26 C
Medan
Saturday, September 28, 2024

Dirikan Sekolah Autis karena Merasa Terpanggil

Juniwati Rusly, Pemilik Yayasan Ananda Karsa Mandiri

Juniwati Rusly, punya historis ketika dia bertekad mendirikan Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari) di Jalan Iskandar Muda/Sei Batu Rata No.14 Medan. Ia merasa terpanggil mendirikan Yakari karena anak menderita autistik/autis.

Anita Nastasia Sinuhaji, Medan

Wartawan koran ini kemarin menyambangi sekolah Yakari Sekolah ini tidak semewah sekolah lainnya. Bangunnya sangat sederhana. Sebuah plang bertuliskan Sekolah Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari) terpasang sebelum memasuki pagar sekolah.

BIMBING: Guru Sekolah Yakari saat membimbing muridnya.//Aminoer Rasyid/SUMUT POS
BIMBING: Guru Sekolah Yakari saat membimbing muridnya.//Aminoer Rasyid/SUMUT POS

Tidak seperti sekolah umumnya yang selalu ramai serta suara riuh bermain, tapi di sekolah ini justru sepi. Sekolah yang mendidik anak-anak autistik/autis ini tampak tenang. Murid-muridnya asyik bermain tanpa suara ribut seperti anak-anak pada umumnya karena mereka menderita autis.

Juniwati Rusly, pendiri Yakari yang ditemui wartawan koran ini menuturkan, jumlah muridnya ada 20 orang. Sedangkan terapis yang diberikan ada 10 terapis. Ditambah lagi 1 terapis khusus kesenian dan terampilan untuk seminggu sekali. Yakari memiliki 7 kelas. Setiap satu anak ditangani satu orang terapis. “Bila si anak baru masuk,  maka di observasi dahulu sejauh mana tingkat kemampuannya. Biasanya 2 orang terapis yang membimbing anak tersebut,” kata wanita yang akrab disapa Juni ini.

Wanita berusia 41 tahun ini menuturkan, ada beberapa pelajaran terapi untuk autis. Yakni terapi layanan Individual Classroom dengan Individual Education Program sesuai kebutuhan anak. Sedangkan berbagai program terapi itu antara lain, Terapi Wicara, Terapai Perilaku, Terapi Oukupasi/Sensori Integritas yang dilakukan melalui metoda Visual Support, Floor Time, Classical dan Games. “Setiap anak mendapat pendidikan atau terapi 1-2 jam per hari. Semua di bawah bimbingan guru dan terapis berpengalaman, ramah dan bersahabat pastinya,” ujarnya.

Sementara untuk pengelolaan biaya kebutuhan sekolah, Juniwati mengaku semua masih memakai biaya sendiri atau dari tabungannya. Ada juga dari bantuan orangtua murid. “Sampai saat ini kita belum ada mendapat bantuan dari pemerintah. Kita sudah berulang kali mencoba mengajukan, tapi tidak ada tanggapan yang serius. Padahal anak-anak di Undang-Undang anak harus mendapat perhatian oleh peran negara. Aeharusnya juga bersosialisasi dengan sekolah normal,” ungkapnya.

Dirinya terpaksa menanggung biaya sekolah dengan sistem subsidi silang. “Sebab kita melihat tingkat status ekonomi murid, ada yang tidak bayar karena kekurangan biaya tetap kita tangani,” kata wanita berkerudung ini dengan ramah.

Dibalik kerja keras dan kemauan kerasnya membantu anak-anak autis, ia punya latar-belakang saat mendirikan Sekolah Yakari.

Juni mengisahkan, ia terpanggil awalnya karena punya pengetahuan, pendidikan serta pengalamanya membesarkan buah hatinya Ahmad Dzaky Yusran yang juga penyandang autis. Ia pun bertekad mengembangkan dan menyebarkan pola penanganan  autis itu sendiri. “Ini berawal ketika anak saya Dzaky berumur 2 tahun tiba-tiba kehilangan memori ingatannya sehingga mengeluarkan bahasa-bahas yang saya sebut ‘bahasa planet’. Karena saya tidak mengerti apa yang diucapkan anak saya sampai  berumur 3 tahun lebih. Akhirnya, saya dan suami memutuskan membawa anak saya terapi pada tahun 1999 ke Jakarta,” ujarnya.

Saat itu, lanjutnya, dokter menyatakan bahwa putranya menderita autis, yang saat itu belum begitu dikenal penyakit autis. “Saat itu kami berusaha mencari dokter yang dapat menangani autis. Alhamdulillah, anak kami sudah beranjak remaja dan sekarang sudah memiliki perkembangan yang jauh lebih baik,” ucapnya.

Sepulang dari Jakarta, Juniwati yakin kalau bukan anaknya saja mengalami autis, tapi banyak anak-anak lainnya. Karena pengalamannya membesarkan Dzaky, ditambah pahit-getirnya mendapat sekolah untuk buah hatinya karena sering ditolak oleh sekolah umum karena menyandang autis, akhirnya pada  12 September 2000 ia mendirikan Yakari. “Saya prihatin dan ingin membantu anak autis, makanya saya dirikan sekolah,” tuturnya.

Kini, sekolahnya hampir setiap tahunnya mengadakan seminar ataupun workshop tanpa meminta biaya kepada orangtua agar mendapatkan informasi mengenai autis itu sendiri. Selain itu Yakari  juga mempunyai klinik konsultasi gejala serta pemeriksaan anak autis yang dipimpin oleh Prof.dr.H.M.Joesoef Simbolon, Sp.KJ. “Harapan saya sebagai ibu, semoga penanganan dapat dilakukan lebih mudah dan terarah demi mendapatkan hasil yang optimal,” pungkasnya tersenyum manis. (*)

Juniwati Rusly, Pemilik Yayasan Ananda Karsa Mandiri

Juniwati Rusly, punya historis ketika dia bertekad mendirikan Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari) di Jalan Iskandar Muda/Sei Batu Rata No.14 Medan. Ia merasa terpanggil mendirikan Yakari karena anak menderita autistik/autis.

