Site icon SumutPos

Jokowi Setuju Kuota Dihapus

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi

SUMUTPOS.CO  – Hari ini Revisi Peraturan Menhub Nomor 32 Tahun 2016 yang mengatur angkutan nontrayek resmi berlaku, dengan masa transisi tiga bulan. Kemarin, Presiden memanggil sejumlah menteri untuk membahas regulasi tersebut. Termasuk di antaranya memutuskan mengenai penyamaan sistem pajak antara angkutan konvensional dan online.

SEJUMLAH menteri tampak berdatangan ke kompleks Istana Kepresidenan, kemarin. Di antaranya, Menkeu Sri Mulyani, Menhub Budi Karya Sumadi, Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menkominfo Rudiantara. Tampak hadir pula Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf.

Usai pertemuan sekitar satu jam, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan, pemerintah akan membuat level playing field (perlakuan yang seimbang) pada industri transportasi. Khususnya dalam hal perpajakan. ’’Antara bisnis online dan konvensional, treatment mengenai perpajakannya juga sama,’’ terangnya.

Jangan sampai ada salah satu pihak yang dirugikan hanya karena kebijakannya berbeda antara satu dengan lainnya. Meskipun demikian, mantan Managing Director Bank Dunia itu tidak menjelaskan lebih teknis bagaimana perlakuan pajak yang sama itu.

Selama ini, pelaku usaha transportasi dikenai berbagai macam pajak. Selain PPh badan (perusahaan), ada pula PPh pegawai dan pengemudi. Kemudian, pajak kendaraan bermotor, juga PPn. Pada angkutan konvensional pajak kendaraan bermotor ditanggung perusahaan. Sementara, pada angkutan berbasis online, pajak ditanggung masing-masing pemilik mobil.

Sementara itu, Syarkawi Rauf menjelaskan, setidaknya ada dua poin usulan pihaknya yang diakomodir Presiden. Pertama, soal pengalihan STNK dari pribadi kepada perusahaan atau koperasi. Para pengemudi tidak wajib lagi mengubah STNK-nya menjadi milik koperasi. ’’Sesuai perintah presiden seperti itu,’’ terangnya.

Pengaturan tersebut dimungkinkan, bila mengacu pada UU Koperasi. Ada yang dikategorikan sebagai aset koperasi, ada pula yang masuk kategori aset individu. Sehingga, dalam kasus angkutan online, pengemudi tidak diwajibkan untuk membalik nama mobilnya. Kala itu, hal tersebut memang menjadi polemik di kalangan pengemudi taksi online karena mobil-mobil itu mereka beli sendiri, bukan dibelikan perusahaan.

Hal kedua adalah mengenai kuota. ’’Presiden setuju (penghapusan kuota),’’ lanjutnya. Dengan dihapuskannya kuota, tutur Syarkawi, maka dimungkinkan terjadi persaingan sehat antara taksi konvensional dengan online.

Sementara, mengenai usulan tarif, Presiden menolak. Syarkawi menyatakan bisa menerima hal tersebut. ’’Tarif bawah ini untuk mmenghindari kemungkinan jual rugi atau dugaan predatory pricing,’’ tuturnya. Karena itu, memang diperlukan transisi untuk menetapkan tarif bawah yang sesuai dengan kondisi di lapangan.

Sedikit berbeda, Menhub Budi Karya Sumadi tidak langsung membenarkan bahwa presiden menghapuskan sistem kuota untuk transportasi nontrayek. ’’Kuota akan dikaji, apakah ini akan menimbulkan ekses terjadinya pungli,” ujarnya. Yang terpenting adalah bagaimana preferensi konsumen.

Ada banyak jenis ekses pungli yang jadi kekhawatiran. Mulai dari adanya jual beli kuota di daerah hingga adanya sistem pungutan liar pada para driver bila melewati batas wilayah operasional.

Sementara, untuk pemberlakuan tarif bawah akan diberlakuan transisi selama tiga bulan ke depan. Pada akhirnya, yang menentukan tarif bawah nantinya adalah pemerintah pusat, dalam hal ini kemenhub. Poin penting dari kebijakan Presiden adalah konsumen juga harus dilindungai dengan adanya kebijakan-kebijakan transportasi.

Terpisah, DPP Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) mengapresiasi langkah pemerintah dalam penyetaraan pajak untuk angkutan sewa khusus ini. Sekjen Organda Ateng Aryono menuturkan, sesama usaha angkutan memang semestinya mendapat perlakuan sama, sesuai dengan mudanya. ”Jadi kalau angkutan sewa, ya sama dengan angkutan sewa. Biasanya, dari tarif dikenakan ppn 10 persen,” ujarnya.

