Site icon SumutPos

Terkait Penghentian Penuntutan Kasus Mujianto, Polda Sumut: Itu Hak JPU

no picture

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) mengajukan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) untuk kasus penipuan senilai Rp3 miliar yang melibatkan pengusaha di Medan, Mujianto, dan bawahannya Rosihan Anwar. Kejati Sumut menilai perkara itu tidak layak masuk ke persidangan.

Menyikapi hal itu, Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Sumut, Kombes Pol Andi Rian mengatakan, pengajuan SKP2 itu merupakan hak dan kewenangan jaksa.

“Kalau itu hak rekan-rekan jaksa ya,” ungkap Andi, saat dimintai tanggapan, Senin (11/3).

Andi juga mengatakan, mereka sebagai penyidik kasus itu, sudah bekerja sesuai ketentuan dalam menetapkan status Mujianto sebagai tersangka kasus penipuan penggelapan. Ketika ternyata Jaksa Penuntut Umum (JPU) memiliki pemahaman lain, dia menyebutkan, hal itu sah-sah saja. “Karena sekarang sudah bukan di ranah penyidikan, tapi penuntutan,” jelasnya.

Intinya, lanjut Andi, pihaknya tidak bisa campur tangan setelah mereka melimpahkan berkas perkara dan tersangka ke JPU. “Silakan, itu hak jaksa. Pekerjaan kami usai setelah berkas perkara dinyatakan lengkap dan tersangka dilimpahkan ke jaksa,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Kajati Sumut, Fahkruddin menyatakan, dalam kasus Mujianto, mereka telah mengajukan SKP2, karena mereka menilai kasus ini tidak layak disidangkan. “Ya itu kan ada ketentuan di kami, sebelum ke pengadilan diteliti dulu, layak atau tidak untuk diajukan (persidangan). Kami berpendapat belum layak. Maka kami mengajukan untuk menunggu dari pusat persetujuan di SKP2,” tuturnya.

SKP2 ini berbeda dengan SP3. SKP2 merupakan kewenangan JPU yang diberikan tugas sebagai penuntut umum dalam menangani suatu perkara. Alasan-alasan yang mendasari penuntut umum mengambil tindakan ini adalah, tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, ataupun perkara tersebut ditutup demi hukum.

Sejauh ini, kata Fahkruddin, pihaknya masih menunggu sikap dari Kejaksaan Agung. “Belum. Kami lihat dulu nanti. Kami tunggu petunjuk (Kejagung),” sebutnya.

Dalam kesempatan itu, Fakhrudin juga menjelaskan, satu pertimbangan kasus ini tidak layak disidang, yakni kasus ini dinilai kasus perdata. “Kami menganggap ini perdata, karena perjanjian kerja,” urainya singkat. Sebelumnya, Mujianto dan Rosihan ditetapkan sebagai tersangka pada November 2017 oleh Polda Sumut. Selanjutnya, pada 7 April 2018 perkara penipuan itu dinyatakan lengkap (P21) oleh Kejati Sumut.

Namun, Mujianto sangat tidak kooperatif, sehingga Polda Sumut sejak 19 April 2018 menetapkannya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Polda Sumut juga menerbitkan surat pencekalan Mujianto yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi.

Setelah 3 bulan DPO, pada 23 Juli 2018, pihak Imigrasi Bandara Soekarno Hatta berhasil menangkap dan menyerahkan tersangka Mujianto kepada Polda Sumut. Penyidik Polda Sumut menyerahkan tersangka Mujianto dan stafnya Rosihan kepada JPU Kejati Sumut, untuk diproses secara hukum di pengadilan. Hanya beberapa jam setelah penyerahan itu, JPU Kejati Sumut melepaskan Mujianto, dengan jaminan uang sebesar Rp3 miliar. Dia hanya dikenakan wajib lapor.

Belakangan, korban dalam kasus penipuan ini Armen Lubis, menggugat Kejati Sumut senilai Rp104 miliar, lantaran tidak kunjung melimpahkan Mujianto dan Rosihan ke pengadilan.

Sejauh ini, kata Fakhruddin, pihaknya belum menerima surat gugatan itu. “Belum. Sampai sekarang belum,” pungkasnya. (dvs/saz)

Exit mobile version