Site icon SumutPos

Harga Gabah Anjlok, Padi Petani di Sumut Menjerit

Foto: Dok SUMUT POS
Petani mengumpulkan padi hasil panen di areal persawahan Pasar 7, Padang Bulan, Medan, Selasa (9/2) lalu.

SERGAI, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Menteri Perdagangan (Mendag) melalui SK No 46/2017 tertanggal 18 Juli 2017 yang mematok harga beras medium dan premium sebesar Rp9.000 per kilogram (kg) membuat petani di Sumut menjerit. Pasalnya, sejak Sabtu (22/7) lalu, harga gabah anjlok dari Rp4.500 menjadi Rp3.700 per kg. Karenanya, pemerintah diminta mengkaji kembali penetapan harga eceran tertinggi beras medium dan premium tersebut.

Para petani di Kabupaten Serdangbedagai mengeluhkan harga jual GKP sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp3.700 per Kg. Misno(52), petani di Desa Tualang, Kecamatan Perbaungan mengatakan, selain HPP dari pemerintah, anjloknya harga gabah tersebut juga disebabkan, pihak kilang membatasi pembelian gabah petani. Menurutnya, pemilik kilang padi tidak mau lagi membeli gabah kalau di kilang masih menumpuk.

“Sejak dikeluarkannya penetapan harga dari Pemerintah dalam sepekan terakhir, harga GKP berkisar di angka Rp3.700 per Kg itu kalau dilihat dari jenis padi Serang,” kata Misno.

Bahkan di beberapa tempat, kata Misno, harganya ada di bawah dari HPP, seperti yang dialami petani yang ada di Desa Melati, harga GKP di sana berkisar Rp3.600 per Kg. “Kalau terusan begini, para petani yang panen pada musim saat ini bisa merugi dengan ketetapan harga dari HPP yang dikeluarkan oleh Pemerintah itu belum lagi panen raya terjadi. Kalau panen raya terjadi bisa harga GKP di bawah harga Rp3.600 per Kg,” keluh Misno.

Hal senada dikatakan Tumini (57), seorang petani lainnya di Desa Tualang. Menurutnya, tahun lalu dia sempat merasakan hasil penjualan GKP mencapai Rp4 ribu per kg lebih. Harapannya, pada panen raya kali ini dia pun bisa menjual gabah dengan harga yang sama.

Namun dengan harga jual GKP dengan penetapan HPP Rp3.700 per Kg hasil panen saat ini, petani tidak akan memperoleh untung. Alasannya, harga jual gabah tidak sebanding dengan biaya produksi yang telah dikeluarkannya.

Tumini memerincikan, untuk biaya produksi padi per petak sawah dari dua petak sawah yang digarapnya mencapai Rp1,3 juta. Harga itu meliputi ongkos tanam, pembelian benih dan pemupukan. Adapun kedua petak sawah tersebut hanya mampu menghasilkan 1 ton hingga 1,2 ton padi. “Nah, kalau harga jual gabah hanya Rp3.700 per Kg saya cuma dapat Rp4,2 juta. Bagi kami ini masih rugi, itu belum lagi ongkos untuk tenaga panen belum masuk dalam komponen produksi. Anjloknya harga GKP setelah pemerintah menetapkan harga HPP Rp3.700 per Kg sejak sepekan yang lalu terjadi di wilayah Serdangbedagai,” ujar Tumini.

Sementara petani di Desa Paya Lombang, Kecamatan Tebingtinggi enggan menjual dan memanen padinya karena agen yang membeli padi gabah baru siap panen dengan harga rendah yaitu Rp3.600 per kg. Amatan Sumut Pos, Minggu (30/7), di Desa Paya Lombang Kecamatan Tebingtinggi, ada ratusan hektar tanaman padi milik warga yang sudah siap panen dengan umur tanaman padi mencapai 110 hari, enggannya masyarakat melakukan panen, karena para agen hanya mampu membeli gabah siap panen seharga Rp3.600 per kg, sedangkan harga baru yang ditetapkan Pemerintah Rp3.700 per kg gabah siap panen.

