Site icon SumutPos

Bocah Pria juga Rawan jadi Pelaku

Anak korban gay-Ilustrasi.
Anak korban gay-Ilustrasi.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Bocah pria ternyata tak hanya rawan menjadi korban kejahatan seksual, tapi juga rentan menjadi pelakunya. Hal itu mengingat kejahatan seksual yang dialami bocah pria, melalui proses penetrasi dan dampaknya bertahap sehingga bertahan lama dan lebih berbahaya.

“Pelaku biasanya melakukan kejahatan seksual terhadap bocah laki-laki, dengan cara bertahap. Dengan begitu, si anak merasa kalau apa yang dialaminya adalah hal biasa. Terlebih apabila dibiasakan, si anak jadi menganggap hal itu memang biasa,” kata psikolog Dra Irna Minauli MSi ketika diwawancarai Sumut Pos, Senin (3/10).

Lebih lanjut, disebut Irna, kalau kebiasaan itu perlahan membuat anak berfantasi. Dengan begitu, Irna menyebut kalau perlahan si anak yang telah menjadi korban kejahatan seksual, menjadi menikmatinya. Dengan begitu, Irna menilai jika beberapa tahun ke depan, si anak yang sudah menikmati, akan mencari tempat melampiaskan kenikmatan yang sudah dirasakannya dan diinginkannya.

Selain itu, jika rawannya bocah laki-laki yang menjadi korban akan menjadi pelaku, juga karena seringnya penanganan psikologi yang tidak tepat. Disebut Irna, penanganan psikologi yang tidak tepat itu diantaranya tidak adanya pemeriksaan psikologi secara berkala terhadap anak yang menjadi korban kejahatan seksual.

Disebut Irna, seharusnya bocah laki-laki yang sudah menjadi korban kejahatan seksual, aktif diperiksa secara psikologis, untuk mengetahui perkembangan psiksisnya.“Pergolakan yang terjadi dalam diri si anak, membuat konflik dengan dirinya sendiri yang akhirnya membuat si anak menganalisis sendiri, bila tidak ada pengawasan dan pemeriksaan psikologi bagi si anak. Akhirnya, muncul mekanisme dalam diri anak untuk membalas dendam, “ beber Irna.

Oleh karena itu, Irna menyebutkan kalau peran orang tua sangat penting dalam mengawasi bocah laki-laki. Menurutnya, kepekaan orang tua terhadap anak lelakinya lebih rendah dari kepekaan terhadap bocah perempuan. Bahkan, disebut Irna jika tidak jarang sinyal permintaan tolong dari bocah laki-laki, tidak terbaca oleh orang tua. Terlebih, disebut Irna masih ada orang tua yang beranggapan kejahatan seksual tidak akan dialami oleh bocah laki-lakinya.

“Apalagi bila bicara orang dekat. Orang tua sering berpikir tidak mungkin paman atau omnya melakukan kejahatan seksual pada anaknya. Terlebih bila anaknya laki-laki. Padahal memang benar kalau kejahatan seksual itu lebih banyak dialami bocah laki-laki dan dilakukan orang dekat, “ lanjut Irna.

Irna menambahkan, prilaku orang tua yang bangga dengan foto anak bayinya bugil dan membiarkan bocah laki-laki bugil, misalnya saat momen berenang, sangatlah tidak baik. Terlebih bila foto yang menunjukkan kebugilan bocah ditambah status keberadaan, disebut Irna sangat tidak baik, bahkan berbahaya. Dikatakan Irna, hal itu memancing kejahatan seksual.

“Bagi orang normal, hal tersebut akan menjadi hal yang lucu. Namun, bagi predator seksual dan fedofilia, hal itu menjadi perangsang mereka untuk memangsa,” sambungnya.

Disinggung soal wacana Penerbitan Peraturan Pemerintah soal Pendidik dan orang tua wajib mengajarkan soal pendidikan reproduksi dan kejahatan seksual, Direktur Minauli Consulting itu mengaku sangat setuju. Bahkan, Irna mengaku jika dirinya bersama beberapa Lembaga Perlindungan Anak, juga sudah beberapa kali menggelar kegiatan pendidikan kejahatan seksual pada anak. Disebut Irna, dalam kegiatan itu, pihaknya mengajarkan anak-anak, mulai dari oragan tubuh yang tidak boleh dipegang orang lain, sampai pada waspada atas bujukan dan rayuan orang.

