Site icon SumutPos

Iran Siap Perang Lawan AS

TEHERAN – Ancaman serangan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya ke Iran dijawab langsung oleh Teheran. Menteri Luar Negeri Iran Ali Akbar Salehi menyatakan siap perang jika Israel dan Barat menyerang fasilitas nuklir negaranya.
“Kami tidak akan segan untuk membalas (serangan Israel dan Barat),” ujarnya dalam sebuah pernyataan yang berapi-api. Menurutnya, rakyat Iran bersatu untuk me lawan semua serangan.

“Kami telah mendengar ancaman (perang) dari Israel selama delapan tahun. Jadi ancaman semacam itu bukan hal baru,” tandasnya. “Kami sangat yakin akan kemampuan kami. Kami bisa mempertahankan negara kami,” tegasnya.
Respons tersebut muncul setelah Menteri Luar Negeri Inggris William Hague meminta menteri pertahanan Israel untuk tidak memperpanas situasi selama pertemuan tingkat tinggi di London.

Hague, secara tegas mengatakan kepada Ehud Barak untuk mencari solusi diplomatik guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Sebelumnya, Barak mengeluarkan pernyataan provokasi akan menyerang Iran lebih awal terkait ditemukannya bukti bahwa negara tersebut telah memperkaya uranium hingga bisa digunakan untuk membuat empat bom nuklir.

Terpisah, ribuan orang meneriakkan “Musnahlah Amerika” saat memeringati serangan di kedutaan besar AS di Teheran, pada 4 November 1979. Ketika itu mahasiswa Islam menyandera 52 diplomat AS. Krisis tersebut berakhir setelah 444 hari. Penyanderaan tersebut berakibat putusnya hubungan diplomatik Iran dan Amerika Serikat. Kedua negara juga selalu terlibat dalam ketegangan diplomatik selama 32 tahun terakhir.

Peringatan tahunan di lokasi yang biasa dikenal “sarang mata-mata” itu, tahun ini, juga digunakan sebagai panggung penghormatan untuk revolusi Islam di sejumlah negara, beberapa bulan belakangan atau biasa disebut “Arab Spring”.  Mereka juga beraksi mencemooh Israel di lokasi tersebut. Demonstran mengadakan aksi simbolis dan orasi mengutuk tuduhan AS kepada Iran atas skenario pembunuhan ter hadap dubes Saudi Arabia di Washington.

Sekelompok pemuda dilaporkan membakar bendera AS dan Israel, serta foto Presiden Barack Obama. Sejumlah patung tokoh politik AS dan Israel digantung tinggi-tinggi. Saeed Jalili, kepala Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, kepada demonstran menyatakan, pemerintah telah mengantongi bukti tak terbantahkan bahwa AS mendukung dan melatih teroris untuk menyerang Iran. Dia lalu menyebarkan kertas dan menyatakan dokumen tersebut yang mendukung klaimnya.

Jalili tidak menjelaskan secara detail tentang dokumen tersebut. Namun menyatakan bahwa duta besar Iran di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menyerahkan dokumen tersebut kepada Sekretaris Jenderal Ban Ki-moon agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Ketegangan antara Iran dan AS meningkat saat pejabat Washington menuduh Teheran menyutradarai sebuah skenario pembunuhan terhadap duta besar Arab Saudi untuk negeri Paman Sam. Iran, yang marah akan tuduhan tersebut, melontarkan bantahan dan mengirimkan surat ke Washington menuntut permintaan maaf dari pemerintah AS.
Teheran menyebut tuduhan tersebut sebagai upaya  AS untuk mengalihkan perhatian rakyatnya akan masalah ekonomi dan kegagalan kebijakan luar negeri di Timur Tengah.

Seperti dilansir Agence France-Presse, Jalili lebih dikenal dengan nama Qasem Soleiemani, adalah komandan unit operasi khusus pasukan elite Iran, Quds. Dialah yang dituduh AS sebagai tokoh kunci dalam skenario pembunuhan tersebut.

Dalam seruannya kepada AS, Jalili mengatakan, “Dengan dukungan rakyat, seorang komandan pasukan pertahanan, Qasem Soleiemani saja cukup untuk melawan kalian”.

Kamis (3/11) Iran mengajukan protes resmi ke Amerika Serikat melalui kedutaan besar Swiss yang menangani semua kepentingan Washington, di Teheran. Protes tersebut terkait pengakuan dua analis pertahanan di depan Kongres, pekan lalu, bahwa mereka memerintahkan pembunuhan terhadap Soleiemani dan anggota lain Pasukan Quds.
Dua analis tersebut adalah Jenderal purnawirawan Jack Keane, yang membantu perencanaan pendudukan pasukan koalisi pimpinan AS di Iraq dan mantan petinggi CIA Reuel Marc Gerecht, yang sekarang menjadi peneliti senior lembaga strategi neo-konservatif, Yayasan untuk Pertahanan dan Demokrasi, yang diundang sebagai saksi ahli. (cak/ami/jpnn)

Exit mobile version