Tapi harga yang ditetapkan pemerintah ini membunuh ratusan petani di Desa Paya Lombang, sedangkan massa panen yang lalu, para agen membeli gabah baru panen milik petani Rp4.600 per kg.

Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Seorang petani menanam bibit padi di persawahan jalan Abdul Hakim Tanjung Sari Medan, Selasa (17/6). Saat ini memasuki musim tanam.

Peraturan ini, sangat merugikan petani dimana harga pupuk subsidi pemerintah di tingkat petani, khususnya wilayah Desa Paya Lombang seperti Pupuk Urea satu kantong ukuran 50 Kg mencapai Rp110.000 per sak, Pupuk ZA bersubsidi seharga Rp90.000 per sak dan pupuk buah Poska mencapai Rp110.000 per sak.

Seorang petani, Sumanjaya (42), warga Desa Paya Lombang, Kecamatan Tebingtinggi, mengaku harga yang dibuat pemerintah ini sudah pasti akan membunuh petani, dengan harga jual gabah siap panen Rp3.600 tersebut. Modal para petani tidak akan kembali dan sudah tentu petani merugi, untuk pengolahan saja jelas Sumanjaya, seperti pengolahan tanah dengan mesin jetor untuk perante mencapai Rp55.000, upah tanam dan cabut bibi padi mencapai Rp55.000 perante. “Itu untuk pengolahan dan massa tanam saja,” tegas Sumanjaya.

Sedangkan untuk masa perawatan tanaman padi yang banyak hama, rata rata petani mengeluarkan uang Rp 1 juta untuk membeli pestisida untuk membunuh hama padi, belum lagi ditambah dengan upah kerja buruh. “Kami minta pemerintah batalkan harga yang ditetapkan karena belum disahkan DPR, isu ini sudah termakan oleh para agen pembeli padi, terakhir para tengkulak memainkan trik isu ini untuk mencari keuntungan,” terangnya.

Jelas Sumanjaya kembali, apalagi pemerintah tetap memberlakukan harga gabah siap panen Rp3.700 per Kg, Gabah kering Rp4.700 per Kg dan harga beras Rp9.000 per Kg untuk medium, para petani di Desa Paya Lombang ini berkomitmen tidak akan menjual padinya, padi hasil panen dari ladang akan disimpan serta dijemur kering dirumah, baru petani akan menggilingnya dan menjual harga beras, itupun jika pemerintah masih tetap bertahan.

“Mengapa pemerintah ini selalu mengambil kebijakan selalu merugikan petani, tetapi jika pemerintah bisa menurunkan harga pupuk dan racun pestisida, kita petani masih bisa bernafas lega,” bilang Sumanjaya.

Sementara petani lainnya di Kecamatan Beringin dan Pantai Labu, Kabupaten Deliserdang mengatakan, harga GKP di sana Rp4.200 per Kg. Harga itupun tidak sebanding dengan biaya produksi. Saat ini harga GKP Rp4200 per kilogram. Padahal, biaya produksi menanam padi hingga panen dibutuhkan biaya Rp1 juta per hektar (ukuran 20 kali 20 meter). Setiap panen per hektar menghasilkan 200-300 kilogram padi kering panen. “Kalau sawanya pakai pompa hasilnya per hektar 200 kilogram. Bila sawa irigasi dapat menghasilkan panen 300 kilogram padi,” bilangnya.

Dilanjutkannya, bila 300 kilogram dikali Rp4.200 maka petani akan mendapat keuntungan kotor Rp1.260.000. Bila dikurangkan dengan biaya produksi maka petani hanya mendapat keuntungan Rp260 ribu per hektar. “Bila demikian terus menerus maka diprediksi petani akan berahli ke tanaman lain yang banyak menghasilkan untung,” ungkap Hulman yang memiliki sawah seluas delapan hekater itu.

Ditambahkannya, harga padi kering panen tidak jauh beda dengan harga padi kering giling. Ditingkatan petani harga padi kering giling dihargai Rp5.200 per kilogram. Selilih harga padi kering panen dan padi kering giling jauh. Namun, bila dihitung ulang harga itu termasuk masih rendah.

Soalnya bila padi kering giling petani harus menjemur padinya. Makanya dibutuhkan biaya tambahan.”Kita  harus keluarkan upah buruh untuk menjemur padi. Tentu terkena biaya lagi,” ucapnya.

