Site icon SumutPos

Kejagung Takut Diprapid

ilustrasi-korupsi-bansos

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Semangat Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut persoalan dana bantuan sosial (Bansos) di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) tak berbanding lurus dengan hasilnya. Buktinya, Kejagung malah ‘takut’ di praperadilan-kan.
Hingga Selasa (1/9) malam, Kejagung belum juga menetapkan nama-nama tersangka kasus dugaan korupsi dana bansos yang berasal dari APBD 2011-2013. Penetapan belum dilakukan, dikarenakan penyidik masih mendalami bukti-bukti maupun keterangan saksi yang telah dikumpulkan.

“Belum (ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi bansos Sumut,red),” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung saat dihubungi Selasa, (1/9).

Saat disinggung mengapa prosesnya begitu lama, Tony mengatakan Kejagung ingin benar-benar berkas yang ada lengkap, sehingga semua pihak yang terlibat dapat mempertanggungjawabkan dugaan perbuatannya di hadapan hukum.

“Sekarang ini harus lebih hati-hati dalam menetapkan tersangka, mengingat proses hukum, sekarang lagi trend ke praperadilan. Makanya untuk menetapkan tersangka kami tidak mengacu pada aturan minimal harus didukung dua alat bukti, tapi sebanyak-banyaknya alat bukti,” ujarnya.

Ketika kembali ditanyakan apakah tidak ada proses batas waktu bagi Kejagung untuk menangani sebuah perkara ketika telah memasuki tahap penyidikan, Tony mengatakan waktu sangat relatif tergantung kebutuhan. Artinya ketika penyidik merasa masih membutuhkan pendalaman berkas maupun pemeriksaan saksi-saksi, maka masih dimungkinkan untuk kembali melakukan pemeriksaan.

“Jadi kalau penyidikan itu relatif sepanjang masih diperlukan bukti atau keterangan saksi-saksi,” ujarnya.

Tony mengaku sangat memahami rasa penasaran masyarakat, akibat belum juga ditetapkan tersangka dalam kasus ini. Namun, ia menegaskan, proses hukum perlu dilakukan secara profesional. Apalagi dalam kasus Bansos Sumut, mirip dengan kasus dugaan penyelewengan dana Bansos Cirebon beberapa waktu lalu.

“Bansos Cirebon 200 saksi, ini saya duga hampir sama. Karena Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perlu alat bukti untuk mendukung perhitungan. Enggak bisa kami (melakukan pemeriksaan,red) secara random,” ujarnya.

Tony kemudian mencontohkan jika dana Bansos yang dikucurkan Rp 1 miliar untuk sepuluh satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Artinya tiap SKPD menerima Rp100 juta. Maka Kejagung tidak bisa memeriksa hanya lima saksi, kemudian ketika menemukan indikasi digenerlisir kesepuluh penerima diduga terlibat penyelewengan.
“Jadi tidak bisa langsung digeneralisir. Makanya mau enggak mau semua (penerima,red) maupun pemberi harus diperiksa. Ini yang bikin lama, kalau enggak hanya lima yang jadi tersangka. Padahal belum tentu juga penerimanya tersangka. Misalnya si penerima memperoleh Rp 100 juta, kemudian ternyata disunat sama si penanggungjawab atau kan jadi masuk barang itu oleh pelaku yang menyunat,” ujar Tony menggunakan istilah yang biasa dipakai orang Medan.

Karena dugaan korupsi Bansos Sumut sangat masif, maka penyidik menurut jaksa yang dipromosikan menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi DI Yogyakarta ini, perlu sangat berhati-hati.

Saat ditanya apakah terbuka peluang penetapan tersangka akan dilakukan dalam waktu dekat, Tony kembali mengatakan hal tersebut kewenangan penyidik. Namun ia memastikan jika semua hal-hal yang dibutuhkan telah lengkap, maka Kejagung pasti akan mengumumkan nama tersangka dalam kasus ini.

“Itu kewenangan penyidik, saya kan enggak bisa ngomong tanpa informasi (dari penyidik,red). Prinsipnya kami semakin hati-hati menetapkan tersangka. Harus bukti yang maksimal,bukan lagi bukti minimal dua alat bukti,” ujar Tony.

Terpisah, Sekretaris Daerah Pemprovsu, Hasban Ritonga mengatakan terkait pertanggungjawaban hibah dan bansos, belum ada perkembangan. “Sampai sekarang masih tetap tujuh persen penerima/lembaga yang belum serahkan LPj. Kalau nilai uangnya 7 persen itu, kira-kira Rp3-4 miliar lagilah,” ujarnya.

