Site icon SumutPos

Wow! Jaksa Dituding Sidang Siluman

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sidang kasus penganiayaan bocah 7 tahun Raisya Putri Zahara oleh terdakwa Rotua Morina Simarmata (35), mendapat perhatian pakar hukum. Pasalnya, terdapat keganjilan-keganjilan yang terjadi selama persidangan yang digelar. Satunya adalah tidak dapatnya informasi persidangan kepada pihak korban Raisya Yusri Zahara (7), dari mulai dakwaan hingga penuntutan.

Hal ini yang menyebabkan kericuhan usai sidang. Keluarga korban meneriaki Jaksa Penuntut Umum (JPU), Mariati Siboro saat keluar dari ruang sidang. Praktisi hukum, Moeslim Muis mengatakan, case ini seharusnya tidak bisa dibiarkan karena akan menambah corengan peradilan hukum di Indonesia.

“Ini tidak bisa dibiarkan. Jaksanya harus diperiksa. Masa tidak memberikan informasi kepada pihak korban. Dari mulai dakwaan hingga tuntutan. Kan aneh,” jelas Muslim, Minggu (5/3).

Muslim juga menduga jaksa Mariati melakukan sidang siluman, karena keluarga tidak mendapatkan informasi persidangan. “Seharusnya jaksa memberikan informasi kepada keluarga korban. Bagaimana pemeriksaan terdakwa ketika persidangan. Terdakwanya wajib hadir, agar menjadi pertimbangan hakim. Ini sidang siluman namanya,” jelas Moeslim lagi.

Moeslim mengatakan tuntutan empat bulan penjara termasuk peradilan sesat dan jaksa harus diberhentikan. Karena penganiayaan di bawah umur termasuk kejahatan tentang perlindungan anak. “Bisa jadi ini peradilan sesat. Selain tidak memberikan informasi, pelaku penganiayaan anak hanya dituntut 4 bulan. Sedangkan yang kita tahu penganiayaan anak terdapat pada pasal 76C UU nomor 35 tahun 2014 yang ancaman hukumannya 3 tahun 6 bulan dan denda paling banyak Rp76 juta,” jelasnya.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu), Sumanggar Siagian mengatakan jaksa tidak wajib memanggil korban karena keterangannya sudah ada di BAP. “Tidak, tidak wajib bagi jaksa untuk memanggil korban, karena sudah ada di BAP,” terangnya.

Disinggung mengenai tuntutan jaksa hanya 4 bulan, Sumanggar mengatakan hal itu bisa saja dilakukan oleh seorang jaksa. “Boleh saja jaksa menuntut seseorang itu seringan-ringannya. Itu hak jaksa,” pungkasnya.

Dalam sidang kemarin, keluarga korban tidak terima tuntutan yang dinilai rendah oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kuat dugaan, adanya permainan terdakwa dengan jaksa yang menangani kasus penganiayaan tersebut.

Usai sidang penganiayaan yang di gelar di Cakra IV PN Medan dengan pembacaan pledoi oleh terdakwa Rotua Morina Simarmata (35), Ratna Dewi Manurung selaku ibu korban meneriaki Mariati saat keluar dari ruang sidang. “Itu semua fitnah, pakai hati nurani kalian anak sekecil itu ngapain kami didik untuk berkata bohong dan berkata kasar,” teriak Ratna.

Ratna juga menuduh Jaksa tidak kooperatif, karena ketika sidang sebelumnya dari dakwaan hingga agenda pembacaan tuntutan oleh Majelis Hakim yang di ketuai Nazar Efendi, keluarga korban tidak pernah diberikan informasi persidangan di PN Medan.

Kasus penganiayaan itu terjadi pada 11 September 2015. Korban bersama temannya hendak pergi ke sekolah untuk mengaji sekitar jam 14.30 dengan berjalan kaki. Saat berdiri didepan rumahnya sendiri, tiba-tiba datang terdakwa dari belakang dan menarik tangan Raisya sebelah kiri.

Tanpa basa-basi, terdakwa langsung menampari korban beberapa kali hingga Raisya menjerit. Saat menjerit memanggil ibunya, mulut Raisya di bekap oleh terdakwa dengan menggunakan tangan dan mencakar pipi korban hingga berdarah. (cr-7)

Exit mobile version