Site icon SumutPos

Bermodal Rp300 Ribuan, Sabet Emas di Jerman

Foto: Idris/Sumut Pos
Dua siswa Chandra Kusuma School, Deliserdang, Fira Fatmasiefa (Kelas XI SMA) dan Bramasto Rahman Prasojo (Kelas IX SMP) meraih medali emas pada ajang International Conference of Young Scientis (ICYS) di Jerman, beberapa waktu lalu.

Sumatera Utara, khususnya Kabupaten Deliserdang mendapat kado indah pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang jatuh hari ini, Selasa (2/5). Pasalnya, dua siswa Chandra Kusuma School, Deliserdang, Fira Fatmasiefa (Kelas XI SMA) dan Bramasto Rahman Prasojo (Kelas IX SMP) meraih medali emas pada ajang International Conference of Young Scientis (ICYS) di Jerman, beberapa hari lalu.

————————————-

Muhammad Idris, Medan

————————————-

PELAJAR yang merupakan kakak beradik yang tergabung dalam satu tim ini, meraih prestasi dalam penelitian bidang computer science untuk kategori Research Prasentation dan Poster Session. Fira yang ditemui di sekolahnya mengungkapkan, penelitian yang dilakukannya berjudul ‘Braille Literacy Helper’. Braille merupakan suatu sistem tulisan sentuh yang digunakan penyandang tunanetra untuk membaca dan menulis.

“Penelitian kami berkaitan dengan alat bantu bagi tuna netra agar dapat belajar braille secara mandiri. Artinya, alat kami ini bisa bekerja sendiri tanpa bantuan seorang guru, karena sudah diprogramkan di dalamnya dan mengeluarkan suara,” ungkap Fira kepada Sumut Pos, baru-baru ini.

Dia menyebutkan, alat hasil riset bersama adiknya ini sangat sederhana dan cukup murah. Biaya yang dihabiskan untuk membuatnya, kalau dihitung-hitung hanya berkisar Rp300 ribuan.

“Perangkatnya saya yang merangkai, sedangkan programnya dibuat adik saya, Pras. Tapi, kami dibantu ibu dan ayah juga. Selain itu, guru-guru di sekolah, tim pembimbing para pakar dari UI, ITB, Unpar (Universitas Parahyangan) & Unpad (Universitas Padjadjaran),” sebut anak sulung dari dua bersaudara ini.

Dijelaskannya, untuk mengoperasikan alat itu cukup mudah, hanya dengan menekan tombol dan letakkan jari di atas media perantara. Namun, alat tersebut masih perlu disempurnakan lagi agar benar-benar mudah digunakan oleh penyandang tuna netra untuk belajar.

“Ketika seseorang salah mempelajari pola huruf braille saat menggunakan alat itu, maka suara yang ditimbulkan pun salah. Selain itu, alat ini juga memberi nilai atau skor 1 sampai 10. Apabila skornya kecil, maka dianggap mulai pandai, sedangkan skornya besar berarti masih harus belajar lagi. Artinya, alat ini menguji pengetahuan ingatan tuna netra,” jelas Fira.

Ia menuturkan, dirinya berharap dengan alat tersebut bisa membawa suatu perubahan dan membantu para tuna netra agar bisa belajar braille lebih cepat dan gampang. Dengan begitu, mereka semakin cepat kembali memiliki kemampuan membaca dan menulis.

Diceritakan Fira, perjalanan menuju ke Jerman cukup panjang dan melelahkan yang dimulai pada 16-23 April. “Berangkat dari Medan menuju Jakarta. Lalu, dari Jakarta transit ke Istanbul, Turki dengan memakan waktu 12 jam. Selanjutnya ke Stutgart, Jerman. Setelah sampai di bandara, kami dijemput oleh panitia dan menuju penginapan. Usai istirahat, malamnya langsung ada sesi pertemuan,” paparnya.

Dikatakannya, para peserta yang mengikuti kompetisi tersebut kalau tidak salah dari 28 negara. Seperti Thailand, Belanda, Rusia, Belarusia, Singapura, Jerman, dan lainnya. “Selama sana, kami tidak hanya mengikuti kompetisi, tetapi juga diberikan waktu untuk refreshing atau jalan-jalan. Selain itu, ada juga malam kebudayaan, di mana para peserta menampilkan budayanya masing-masing,” cetus Fira.

