JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyiapkan klausul larangan mantan terpidana kasus korupsi atau mantan koruptor mencalonkan diri di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Komisioner KPU Ilham Saputra mengatakan pihaknya akan memasukkan larangan tersebut dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
“Revisi UU Pilkada yang memungkinkan adalah salah satunya mungkin kalau boleh kemarin kita sudah menyampaikan misalnya saja narapidana korupsi,” kata Ilham saat ditemui di Kantor Bawaslu, Jakarta, Rabu (9/10).
lham mengakui memang KPU tak mengatur larangan tersebut dalam draf PKPU pencalonan Pilkada 2020. Ia mengatakan larangan itu akan diatur dalam tingkat undang-undang agar dasar hukumnya lebih kuat.
Menurutnya, KPU pernah mencantumkan larangan tersebut dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 untuk Pemilu 2019. Namun Mahkamah Agung membatalkan aturan tersebut karena undang-undang tidak mengaturnya.
Ilham berharap revisi UU Pilkada bisa segera digelar oleh DPR yang baru saja melewati masa pergantian jabatan. “Kita berharap sambil menunggu DPR MPR menyelesaikan alat kelengkapan dewan, kita berharap dia mungkin bisa satu prioritas agar kemudian direvisi terbatas terkait UU Pilkada,” kata Ilham.
Sebelumnya, KPU tak mencantumkan larangan pencalonan terpidana kasus korupsi atau mantan koruptor di Pilkada Serentak 2020 dalam draf revisi Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang pencalonan kepala daerah..
Rancangan peraturan itu hanya melarang mantan terpidana kasus bandar narkoba dan kejahatan seksual terhadap anak. Sementara untuk mantan terpidana kasus lainnya diminta untuk mengumumkan ke publik soal statusnya sebagai napi.
“Iya ini yang terlewatkan ya. Jadi nanti kami akan bahas ya,” kata Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik saat ditemui usai Uji Publik PKPU Pilkada Serentak 2020 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (2/10).
Sementara itu, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja tak mempermasalahkan sikap KPU tersebut. Rahmat menilai aturan tersebut memang tak perlu ada dalam draf revisi Peraturan KPU, melainkan di tingkat Undang-undang. Menurutnya masih ada waktu tersisa merevisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
“Makanya kita minta DPR merevisi. Revisi UU KPK saja cepat, ya tergantung kemauan saja mau apa enggak,” kata Bagja saat ditemui di Kantor Indonesian Legal Roundtable, Jakarta, Senin (7/10). (bbs/azw)