Foto: Hendrik Saragih/Sumut Pos
Seorang petani di Deliserdang menunjuk padi yang sudah menguning. Petani mengeluhkan HPP beras yang ditetapkan pemerintah, menyusul anjloknya harga gabah di kabupaten itu.

Menurut pria yang juga merangkap sebagai agen padi itu, selayaknya harga padi kering panen Rp5.000 per kilogram. Sedangkan harga padi kering giling Rp6.000 per kilogram. Dijelaskanya, bahwa saat ini harga beras yang terendah di pasaran Rp7.500-Rp8.000 per kilogram. “Kalau kondisi ini dipertahankan maka petani tak pernah sejahtera. Bila mau musim panen harga padi dipermaikan toke,” ungkapnya.

Sementara petani di Langkat masih mengabaikan HPP. Mereka justru menjual gabah seharga Rp4.300 per kg. Hal itu dibenarkan Kepala Dinas Pertanian Langkat, Nasiruddin. “Memang ada kita dengar penurunan harga sesuai intruksi itu, tapi di Kabupaten Langkat, harga jual gabah masih standart, karena petani keberatan,” katanya kepada Sumut Pos, kemarin.

Diakui Nasiruddin, jika dijual dengan harga yang diintruksikan. Maka para petani enggan menjual gabah mereka kepada pemerintah dan koperasi. Oleh sebab itu, pihaknya menyerahkan keputusan kepada petani dan menuruti semua keinginan petani. “Kalau harga jual gabah petani di Kabupaten Langkat, masih standart berkisar Rp4.300 sampai Rp4.500. Dan kita berharap harga terus melonjak sehingga para petani dapat terus menanam padi guna menuju swasembada pangan,” jelasnya.

Jikapun pihak Bulog meminta harga sekitar Rp3.700 papar dia, maka petani akan menjual jika rendemen padi berkisar 45 persen. Dan sejauh ini, Kabupaten Langkat, masih menjadi salah satu penghasil beras terbesar di Sumut. “Kita berharap kualitas padi di sini terus membaik,” akunya.

Wakil Ketua Masyarakat Agribisnis Indonesia (MAI) Sumut Syahri Syawal Harahap mengungkapkan, kebijakan yang diberlakukan saat ini ada-ada saja. Seharusnya pemerintah menjamin dulu harga gabah petani, barulah menetapkan harga beras Rp9.000/kg. Kalau seperti itu kondisinya, maka petani akan sengsara.

“Memang kebijakan itu pro kepada rakyat, tetapi mengesampingkan petani. Padahal, petani juga bagian dari rakyat. Makanya, jangan mengesampingkan pendapatan petani,” ujar Syahri saat dihubungi, Minggu (30/7).

Menurut dia, boleh-boleh saja kebijakan mematok harga beras diberlakukan di seluruh Indonesia. Namun, kebijakan itu jangan pula menekan harga gabah. “Kalau yang diinginkan masyarakat di seluruh Indonesia menikmati harga beras yang murah, jangan pula harga gabah diturunkan. Untuk itu, kebijakan ini perlu dikaji ulang,” ucapnya.

Dia menyebutkan, gabah itu setelah dipanen minimal harganya Rp5.000. Kalau ditetapkan jauh di bawah itu harganya sangat tidak wajar. “Kalau harga gabah dijamin, maka tentunya sama-sama merasakan,” tutur Syahri.

Diutarakannya, salah satunya cara agar tidak terjadi ketimpangan dalam kebijakan harga beras yaitu pemerintah menetapkan harga beli gabah tidak seperti sekarang ini. Pemerintah harus menjamin harga gabah tetap stabil dan tidak anjlok.

“Kalau harga beras ditetapkan Rp9.000/kg sementara harga gabah hanya Rp3.500-Rp3.600/kg, maka para petani pasti akan gulung tikar,” ucapnya.

Ia menambahkan, cara lain yang bisa dilakukan tidak perlu mensubsidi pupuk. Subsidi dialihkan kepada harga gabah. (sur/ian/bam/btr/mag-2/ris/adz)

Exit mobile version