Site icon SumutPos

Bangun Jembatan Samosir, Bersihkan Keramba Apung

Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS Keramba Jaring Apung (KJA) ikan di perairan Danau Toba, dianggap mencemari air danau.
Foto: TRIADI WIBOWO/SUMUT POS
Keramba Jaring Apung (KJA) ikan di perairan Danau Toba, dianggap mencemari air danau.

Pemerintah berencana membangun jembatan yang mengakses ke Pulau Samosir, yang letaknya di tengah Danau Toba. Targetnya, pembangunan konstruksi jembatan mulai tahun depan, termasuk perbaikan pelabuhan penyeberangan.

—————————

 

Hanya saja, DPR tidak akan langsung memberikan persetujuan untuk pengalokasian anggarannya. Anggota Komisi V DPR Anton Sihombing mengatakan, pembangunan jembatan dimaksud belum termasuk dalam skala prioritas.

 

Sikap DPR, lanjut Anton, masih menunggu kinerja Badan Otorita Danau Toba. “Kita lihat dulu nanti bagaimana kinerja Badan Otorita Danau Toba,” ujar Anton kepada Sumut Pos di Jakarta, kemarin (2/5).

 

Politikus Partai Golkar itu mengatakan, jika kinerja BDOT bagus, yang ditandai dengan banyaknya wisatawan mancanegara yang datang ke Danau Toba, barulah DPR akan memberikan dukungan penuh.

 

“Kalau sudah banyak turis asing yang datang, barulah memikirkan jembatan ke Pulau Samosir. Untuk saat ini, dana harus diprioritaskan untuk sarana dan prasarana yang mendasar dulu,” ujar Anton.

 

Sebelumnya, Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Kementerian Koordinator Maritim dan Sumber Daya Ridwan Djamaluddin pernah menyampaikan, jembatan dan kanal yang mengakses ke Pulau Samosir masuk skala prioritas.

 

Design engineering harus rampung dan konstruksi mulai tahun depan termasuk perbaikan pelabuhan penyeberangan,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

 

Dikatakan, keberadaan jembatan, kanal, dan pelabuhan penyebrangan sangat dibutuhkan agar setiap saat masyarakat dapat ke Pulau Samosir. Hal ini, lanjutnya, bisa membantu mendongkrak perekonomian masyarakat karena tersambungnya aksesibilitas langsung antara kedua pulau, yakni Pulau Sumatera dengan Pulau Samosir.

 

“Seperti antara Pulau Jawa dan Madura yang dihubungkan oleh jembatan Suramadu,” ujarnya.

 

Sementara, keberadaan Keramba Jaring Apung (KJA) di perairan Danau Toba masih menjadi salah satu persoalan yang belum memiliki jalan keluar. Selama masih ada KJA, maka air Danau Toba akan terus tercemari.

 

Sekretaris Komisi B DPRD Sumut, Aripay Tambunan mengatakan, pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada perusahaan KJA yang ada di Danau Toba. Bahkan, pihaknya terjun langsung ke perusahaan-perusahaan besar pemiliki KJA seperti Aqua Farm, Japfa Suritani, serta Alegrindo, pekan lalu. Dalam kesempatan itu, Aripay mengatakan, DPRD Sumut menawarkan solusi kepada perusahaan yakni relokasi.

 

Kata dia, ada tiga danau yang menjadi alternatif sebagai tempat relokasi perusahaan KJA agar usahanya dapat tetap hidup, satu diantaranya Danau Lau Kawar di Kabupaten Karo.

 

“Ada tiga danau yang kami tawarkan sebagai tempat relokasi, Danau Lau Kawar salah satunya, dua lagi saya lupa. Tapi ini masih tawaran atau solusi yang diberikan kepada perusahaan,” ujar Aripay kepada wartawan, Minggu (1/5).

Menurutnya, perusahaan tersebut perlu menyiapkan langkah-langkah terkait usulan relokasi yang ditawarkan. Sebab, tahun depan seluruh perusahaan-perusahaan KJA harus meninggalkan Danau Toba agar program pengembangan melalui Badan Otorita Danau Toba (BDOT) dapat berjalan mulus.

 

Bukan hanya itu, apa yang disampaikan Komisi B juga sudah sesuai arahan dari Menko Maritim SDA, Rizal Ramli beberapa waktu lalu.

 

“Perusahaan KJA juga masih terlihat bingung, makanya kami datang menyampaikan solusi. Terhadap tawaran yang kami sampaikan dilakukan studi kelayakan, ini masih saran, apa pilihan selanjutnya kita lihat nanti,” beber politisi PAN ini.

 

Guna mensukseskan program BDOT, kata dia, peran masyarakat yang selama ini bermukim di sekitar Danau Toba perlu ditingkatkan. Masyarakat juga perlu diberitahukan manfaat dari pengembangan wisata Danau Toba.