Tapi begitupun, kata Hasban, ia akan menanyakan ke Biro Keuangan untuk angka pastinya. “Kalau SKPD saja, ya tersebarlah jumlahnya. Tapi kan sebenarnya hibah bansos untuk rumah ibadah dan lembaga Pemprov Sumut tahun 2012 dan 2013, kecilnya anggarannya. Janganlah pula dimasukkan anggaran hibah untuk KPU Sumut, Bawaslu Sumut dan hibah Bantuan Operasional Sekolah (BOS),” pungkasnya.

Bisa Jadi Lembaga Banci
Direktur Pusat Studi Hukum dan Pembaruan (Pushpa) Sumut, Muslim Muis menilai Korps Adhyaksa jangan sampai menjadi lembaga banci. Bila perlu, laporan masyarakat sekecil apapun harus tetap ditindaklanjuti bahkan diproses.

“Kejagung jangan bertindak banci. Mereka adalah lembaga penegak hukum. Inikan aneh, masa lembaga penegak hukum takut dipraperadilkan,” katanya.

Dia menegaskan, jika Kejagung merasa tidak mampu menangani perkara tersebut, silahkan serahkan kepada KPK. “Seandainya ada dua laporan masuk, katakanlah dari Kejatisu dan ke Kejari Medan. Lantas Kejagung mau mengambilalih kasus ini, ya silahkan ambil. Tidak susahkan? Karena masih sama garis koordinasinya. Namun jika mereka tidak mampu, serahkan sajalah ke KPK biar KPK. Jadi baik Kejatisu maupun Kejagung harus bergerak cepat menuntaskan kasus ini,” tegasnya.

Muis menekankan bahwa tidak ada alasan apapun selain orientasi penegakan hukum dalam dugaan kasus tersebut. “Kita berharap Kejagung mampu menuntaskan dugaan kasus ini. Kalau perlu lembaga ini konsisten dalam penegakan kasus korupsi. Jika tidak, ya silahkan kasih bolanya ke KPK,” pungkasnya

Pejabat Ketar-ketir Pakai Anggaran
Kencangnya penindakan terhadap pelaku korupsi di jajaran pemerintahan membuat para pejabat ketar-ketir menggunakan anggaran. Akibatnya serapan anggaran di daerah berjalan lambat dan laju pembangunan stagnan. Alhasil, tingkat kesejahteraan dan perekonomian masyarakat tidak berjalan sesuai harapan.

Baru-baru ini, Presiden Joko Widodo di Istana Bogor menyatakan aparat penegak hukum jangan terburu-buru dalam melakukan penindakan hukum. Dimana hal ini dapat mengganggu jalannya roda pemerintahan, dan membuat para pejabat didalamnya tidak nyaman.

Kekhawatiran penggunaan anggaran ini diamini Sekretaris Daerah (Sekda) Sumut Hasban Ritonga. Pihaknya mendukung pernyataan Presiden Jokowi dalam konteks kondusifitas roda pemerintahan.

Dia mengatakan, Indonesia sebagai negara hukum sepatutnya selalu mengedepankan azas praduga tidak bersalah. “Ya memang harus begitu. Harus jelas dalam memilah segala persoalan. Mana yang ruang administrasi murni, mana perbuatan administrasi yang menyebabkan kerugian negara, serta mana yang masuk ruang perdata maupun pidana khusus,” katanya kepada wartawan di Kantor Gubsu, belum lama ini.

Disinggung ada kekhawatiran karena gencarnya penindakan terhadap pejabat pemerintahan, Hasban tak menampik hal tersebut. “Saya kira ada kecenderungan, karenakan kita bergelut dan berproses di administrasi. Jadi kalau ada kealfaan administrasi langsung digiring ke arah pidana atau dikriminalisasi, jelas membuat rasa ketakutan juga,” ungkap mantan Inspektur Provinsi Sumut ini.

Diketahui, saat ini Pemprov Sumut tengah menghadapi persoalan hukum. Pertama soal kasus dugaan suap hakim dan panitera PTUN Medan yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana melibatkan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Gatot Pujo Nugroho dan istri muda Evy Susanti. Kemudian kasus dugaan penyelewengan dana hibah dan bantuan sosial (bansos) Pemprovsu, yang kini didalami Kejaksaan Agung.

“Karena kadang-kadang, seperti dana transfer DAK (dana alokasi khusus), jika belum ada petunjuk teknis yang jelas, tentu para pejabat tidak bisa sembarangan menggunakan dana tersebut,” sambung Hasban.

Menurut dia, dalam konteks ini diperlukan pendampingan dari aparat penegak hukum. Sehingga ke depan tidak ada ketakutan dan kekhawatiran para abdi negara menggunakan anggaran.

“Secara nasional, yang menjadi persoalan adalah dana-dana banyak terendam di perbankan, sehingga tidak mengakibatkan adanya perputaran ekonomi. Harapan kita apa yang diharapkan presiden bisa kita amalkan, jadi kepastian hukum itu pasti,” tukasnya.  (gir/prn)

Exit mobile version