Site icon SumutPos

Lagi, FK UISU Temukan Cacing Pita Sepanjang 10,5 Meter

Foto: Parlindungan/Sumut Pos
Tim Peneliti Fakultas Kedokteran UISU menemukan cacing pita jenis Taeniasis Saginata Asiatica sepanjang 10,5 meter dari perut Kalekson Saragih, warga Negeri Mariring, Silau Kahean, Simalungun. Ini menjadi rekor bagi para peneliti FK UISU yang dipimpin Dr Umar Zein, setelah sebelumnya mereka menemukan cacing pita sepanjang 2,8 meter dari perut seorang warga Simalungun juga, Kamis (2/11).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Tim Peneliti Fakultas Kedokteran UISU menemukan cacing pita jenis Taeniasis Saginata Asiatica sepanjang 10,5 meter dari perut Kalekson Saragih (64), warga Negeri Mariring, Silau Kahean, Simalungun. Ini menjadi rekor bagi para peneliti FK UISU yang dipimpin Dr Umar Zein, karena sebelumnya mereka juga menemukan cacing pita sepanjang 2,8 meter dari perut seorang warga Simalungun juga.

Menyikapi temuan cacing pita sepanjang 2,8 Meter pada 21 September 2017 lalu, Tim Peneliti Fakultas Kedokteran UISU kembali pergi ke Desa Nagori Dolok, Silau Kahaean, Simalungun. Mereka ke sana untuk memberikan pengobatan lanjutan kepada mereka yang suspect Taeniasis. Namun hasilnya, tim peneliti menemukan kembali cacing pita berukuran 10,5 meter dari perut seorang warga.

“Kita menduga ada perbedaan morfologi dengan yang ditemukan di negara lain. Dugaan kita, spesies ini baru dan khusus untuk daerah Sumatera Utara, khususnya Simalungun,” kata Kepala Tim Peneliti FK UISU, dr Umar Zein kepada wartawan, Kamis (2/11).

Lebih lanjut, dikatakan Umar, penemuan tersebut pertama di dunia. Karena, selain panjang cacing pita, juga jumlah penderita terbanyak ditemukan dalam waktu yang singkat. Dikatakan Umar, perlu dilakukan upaya pencegahan oleh lintas sektor seperti Dinas Kesehatan, peternakan, lingkungan serta sosial dan budaya, meskipun penyakit tersebut tidak menyebabkan kematian. Terlebih, sejauh ini belum ada obat yang disediakan.

“Obatnya dari kita, beli sendiri. Sudah kita laporkan ke dinas lalu dinas melaporkan ke Kemenkes, nggak ada obatnya katanya. Jadi kita beli dari Luar Negeri. Untuk haganya Rp100 ribu pertablet, ogkosnya yang mahal,” ungkap mantan Kadis Kesehatan Kota Medan ini.

Disinggung berapa jumlah orang yang diberi obat praziquatel, menurut Umar masih 100 orang. Namun, diperkirakan masih sangat banyak yang menderita penyakit itu, khususnya di Desa Nagari Dolok, Silau Kahaean, Simalungun. Makanya Umar mengaku serba sulit, karena kalau masyarakat banyak yang datang dan tidak bisa ditangani, masyarakat malah komplain.

“Kita tidak ada bantuan dari pemerintah. Kami dari Perguruan Tinggi, Fakultas Kedokteran sudah melaksanakan tugas sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Kita sudah MoU dengan Dinas Kesehatan Simalungun dan juga sudah kita lapor ke Dinas Kesehatan Provinsi. Kalau masalah bagaimana penanganannya dari segi kesehatan masyarakat khususnya, tentu sikap pemerintah yang memberikan penjelasan. Kita hanya penjelasan scientifiknya saja, bahwasanya ada daerah endemik di Sumut dan ini termasuk sangat banyak, ” lanjutnya.

Disinggung apakah ada obat yang mereka tinggal di Simalungun, Umar Zein mengaku tidak ada. Hal itu karena pemberian obat harus selektif dan diagnosanya benar-benar, karena paraziquantel bukan obat cacing biasa. Selain itu, karena belum tersedia, untuk berjaga bilamana ada kasus yang benar-benar membutuhkan.

” Berdasar teori yang saya baca, cacing ini bisa hidup di usus manusia hingga 35 tahun dengan panjangnya bisa mencapai 15 Meter lebih, ” ungkap Umar.