Disinggung soal pernyataan ketua KPPU soal pembatalan pembatasan kuota angkutan online, Ateng mengaku belum mengetahui perihal tersebut. Sebab, terakhir berkomunikasi dengan Menhub, revisi PM 32/2016 masih akan berjalan sesuai dengan poin-poin di dalamnya.

Namun, bila memang pembatasan kuota dibatalkan dengan alasan kekhawatiran soal pungli ini, Ateng mengaku agak lucu melihatnya. Menurutnya, kasus pungli di jalan belum jelas berapa case yang terjadi. Sementara saat ini, banyak sekali angkutan online yang beroperasional tanpa izin. Ibaratnya, kuman diseberang lautan tampak tapi Gajah dipelupuk mata tak tampak.

”Tapi saya masih yakin, Pak Presiden tentu mempertimbangkan semua sisi dengan berimbang demi Indonesia,” ungkapnya.

Dia turut menjawab pernyataan Syarkawih soal persaingan yang tidak sehat bila dilakukan pembatasan. Menurutnya, tidak semua cocok dengan mekanisme tersebut. ”Untuk industry produk tertentu cocok, namun jasa angkutan apa bisa efisiensi tercapai dengan cara itu? Apalagi mellibatkan UMKM kan?” tandasnya.

SATU Tetap Menolak

Sementara pelaku angkutan dan transportasi umum di Sumut tetap menolak kehadiran angkutan berbasis aplikasi online per 1 April sesuai implementasi Permenhub 32/2016. Menurut mereka, Pemprov Sumut harus tegas dan dapat mengakomodir aspirasi pelaku angkutan konvensional ini, terutama bagi Go-Jek yang belum memiliki payung hukum.

“Dari awal kami sudah tegaskan, sesuai dengan tuntutan meminta pemerintah memberhentikan angkutan berbasis aplikasi. Kemenhub sendiri melemparkan kembali ke setiap pemerintah daerah. Kita harap Pemprov Sumut juga tegas dalam hal ini. Contoh Go-Jek, yang kita tahu belum ada regulasi mengatur operasional mereka,” kata Koordinator Wilayah Solidaritas Angkutan dan Transportasi Umum (SATU), Johan Merdeka kepada Sumut Pos, kemarin.

Menurut Johan, Permenhub 32/2016 belum ada mengatur secara gamblang operasional angkutan berbasis aplikasi roda dua. “Ingat, Go-Jek itu belum ada payung hukumnya. Di regulasi yang ada saat ini, baru mengatur untuk roda empat,” katanya.

Pihaknya akan berupaya sekuat tenaga dan dengan cara apa saja untuk hentikan operasional Go-Jek di Sumut, khususnya Kota Medan. “Itu akan kami lakukan. Kami akan hentikan pengoperasian mereka di Medan. Apapun itu (caranya),” tegas Johan.

Sebenarnya, sambung dia, pernah ada Surat Edaran Dishub Provsu pada 27 September 2016 yang diajukan kepada seluruh pelaku angkutan berbasis aplikasi online ini. Hal itu disebut Johan sudah cukup baik karena mencakup aspirasi dari pelaku angkutan konvensional. “Namun sayang, pemerintah provinsi dalam hal ini Dishub, terlihat lemah dari sisi implementasi. Nyaris tidak ada penindakan terhadap mereka,” katanya.

Pelaku angkutan umum konvensional mengakui bahwa kemajuan teknologi tidak bisa dihempang. Untuk itu mereka membuka diri agar pemerintah melakukan pembinaan dan peremajaan terhadap pelaku angkutan konvensional.

“Ya, dalam hal ini kita juga siap dibenahi, diremajakan. Tetapi dalam hal ini pula pemerintah perlu tegas terlebih dahulu. Selain menata armada konvensional, juga siapkan dulu payung hukum bahwa angkutan roda dua berbasis aplikasi, baru setelah itu boleh beroperasi,” ungkap Johan.

Ia menambahkan, pada 2015 lalu sebenarnya sudah ada aplikasi online bernama Go-Cak di Medan. Namun karena tidak difasilitasi dengan baik, aplikasi tersebut mandek dan tidak bisa dioptimalkan.

“Kalau memang pemerintah berpihak kepada parbetor, aktifkan lagi aplikasi tersebut. Karena bukan apa-apa, kami menjadikan pilihan utama pekerjaan itu untuk memenuhi kehidupan keluarga. Sedangkan yang berbasis online kebanyakan itu dijadikan sampingan. Kami harap pemprov tegas dan peka melihat ini,” pungkasnya. (byu/mia/jpg/prn/adz)

 

Exit mobile version