Pelabuhan Belawan.

Meskipun sempat ditahan oleh Polda Sumut, garam yang bongkar-muat di Pelabuhan Belawan pekan lalu itu selanjutnya didistribusikan ke sejumlah wilayah. Meliputi Sumut sebanyak 10.000 ton, Sumatera Barat (3.000 ton), Sumatera Selatan (3.000 ton), Riau dan Jamni masing-masing 3.000 dan 1.000 ton. (rel/bal/val/azw)

Exit mobile version