Site icon SumutPos

Komnas PA: Medan Sarang Pekerja Anak!

Foto: Riadi/PM Sri Muliati, dipeluk ayah kandungnya, yang menemukannya jadi pembantu di  Perumahan Grand Polonia Medan, Senin (2/3/2015).
Foto: Riadi/PM
Sri Muliati, dipeluk ayah kandungnya, yang menemukannya jadi pembantu di Perumahan Grand Polonia Medan, Senin (2/3/2015).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, menegaskan Sumatera Utara, masuk kategori daerah darurat kekerasan terhadap anak. Predikat semakin dikuatkan dengan kembali terungkapnya kasus Sri Muliati (19).

Anak di bawah umur asal Garut, Jawa Barat, itu bahkan telah dipekerjakan sejak enam tahun lalu (saat itu usianya 13 tahun), di sebuah rumah di Kompleks Grand Polonia.

“Apa yang terjadi mengulang kembali kejadian yang sebelumnya. Sebulan lalu tiga anak dari Depok dipekerjakan di Bukit Maharaja (sebagai pekerja seks komersial, red). Belum lagi kasus puluhan anak dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang dipekerjakan di sarang burung walet beberapa waktu lalu, yang sampai ada meninggal,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (4/3).

Arist mendasari pandangannya, karena dari catatan yang ia miliki, setidaknya di tahun 2014 saja, terdapat 94 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Sumut. Itu belum termasuk dugaan kekerasan yang dimiliki lembaga lain, maupun yang hingga saat ini belum terungkap. Namun sayangnya dalam hal ini hanya sebagian kecil yang ditangani hingga tuntas oleh aparat hukum.

Padahal anak-anak tersebut tidak saja dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga maupun industri, namun yang terbesar justru dijadikan kurir narkoba maupun pekerja seks komersial. “Sangat menguntungkan sekali (memekerjakan anak,red) di Medan. Apalagi bisnis narkoba dan prostitusi, itu Medan sarangnya. Jadi tidak hanya menjadi daerah transit saja, Medan itu juga menjadi daerah tujuan,” katanya.

Karena itulah Arist kembali mengungkapkan pandangannya, kalau Medan daerah darurat kekerasan terhadap anak. Apalagi dari segi penegakan hukum, juga seperti tidak jelas. “Saya protes keras terhadap Polresta Medan, yang terkesan setengah hati menangani kasus-kasus yang terjadi. Sampai sekarang contohnya, enggak jelas proses penegakan hukum terhadap pengusaha yang memekerjakan anak di sarang burung walet itu. Padahal sampai ada beberapa yang meninggal dunia. Saya agak kecewa dengan Pak Niko (Kapolresta Medan Kombes Pol Nico Afinta Karo-Karo,red),” katanya.

Arist mengingatkan kepolisian, bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, pengusaha yang memekerjakan Sri Muliati diancam dengan pasal pidana dengan hukuman maksimal penjara sepuluh tahun. Sementara terhadap pihak-pihak yang membawa Sri Muliati ke Medan, dapat dikenakan sanksi perdagangan manusia.

“Ini yang saya katakan penegakan hukum. Saya rindu sekali Polresta Medan maupun dan Polda Sumut memrioritaskan kasus-kasus seperti itu. Tapi ini kasus memekerjakan anak di sarang burng walet itu saja enggak jelas proses hukumnya sampai mana,” katanya.

Padahal dari beberapa kasus yang ditangani Komnas Anak, sejumlah pengusaha yang memekerjakan anak misalnya seperti di Tangerang-Banten, pengusaha pabrik panci dijatuhi sanksi pidana penjara selama delapan tahun.

“Tapi di Medan saya belum pernah mendengar hal tersebut. Apalagi bagi pengusaha yang hanya memekerjakannya sebagai pembantu rumah tangga. Ini yang perlu kita ingatkan, penegakan hukum hangan transaksional. Dalam kasus ini (Sri Muliati, red) saya kira teman-teman (lembaga yang menangani kasus Sri,red) jangan tinggal diam. Bisa menghantar anak tersebut melaporkannya ke polisi,” katanya.

Setelah melapor, Arist berharap teman-teman yang mendampingi dapat terus memantau perkembangan kasusnya. Sehingga hal-hal yang tak diinginkan bagi proses penegakan hukum, tidak terabaikan.

“Kalau setelah dilapor kepolisian tidak menangani, dapat dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi. Dapat dilaporkan ke Propam, atas dugaan tidak melakukan penyelamatan terhadap anak. Itu diatur dalam Pasal 77 UU Perlindungan Anak. Ini pemahaman saya, ini kan kejahatan,” katanya.

Terpisah, Edi Syahputra Hasibuan, Komisioner Kompolnas menegaskan agar Poldasu tangani kasus secara profesional. “Siapa saja yang terlibat memperkerjakan tenaga kerja di bawah umur tentu harus diproses. Poldasu harus profesional,” tegasnya.

“Kalau ada indikasi pelanggaran, kita minta Kapoldasu untuk rekomendasikan kepada Disnaker agar izin jasa tenaga kerja itu dicabut. Soal majikannya, proses hukum harus terus dilaksanakan, karena kita tidak mau ada anak di bawah umur yang dipekerjakan. Kalau korban sudah melapor, kita tunggu saja hasilnya,” ucapnya.

Soal Polresta Medan yang terkesan ‘dingin’ terhadap laporan keluarga korban, Edi mengatakan belum tahu apakah saat melapor, persyaratan yang diminta sudah ada atau belum. “Kalau belum ada, tentu harus dilengkapi, tapi kalau sudah lengkap, tidak diterima juga, itu namanya keterlaluan. “Nanti kami cek ke Poldasu, karena itu jajarannya,” pungkasya.(gir/gib/trg)

Exit mobile version