Site icon SumutPos

Hati-hati, Penggarap Bisa Tak Dapat Ganti Rugi Lho

Foto: SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
Pemukiman warga tampak dari atas di Jalan Tj Mulia Medan, Jumat (29/9/2017). Pemukiman tersebut rencananya akan dijadikan jalur layang Tol Medan- Binjai, namun masih terkendala pembebasan lahan.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kengototan warga penggarap meminta 70 persen dari ganti rugi lahan pembangunan ruas tol Medan Binjai, membuat pemerintah jengah. Karenanya, jika tetap tidak ada kata sepakat antara warga dengan pemilik sertifikat tanah, maka proses pembebasan lahan bagi 378 kepala keluarga (KK) akan berakhir di pada keputusan pengadilan.

Hal itu disampaikan Ketua Tim Percepatan Pembangunan Proyek Strategis Nasional di Sumatera Utara (Sumut), Binsar Situmorang kepada Sumut Pos. Menurutnya, sebelumnya sudah ada upaya sosialisasi dan negosiasi soal pembagian ganti rugi kepada warga yang berada di lahan tersebut. Begitu juga dengan pemilik sertifikat lahan yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Terkait adanya keberatan dan protes dari penggarap yang berada di atas lahan tersebut, Binsar menyampaikan, memang ada permintaan pembagian porsi ganti rugi tersebut menjadi 60-40, yakni pemilik sertifikat tanah mendapat bagian lebih kecil. Sedangkan untuk penambahan jumlah, tidak mungkin dilakukan mengingat keterbatasan dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

“Memang masalahnya mereka (penggarap) minta pembagian itu tidak seperti yang disampaikan. Untuk itu kita terus sosialisasikan kepada masyarakat tentang pembagian itu, jadi masih pakai negosiasi dengan pendekatan persuasif,” ujar Binsar, akhir pekan kemarin.

Namun diakuinya, proyek nasional tersebut memiliki target dan batas waktu untuk menuntaskan pekerjaan membangun jalan Tol Medan-Binjai sesuai yang direncanakan. Sehingga jika dengan pendekatan persuasif dilakukan, tidak juga menemui jalan keluar, maka jalan yang diambil adalah melalui pengadilan.

“Untuk pembebasan lahan ini, kita sudah sosialisasi ke tingkat pemerintah kota, kecamatan hingga kepada lurahnya. Jadi yang jelas, dari tim kita sudah sampaikan ke warga,” katanya.

Karena itu lanjutnya, proses eksekusi nantinya akan diambil jika memang tidak ada kata sepakat terkait porsi yang disebutkan sebesar 40 persen untuk penggarap dan 60 persen untuk pemilik sertifikat tanah.

“Ya kalau memang tidak ada juga kesepakatan, dikembalikan ke ranah hukum. Biar lembaga hukum yang memutuskan bagaimana nanti. Karena upaya sosialisasi dan pendekatan persuasif sudah dilakukan. Karena itu urusannya sudah lembaga hukum, bukan kita eksekutornya,” tegasnya.

Gerbang tol Medan-Binjai.

Terpisah, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Pengadaan Tanah Kota Medan pada Dinas PKP2R Kota Medan, Selamet Riadi mengaku, pihaknya tidak pernah dilibatkan dalam pembebasan tanah masyarakat untuk pembangunan Jalan Tol Medan-Binjai. Meski begitu, Selamat menilai persoalan ini sangat pelik dan kompleks.

Pasalnya di sana ada tiga alas hak atau surat tanah yang diklaim masyarakat. Yakni yang berasal dari penggarap, masyarakat pemilik sertifikat hak milik (SHM) dan pemegang surat Grand Sultan. “Yang dilibatkan itu cuma camat, lurah, dan kepala lingkungan setempat saja. Sama satu lagi orang Dinas Perkim dulu untuk masalah pembangunannya,” ujar Selamet Riadi kepada Sumut Pos, Minggu (1/10).

Pihaknya hanya sekadar ikut serta ada rapat-rapat koordinasi saja. Namun untuk rincian kegiatan pelaksanaan pembangunan, sama sekai tidak dilibatkan. “Termasuk soal appraisalnya kami pun tidak terlibat. Dan memang masalahnya pelik. Saat saya komunikasi dengan pihak BPN Medan tempo hari, ada tiga surat di situ. Surat penggarapan, SHM, dan grand sultan,” ungkapnya.

Selamet mengungkapkan, pernah ada datang kuasa hukum dari penggarap kepada mereka mengenai ini, namun langsung mereka arahkan ke BPN Kota Medan. “Kami sudah jelaskan, untuk pelaksanaannya kami tidak dilibatkan. Makanya kami minta tanya langsung ke BPN, karena mereka langsung yang tangani,” katanya.

Melihat peliknya persoalan pembebasan tanah di wilayah Tanjungmulia Hilir itu, pihaknya pun menyarankan memakai cara konsinyasi ke pengadilan. “Ya, kami pikir solusinya di pengadilan saja melalui konsinyasi. Biar antara penggarap dan pemilik sertifikat bertemu di sana, habis gak ada yang mau mengalah,” sebutnya.

Sebelumnya, lanjut Selamet, penggarap meminta pembagian ganti rugi lahan sebesar 60 persen. Namun perkembangan yang terjadi, kini mereka meminta sebesar 70 persen. “Kan aneh sekali mereka meminta lebih tinggi dibanding yang pegang SHM. Masalah ini pelik makanya di-konsinyasi saja ke pengadilan,” katanya.

Dengan demikian, melalui cara konsinyasi realisasi pembangunan jalan tol Medan-Binjai bisa berjalan terus sesuai target yang telah ditetapkan. “Jangan sampai menghambatlah. Apalagi tahun ini juga harus selesai (pembangunannya),” pungkasnya. (bal/prn/rul/adz)

Exit mobile version