Site icon SumutPos

Tak Hadir di Sidang Prapid Eks Kadis BMBK Sumut, PH Sebut Kejatisu Tak Taat Hukum

PRAPID: Penasehat hukum eks Kadis BMBK Sumut, mengikuti sidang prapid tanpa dihadiri Kejatisu selaku termohon di PN Medan, Senin (2/9).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penasehat Hukum (PH) eks Kepala Dinas (Kadis) Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Sumatera Utara (Sumut) Bambang Pardede, menyebut Kejatisu tak taat hukum. Itu disampaikan Raden Nuh, usai jaksa Kejatisu selaku termohon, tidak hadir dalam sidang perdana Praperadilan (Prapid) di Pengadilan Negeri (PN) Medan, Senin (2/9).

“Hari kami datang ke pengadilan untuk memenuhi panggilan sidang Praperadilan Bambang Pardede. Kami kan mengajukan prapid ini kepada Jaksa Agung cq Kajatisu karena proses yang dilakukan sangat bertentangan dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku,” kata Raden Nuh, usai pesidangan, Senin (2/9).

Dia mengatakan, tidak hadirnya jaksa atas panggilan PN Medan tersebut, merupakan bentuk ketidaktaatan hukum.

“Kalau tidak datang sudah ada panggilan, tanpa ada alasan kan tadi kata hakim. Panggilan itu merupakan hal wajib, kita aja datang. Anda bayangkan Kejaksaan Tinggi Sumut yang namanya aparat negara diundang oleh pengadilan tidak datang, tanpa alasan. Artinya mereka tidak taat hukum,” tegas Raden.

Dia juga mengomentari terkait jadwal prapid yang sangat lama di Pengadilan Negeri (PN) Medan. Padahal pada saat dirinya mengajukan prapid, ketua PN Medan sudah melakukan penetapan untuk majelis hakim. Sehingga menurutnya, lamanya jadwal sidang prapid tersebut membuat tertundanya keadilan bagi kliennya tersebut.

“Prapid inikan harusnya ini minggu lalu, kita ajukan inikan tanggal 23 lalu pada hari yang sama ketua PN Medan menetapkan hakimnya. Harusnya tanggal 26 atau 27 Agustus, sudah sidang kita dan harusnya hari ini (senin) sudah putus. Tetapi dibikin terlalu jauh dengan alasan yang kami kira tidak dibenarkan secara hukum, sehingga akhirnya tertunda keadilan bagi pak Bambang ini. Keadilan yang tertunda itu adalah sama aja dengan menutup keadilan,” katanya.

Lebih lanjut Raden menjelaskan, pada saat kliennya dijadikan tersangka, dia langsung melakukan protes terhadap Kejatisu. Pada saat itu, kata dia, dirinya mendapatkan laporan dari Bambang Pardede, adanya ancaman dari seorang jaksa di Kejatisu.

Ancaman tersebut, agar Bambang Pardede tidak mengajukan prapid atas penetapan tersangka dirinya. Mendengar laporan tersebut, Raden Nuh langsung mendatangi jaksa tersebut.

“Pada saat pak Bambang ditersangkakan dan kemudian saya datang kesana lalu saya protes kepada mereka dan saya dapat laporan dari pak Bambang lalu dia diancam oleh jaksa BW,” ujarnya.

“Lalu langsung saya tanya kepada BW. Dia (BW) bilang sama pak Bambang Pardede jika anda ajukan Prapid dan anda menang, itupun anda akan kami habisi,” sambungnya.

Terkait penetapan tersangka Bambang Pardede, seharusnya kliennya tersebut tidak bertanggung jawab atas dugaan korupsi tersebut. Sebab, kata dia, Bambang Pardede disebutkannya merupakan seorang pengguna anggaran.

“Beliau sebagai pengguna anggaran, sementara undang-undang itu sudah jelas. Pengguna anggaran itu setelah sepenuhnya ia memberikan kuasa kepada kuasa pengguna anggaran, maka itu menjadi wewenang kuasa pengguna anggaran. Maka jika ada dianggap penyimpangan pun di dalam pelaksanaan, maka itu bukan tanggungjawab dari pengguna anggaran,” terang Raden.

Sebelumnya, Raden Nuh juga menjelaskan bahwasanya dirinya sangat merasa aneh atas perkara yang menjerat Bambang Pardede. Sebab, yang menghitung kerugian negara pada dugaan korupsi tersebut bukanlah dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) melainkan seorang ahli.

Lebih parahnya, lanjutnya, penghitungan kerugian negara terhadap proyek peningkatan kapasitas jalan provinsi Parsoburan-Batas Labuhanbatu Utara (Labura) di Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) baru dilakukan setelah proyek tersebut selesai di tahun 2021.

“Pekerjaan peningkatan jalan itu sudah serah terimakan, pada tahun 2021.
Mana ada pekerjaan dibuat tahun 2021 baru diperiksa tahun 2024. Itu jalan udah dipakai 3 sampai 4 tahun. Ahli membuat laporan hasil pemeriksaan adanya perbedaan dari volume pengerjaan dari yang tercantum lalu katanya ada kurang Rp5 miliar,” ungkapnya.

“Sementara itu sudah ada laporan BPK tidak ada masalah, lalu beraninya ahlinya mengatakan adanya kekurangan Rp5 miliar. Artinya, ahli menafikan hasil pemeriksaan dari BPK,” tambahnya.

Maka dari itu, dia menyimpulkan perkara dugaan korupsi tersebut yang membuat terseretnya Bambang Pardede, merupakan hal yang direkayasa.

“Berangkat dari hal tersebut, saya udah curiga dari awal, saya lihat LAHP BPK-nya tidak ada kerugian negara disitu. Maka dari itu ini merupakan benar-benar yang direkayasa,” tukasnya. (man/han)

Exit mobile version