“Dulu saya sebelum pergi sekolah, sering ke Kuburan Belanda dekat rumah saya. Di tempat itu sangat sepi. Namun saya tidak merasa takut dan tidak terjadi apa-apa. Berarti betapa amannya dulu. Kalau sekarang, betapa khwatirnya saya jika kebiasaan saya itu dilakukan anak saya,” tandas Irna.

Sebelumnya, Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Pribudiarta Nur Sitepu mengungkapkan fakta mengejutkan. Ternyata, anak laki-laki lebih rentan mendapat kekerasan seksual dibanding anak perempuan. Jarang melapor, menjadi salah satu alasan fakta tersebut tak terungkap.

Mengintip data penelitian KPPA bersama BPS dan Kementerian Sosial, ternyata 8,5 persen anak laki-laki dari 87 juta anak di Indonesia menjadi korban kejahatan seksual. Jumlah ini lebih besar dua kali lipat dibanding dengan anak perempuan yang menjadi korban. Data tersebut diperoleh dari penelitian pada 2013 silam.

”Kekerasan seksual terhadap anak laki-laki lebih banyak. Sekitar 900 ribu anak,” ungkapnya di Jakarta, Mingu (2/10).

Meski banyak terjadi, faktanya tak banyak diketahui. Sebab, kejahatan seksual terhadap anak laki-laki ini jarang sekali terungkap atau dilaporkan pada pihak berwajib. Berbeda dengan kasus yang terjadi pada anak perempuan yang lebih sering dilaporkan.

Tertutupnya kasus kekerasan pada anak laki-laki, menuruutnya, terjadi karena anggapan masyarakat soal karakter laki-laki itu sendiri. Seperti maskulin, macho dan sebagainya. Sehingga, jika seorang laki-laki menangis, mengadu, atau merengek akan menjadi tabu.

”Alhasil anggapan itu yang membuat mereka bungkam, baik pada orang tuanya maupun pihak berwajib,” papar pria yang akrab disapa Pri itu.

Hal itu tentu mengkhawatirkan. Sebab, ancaman bisa saja datang kembali. Dan paling buruk justru mengenai kondisi psikologis anak sendiri. Oleh sebab itu, pemerintah terus berupaya menggandeng semua pihak untuk bisa aware dengan lingkungan terlebih anggota keluarga sendiri.

Salah satu cara yang tengah disusun adalah penerbitan Peraturan pemerintah (PP) tentang perlindungan khusus anak terhadap kejahatan seksual. Pri menjelaskan, PP ini merupakan turunan dari UU Perlindungan anak 2014. Dalam aturan yang tengah digodok itu, akan ada aturan soal kewajiban dari pendidik dan orang tua untuk mengajarkan pada anak soal pendidikan reproduksi dan kejahatan seksual.

”Jadi nanti kita buatkan modulnya. Ada tiga jenis, untuk dibagikan ke guru, orangtua dan anak,” ungkapnya.

Dia mencontohkan, modul untuk anak usia remaja misalnya. Ditunjukkan cara melindungi diri dari rayuan-rayuan yang menjerumus pada kejahatan seksual. Selain itu, diberikan pula gambaran soal dampak-dampak dari kejadian tersebut.

”Beda umur, tentu beda lagi isinya. Untuk umur yang lebih muda tentu lebih banyak gambar. Misal, ciri-ciri orang yang ingin berbuat jahat. Menjaga organ tubuh mana yang tak boleh disentuh orang lain,” paparnya.

Modul ini juga nantinya diwajibkan diajarkan di sekolah. Kewajiban ini diatur dalam PP yang diagendakan rampung pada akhir 2016 nanti. Dengan begitu, diharapkan semua pihak bisa bersama-sama membekali anak-anak dan menjaga mereka dari serangan predator seksual. (ain/adz)

Exit mobile version