Sementara, Ibunda Fira dan Pras, dr Diah menyebutkan, prestasi yang diraih anaknya bukan mudah. Apalagi, mereka berdua bukan kali pertama mengikuti ajang tingkat dunia tersebut. “Mengikuti kompetisi seperti itu sudah sejak 2013 dilakukan Fira. Dimulai dari tingkat provinsi yang gagal melaju ke tingkat nasional maupun internasional. Begitu juga dengan Pras, mulai pada 2014,” tutur Diah.

Foto: Idris/Sumut Pos
Dua siswa Chandra Kusuma School, Deliserdang, Fira Fatmasiefa (Kelas XI SMA) dan Bramasto Rahman Prasojo (Kelas IX SMP) meraih medali emas pada ajang International Conference of Young Scientis (ICYS) di Jerman, beberapa waktu lalu.

Dijelaskannya, latar belakang munculnya ide penelitian ini lahir usai mengikuti kegiatan bakti sosial di Sekolah Luar Biasa (SLB) A Yayasan Pendidikan Tuna Netra (Yapentra) Tanjungmorawa, beberapa waktu lalu. Ketika itu, seorang tuna netra bernama Berkah Stefanus ingin sekali kembali dapat membaca dan menulis.

Melihat semangat Berkah Stefanus yang kini berusia 20 tahun, lanjut Diah, hati kedua anaknya tergerak. Selanjutnya, berdiskusi dengan Bramasto untuk membantu harapan dan keinginannya itu. “Fira bercerita kepada saya sambil menangis, dan begitu juga dengan Pras,” ungkap Diah.

Menurutnya, setelah bercerita panjang lebar, Pras kemudian bilang ingin membantu mereka. Lalu, Pras mengajak Fira dan meyakinkan bahwa pasti ada yang bisa mereka bantu untuk memenuhi harapannya. “Berselang beberapa waktu, Fira dan Pras mengajak saya ke sekolah itu lagi. Setelah sampai di sekolah, dikenalkan kepada temannya itu sama kawan-kawan lainnya dan juga para guru serta kepala sekolah. Disitu, keduanya mempelajari cara pengajaran huruf braille di SLB A pada umumnya. Keduanya pun tahu bahwa untuk belajar huruf braille secara konvensional mutlak membutuhkan kehadiran guru atau pembimbing. Sehingga, ketika jam sekolah habis dan mereka berada di asrama, maka mereka tidak dapat mempelajarinya,” ulas Diah

Dari situ, muncul ide riset mereka untuk melakukan project penelitian. Misi utamanya adalah menghadirkan suatu alat atau media pembelajaran pola-pola huruf braille. Namun, alat pembelajaran itu bisa dilakukan juga untuk belajar sendiri atau tanpa bantuan.

“Proses riset ini cukup panjang dimulai dari Agustus 2016 lalu. Kemudian, riset tersebut diikutkan ke dalam seleksi tingkat provinsi pada Oktober. Setelah lolos seleksi melaju ke tahap nasional. Pada tahap seleksi itu, mereka menjelaskan kepada juri kenapa tidak diciptakan suatu alat yang bisa men-scan pola-pola huruf braille dan mengeluarkan suara. Sebab, banyak tuna netra yang kesulitan membaca huruf braille dengan konsep konvensional yaitu meraba bintil-bintil yang kecil pada media kertas. Padahal, mereka memiliki semangat dan motivasi tinggi untuk membaca,” jelas ibu dua anak ini.

Disebutkan Diah, satu alat riset hasil karya anaknya sudah diberikan kepada SLB A Yapentra. Alat itu telah digunakan dan terbukti dengan cepat mempelajari huruf-huruf braille.

“Siswa diajari terlebih dahulu 4 huruf pola braille, misalnya A, D, F dan G. Setelah mengetahui polanya seperti apa, lalu dites dengan alat itu. Apabila skornya besar, maka masih perlu belajar lagi. Namun, apabila skornya kecil maka cukup baik dan bila nol nilainya berarti sudah mengerti,” ucapnya. (bersambung/adz)

Exit mobile version