Pembantu Dekan II Fakultas Kedokteran UISU, dr Indra Janis MKT menyatakan, ini bukan siapa duluan atau perlombaan penemuan cacing terpanjang akan tetapi penemuannya memang terpanjang, tapi lebih kepada pengobatan. “Memang ini merupakan rekor bagi para peneliti FK UISU yang dipimpin Dr Umar Zein, ” ungkap Indra.

Indra mengatakan, dari hasil penemuan cacing pertama dengan kedua ada ditemukan perbedaan dalam morfologinya. Lanjutnya lagi Fakultas Kedokteran UISU dalam hal ini mendukung tim peneliti untuk melakukan penelitian secara Biologi Monokuler. Karena jenis cacing pita mungkin berbeda spesiesnya dengan negara lainnya yang pernah ditemukan. Artinya mungkin dari peneliti katanya bahwa jenis cacing pita kedua ini berjenis Taenia Asiatica Simalungun, dan itu mudah-mudahan itu dapat kita buktikan.” Sehingga apabila dari hasil penelitian tersebut menjelaskan ada kecocokan maka FK UISU lah yang pertama menemukan jenis cacing pita tersebut, ” ujar Indra mengakhiri.

Sementara Kalekson Saragih mengaku sangat berterimakasih dengan bantuan obat dari Tim Peneliti FK UISU. Dia mengaku menderita selama 25 tahun, karena tidak kunjung menemukan obat untuk sakitnya. Disebutnya, sebelum cacing vita sepanjang 10,5 meter keluar dari perutnya, dia sering sakit perut, cepat lelah dan juga pandangannya berkurang. Sementara setelah cacing vita berhasil keluar, diakuinya dirinya merasa lebih baik.

Menyikapi hal tersebut, Kasi P2PM Dinas Kesehatan Sumut, dr Yulia Mariani MKes mengatakan pihaknya juga mendukung penelitian itu karena dilakukan oleh ahlinya. Disebutnya pihaknya harus kordinasi dengan pusat, untuk pengobatan. Diakuinya selama ini tidak ada dianggarkan obat taeniasis ke Sumatera Utara karena tidak pernah ditemukan kasus karena paling sering ditemukan kasus di daerah Sulawesi.

“ Dengan sudah adanya penemuan ini, sudah bisa kita menganggarkan obat. Jadi tidak ada lagi terkendala untuk pengobatan cacing pita. Selain itu, kita akan mintakan nanti Dinas Peternakan juga karena ini berkaitan dengan hewan, untuk ditinjau, mulai dari kebersihan sampai layak atau tidak dikonsumsi, “ ujar dr Yulia.

Selain itu, dr Yulia juga mengimbau masyarakat Desa Nagari Dolok, Silau Kahaean, Simalungun untuk menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan. Dikatakannya, hal itu juga untuk mengantisipasi penularan, mengingat penyakit itu berasal dari hewan yang dapat bergerak dan berpindah. Bahkan, dengan kondisi itu, dikatakannya bisa saja kasus itu akan meningkat di Sumatera Utara.

“ Kalau kita sebut ini Kejadian Luar Biasa atau KLB, saya tidak berani bilang. Itu yang boleh menyatakan, Bupati, Walikota atau Gubernur. Nggak sembarang untuk menetapkan KLB, “ tandasnya.

Sementara Kasi Survelen dan Imunisasi Dinkes Simalungun, Jandre Perman Sipayung mengaku pihaknya menunggu arahan Dinkes Sumut. Namun, dengan ditemukannya kasus ini, diakuinya pihaknya akan menggalakkan penyuluhan hidup bersih dan sehat. Dijelaskannya, di Simalungun memang ada kebiasaan masyarakat mengkonsumsi Nani Holat semacam dari kulit kayu dibuat untuk pematangan daging atau daging tidak dimasak sempurna lalu dikonsumsi masyarakat.  Begitu juga dengan mengkonsumsi Hinasumba yang menggunakan kulit kayu juga yang nama kulit kayunya Sikkam yang pemasakannya kurang sempurna juga lalu dikonsumsi masyarakat. Diakuinya, secara teoritis, hal itu  memang bisa menimbulkan penyakit.

“ Kita sebatas menghimbau, karena itu kultur yang sudah melekat di masayarakat. Itu katanya terutama dari Babi. Jadi kita akan himbau masyarakat untuk mengkandangkan babi, agar tidak menularkan, “ ujar Jandre singkat. (ain/adz)

Exit mobile version