 

“Mustahil program BDOT akan berhasil kalau masyarakat tidak dilibatkan,” akunya.

Anggota Komisi C DPRD Sumut, Sutrisno Pangaribuan menambahkan, pengembangan wisata Danau Toba dapat menimbulkan banyak manfaat bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) khususnya dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

 

Bukan hanya itu, perekonomian masyarakat sekitar juga akan tumbuh seiring banyaknya masuk wisatawan ke danau toba. Sehingga ketika ekonomi riil tumbuh maka beban pemerintah akan berkurang.

 

“Dari sektor perizinan, seperti izin investasi dalam dan luar negeri.  Pajak dan retribusi daerah juga akan naik,” kata Sutrisno.

 

Ketika investasi bidang properti di kawasan Danau Toba meningkat khususnya pembangunan hotel maka akan semakin banyak penggunaan air permukaan. “Pajak air permukaan juga akan ditarik Pemprovsu,” tutur Politisi PDIP ini.

 

Terpisah, warga sekitar Danau Toba yang memiliki usaha peternakan ikan (fish farming) dengan menggunakan KJA siap alih profesi. Hanya saja, mereka harus mendapatkan modal awal untuk usaha baru dari pemerintah, termasuk pendampingan. Demikian kesimpulan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), berdasar hasil perbincangan salah satu aktivisnya, Johannes Silalahi, dengan sejumlah warga pemilik KJA.

 

Boy Tonggor Siahaan dari YPDT dalam publikasinya menjelaskan, memang warga pemilik KJA dihadapkan pada pilihan sulit, yakni antara mempertahankan mata pencaharian yang menopang hidup keluarga mereka dan melestarikan lingkungan hidup di Danau Toba.

 

“Mereka mengakui, KJA mencemari lingkungan perairan Danau Toba, tetapi di sisi lain mereka juga mengakui keramba dapat meningkatkan pendapatan dan menampung tenaga kerja,” terang Boy Tonggor, menjelaskan hasil investigasi Johannes Silalahi.

 

Dijelaskan, Johannes pada Selasa (26/4), menemui sejumlah warga, antara lain di salah satu lapo di Silalahi Nabolak. Dari hasil perbincangan disimpulkan juga, pada awal memulai usaha itu, warga belum menyadari kalau KJA dapat mencemari lingkungan perairan Danau Toba.

 

“Namun ketika mereka sadar sudah makin jelas melihat bahwa KJA memang mencemari Danau Toba, mereka bingung harus bagaimana. Apakah mereka harus meninggalkan usaha KJA tersebut yang jelas-jelas menopang mata pencarian mereka untuk keluarga atau tetap mempertahankan usaha KJA sementara Danau Toba terus-menerus tercemar karena pelet ikan yang berkontribusi besar merusak kejernihan air Danau Toba,” tukasnya.

Warga, menurut dia, ternyata juga tidak tahu bahwa ada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup. Begitu pun tentang aturan sejenis, baik berbentuk Perpres, Pergub, dan Perda Kabupaten).

 

“Bahkan menurut mereka, petugas kabupaten terkait pun belum pernah melarang usaha keramba. Belum ada sosialisasi untung-rugi keramba,” ujar Boy.

 

Dikatakan Boy, secara umum warga mau keramba dihentikan dengan solusi kompensasi usaha yang dapat mempertahankan pendapatan mereka tanpa merusak lingkungan, dengan modal awal dan pendampingan pemerintah.

 

“Tuntutan mereka cukup wajar. Peran pemerintah daerah sangat penting membantu mereka dalam mencari solusi tersebut,” tukas Boy.

 

Diketahui, YPDT merupakan komunitas warga Batak di Jakarta yang memberikan perhatian serius terhadap upaya kelestarian Danau Toba, termasuk menjadikannya sebagai kawasan wisata yang bisa diandalkan. Tidak hanya diskusi, mereka juga melakukan aksi-aksi nyata di lapangan.

 

Mereka juga menyoroti keramba jaring apung (KJA) yang semakin banyak jumlahnya di Danau Toba. Disebutkan, KJA itu  sudah jelas melanggar UU RI No. 23 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi UU RI No. 32 Tahun 2009  tentang Perlindungan dan Pengelolan Lingkungan Hidup.

 

“KJA tersebut sangat jelas telah menyebabkan pencemaran Danau Toba sebagaimana dinyatakan dalam UU RI No. 32 Tahun 2009, khususnya Pasal 1 angka 14 sampai dengan 17,” ujar Sandi Ebenezer Situngkir, Ketua Departemen Hukum dan Agraria YPDT, seperti dalam keterangan yang dipublikasikan lewat situs yang mereka kelola. (dik/sam/adz/val)

Exit mobile version