Site icon SumutPos

AS-Eropa Resmi Sanksi Berat Libya

JENEWA-Desakan terhadap pemimpin Libya Muammar Kadhafi untuk segera mundur dari puncak pemerintahan yang sudah dikangkanginya selama 41 tahun terus menguat. Dalam pertemuan khusus tingkat tinggi di Jenewa, Swiss, kemarin (28/2), Amerika Serikat dan Uni Eropa sepakat bahwa Kadhafi harus disanksi berat. Tak cukup hanya diminta mundur, Libya dan Kadhafi harus menerima serangkaian konsekuensi atas sikap kerasnya sehingga menewaskan ratusan demonstran anti-pemerintah.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton menyatakan, sebelum akhir pekan ini, mandat bagi Dewan Keamanan PBB untuk turun ke Libya bakal turun. Itu juga akan dibarengi sanksi pembekuan aset-aset Kadhafi. Ashton menyatakan, Uni Eropa bakal mengembargo “peralatan” yang bisa digunakan untuk melawan tekanan dalam negeri Libya. Dengan kata lain, Eropa sudah menyiapkan embargo senjata bagi Libya. Ashton menambahkan, ada kemungkinan penerapan zona larangan terbang di atas Libya.

Ketegasan itu dihasilkan dalam pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri para menteri luar negeri dari berbagai negara. Termasuk di antaranya Menlu AS Hillary Clinton, Menlu Rusia Servey Lavrov, dan Asthon sendiri. Sebelumnya, Clinton berharap pemimpin Eropa segera mengeluarkan sanksi tegas bagi Kadhafi yang menolak turun dari kursi kepemimpinannya.

Usul tegas juga dikeluarkan Menlu Jerman Guido Werterwelle. Dia menyarankan segala bentuk pembayaran minyak Libya ditunda hingga dua bulan. Itu bertujuan untuk memastikan rezim Kadhafi tidak mendapat tambahan fulus yang ujung-ujungnya bisa dipakai membeli senjata untuk melawan demonstran.

“Kita harus pastikan bahwa tak ada sepeser pun duit yang mampir ke kantong keluarga diktator Libya. Sehingga, mereka tidak bisa beli senjata, tidak bisa menyewa prajurit asing,” kata Westerwelle.

Langkah itu cukup penting. Sebab, 85 persen minyak Libya dikonsumsi pasar Eropa. Pekan lalu Inggris dan Swiss membekukan aset milik Kadhafi dan keluarganya.

Menurut Westerwelle, represi Kadhafi terhadap demonstran adalah perbuatan kriminal. “Kita harus melakukan langkah-langkah penting agar pembantaian ini segera berakhir,” ungkap menteri berumur 49 tahun tersebut.
Saat para koleganya berbicara soal sanksi, di Paris, Menlu Prancis Francois Fillon mengungkapkan bahwa negerinya sedang merancang bantuan kemanusiaan untuk warga Libya. Mereka berencana menerbangkan dokter, perawat, obat-obatan, dan peralatan medis lainnya ke Benghazi, salah satu kota yang menjadi pusat perlawanan terhadap Kadhafi.

“Ini menjadi langkah awal misi kemanusiaan besar-besaran untuk mendukung rakyat Libya,” katanya. Fillon mengatakan, Prancis terus menjajaki langkah-langkah yang bisa membuat Kadhafi bisa mengerti. “Bahwa Kolonel Kadhafi harus pergi. Sudah waktunya dia meninggalkan kekuasaan,” tambah Fillon.

Kegeraman serupa diungkapkan Menlu Australia Kevin Rudd. Dia menyamakan kebengisan Kadhafi dalam melawan demonstran dengan pembantaian masal di Rwanda, Srebenica (Bosnia), dan Darfur (Sudan). “Atas nama kemanusiaan, turunlah!” seru Rudd di Jenewa.

Kepedulian dunia terhadap krisis di Libya memang beralasan. Sebelum kerusuhan meluas, ada sekitar 1,5 juta warga asing yang tinggal di Libya. Kemarin Turki menyatakan sudah mengevakuasi 18 ribu warga dari negara Kadhafi tersebut. Selain itu, ada 20 ribu tenaga kerja Tiongkok dan 10 ribu warga Eropa yang langsung pulang kampung. Puluhan ribu warga asing lainnya melarikan diri ke negara-negara yang berbatasan dengan Libya. Di antaranya, Tunisia dan Mesir.

Dewan Keamanan PBB juga sudah memerintahkan Mahkamah Internasional untuk meneliti kemungkinan adanya pelanggaran HAM di Libya. Langkah itu merupakan kali kedua yang dilakukan PBB. Yang pertama terjadi pada 2005 ketika mereka menyidik pembunuhan masal di Darfur, Sudan, sebagai kejahatan perang.

Sementara itu, tanda-tanda perang sipil terus menguat di Libya. Dua pihak yang berlawanan “antara yang pro-Kadhafi dan anti-pemerintahan” terus unjuk kekuatan. Musuh-musuh Kadhafi, termasuk di antaranya tentara yang membelot, menduduki kawasan timur negeri tersebut. Mereka juga menguasai sejumlah infrastruktur minyak. Sementara itu, Kadhafi dan pasukannya masih bertahan di ibu kota Tripoli dan kota-kota tetangganya. Dia masih di-back up pasukan keamanan dan tentara bayaran yang persenjataannya lebih lengkap.

Di Zawiya dan Misrata, kota terdekat dengan Tripoli yang dikuasai oposisi, para demonstran terlibat bentrok dengan loyalis Kadhafi. “Rakyat menanti pasukan Kadhafi datang. Insya Allah, kami akan kalahkan mereka,” seru Alaa, salah seorang warga Zawiya, sekitar 50 kilometer di barat Tripoli. Di kota itu, warga memang terus berjaga-jaga untuk mengantisipasi serangan balik tentara Kadhafi.

Di Misrata, kota terbesar ketiga di Libya, sekitar 200 kilometer di timur Tripoli, sejumlah bentrok sporadis juga terus terjadi. Masing-masing pihak mengklaim berhasil menguasai pangkalan udara. Tak ada yang unggul dalam bentrok kecil-kecilan tersebut.

“Tapi, demonstran berhasil menembak jatuh sebuah pesawat. Krunya juga ditangkap,” kata seorang saksi mata kepada Reuters. Menurut dia, pasukan Kadhafi hanya mengontrol sebagian kecil pangkalan. Sementara itu, demonstran berhasil menguasai bagian pangkalan yang terdapat gudang amunisi. (rtr/ap/afp/jpnn)

Exit mobile version