Anita Nastasia Sinuhaji, Medan

Wartawan koran ini kemarin menyambangi sekolah Yakari Sekolah ini tidak semewah sekolah lainnya. Bangunnya sangat sederhana. Sebuah plang bertuliskan Sekolah Yayasan Ananda Karsa Mandiri (Yakari) terpasang sebelum memasuki pagar sekolah.

BIMBING: Guru Sekolah Yakari saat membimbing muridnya.//Aminoer Rasyid/SUMUT POS
BIMBING: Guru Sekolah Yakari saat membimbing muridnya.//Aminoer Rasyid/SUMUT POS

Tidak seperti sekolah umumnya yang selalu ramai serta suara riuh bermain, tapi di sekolah ini justru sepi. Sekolah yang mendidik anak-anak autistik/autis ini tampak tenang. Murid-muridnya asyik bermain tanpa suara ribut seperti anak-anak pada umumnya karena mereka menderita autis.

Juniwati Rusly, pendiri Yakari yang ditemui wartawan koran ini menuturkan, jumlah muridnya ada 20 orang. Sedangkan terapis yang diberikan ada 10 terapis. Ditambah lagi 1 terapis khusus kesenian dan terampilan untuk seminggu sekali. Yakari memiliki 7 kelas. Setiap satu anak ditangani satu orang terapis. “Bila si anak baru masuk,  maka di observasi dahulu sejauh mana tingkat kemampuannya. Biasanya 2 orang terapis yang membimbing anak tersebut,” kata wanita yang akrab disapa Juni ini.

Wanita berusia 41 tahun ini menuturkan, ada beberapa pelajaran terapi untuk autis. Yakni terapi layanan Individual Classroom dengan Individual Education Program sesuai kebutuhan anak. Sedangkan berbagai program terapi itu antara lain, Terapi Wicara, Terapai Perilaku, Terapi Oukupasi/Sensori Integritas yang dilakukan melalui metoda Visual Support, Floor Time, Classical dan Games. “Setiap anak mendapat pendidikan atau terapi 1-2 jam per hari. Semua di bawah bimbingan guru dan terapis berpengalaman, ramah dan bersahabat pastinya,” ujarnya.

Sementara untuk pengelolaan biaya kebutuhan sekolah, Juniwati mengaku semua masih memakai biaya sendiri atau dari tabungannya. Ada juga dari bantuan orangtua murid. “Sampai saat ini kita belum ada mendapat bantuan dari pemerintah. Kita sudah berulang kali mencoba mengajukan, tapi tidak ada tanggapan yang serius. Padahal anak-anak di Undang-Undang anak harus mendapat perhatian oleh peran negara. Aeharusnya juga bersosialisasi dengan sekolah normal,” ungkapnya.

Dirinya terpaksa menanggung biaya sekolah dengan sistem subsidi silang. “Sebab kita melihat tingkat status ekonomi murid, ada yang tidak bayar karena kekurangan biaya tetap kita tangani,” kata wanita berkerudung ini dengan ramah.

Dibalik kerja keras dan kemauan kerasnya membantu anak-anak autis, ia punya latar-belakang saat mendirikan Sekolah Yakari.

Juni mengisahkan, ia terpanggil awalnya karena punya pengetahuan, pendidikan serta pengalamanya membesarkan buah hatinya Ahmad Dzaky Yusran yang juga penyandang autis. Ia pun bertekad mengembangkan dan menyebarkan pola penanganan  autis itu sendiri. “Ini berawal ketika anak saya Dzaky berumur 2 tahun tiba-tiba kehilangan memori ingatannya sehingga mengeluarkan bahasa-bahas yang saya sebut ‘bahasa planet’. Karena saya tidak mengerti apa yang diucapkan anak saya sampai  berumur 3 tahun lebih. Akhirnya, saya dan suami memutuskan membawa anak saya terapi pada tahun 1999 ke Jakarta,” ujarnya.

Saat itu, lanjutnya, dokter menyatakan bahwa putranya menderita autis, yang saat itu belum begitu dikenal penyakit autis. “Saat itu kami berusaha mencari dokter yang dapat menangani autis. Alhamdulillah, anak kami sudah beranjak remaja dan sekarang sudah memiliki perkembangan yang jauh lebih baik,” ucapnya.

Sepulang dari Jakarta, Juniwati yakin kalau bukan anaknya saja mengalami autis, tapi banyak anak-anak lainnya. Karena pengalamannya membesarkan Dzaky, ditambah pahit-getirnya mendapat sekolah untuk buah hatinya karena sering ditolak oleh sekolah umum karena menyandang autis, akhirnya pada  12 September 2000 ia mendirikan Yakari. “Saya prihatin dan ingin membantu anak autis, makanya saya dirikan sekolah,” tuturnya.

Kini, sekolahnya hampir setiap tahunnya mengadakan seminar ataupun workshop tanpa meminta biaya kepada orangtua agar mendapatkan informasi mengenai autis itu sendiri. Selain itu Yakari  juga mempunyai klinik konsultasi gejala serta pemeriksaan anak autis yang dipimpin oleh Prof.dr.H.M.Joesoef Simbolon, Sp.KJ. “Harapan saya sebagai ibu, semoga penanganan dapat dilakukan lebih mudah dan terarah demi mendapatkan hasil yang optimal,” pungkasnya tersenyum manis. (*)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/