Site icon SumutPos

Jangan Bernasib Seperti Bus Trans Mebidang

Sutan Siregar/SUMUT POS
Bus trans Medan, Binjai dan Deliserdang (Mebidang) melintas disamping halte Jalan Gatot Subroto Medan.  Transportasi ini sepi penumpang karena kurang diminati.

SUMUTPOS.CO – Proyek infrastruktur Bus Rapid Transport (BRT) dan Light Rail Transit (LRT) yang akan dibangun di Kota Medan, diharapkan jangan sampai bernasib seperti Bus Trans Mebidang (Medan, Binjai dan Deliserdang). Pasalnya, bus tersebut sepi penumpang karena kurang diminati masyarakat.

Ketua Organisasi Angkutan Daerah (Organda) Kota Medan, Mont Gomery Munthe mengatakan, rancangan yang dibuat dalam proyek ini harus benar-benar dikaji secara mendalam atau matang. Sebab, kalau tidak demikian khawatir nasibnya sama seperti Bus Trans Mebidang.

“Saat ini masyarakat Medan sudah membutuhkan moda transportasi massal yang murah, aman dan nyaman. Kami setuju dan mendukung proyek ini tapi dengan beberapa catatan dikaji secara mendalam agar tidak bernasib seperti Bus Trans Mebidang,” kata dia.

Gomery mengaku, dalam proyek ini, pihaknya dilibatkan. Lain halnya ketika proyek Mebidang digarap, Organda selaku mitra pemerintah dalam bidang transportasi malah tidak diikutsertakan.

“Kami akan menyampaikan beberapa usulan, di antaranya tentang jenis bus dan rute yang akan digunakan. Jenis busnya jangan seperti bus Trans Mebidang yang besar, karena hanya akan menambah kemacetan atau tidak efektif. Lebih baik menggunakan bus yang lebih kecil,” tuturnya.

Selain itu, lanjut dia, diharapkan juga agar sopir BRT yang direkrut dari angkutan umum konvensional. Kemudian, jumlah armada bus harus dibatasi. Artinya, jangan sampai jumlah bus lebih banyak daripada penumpangnya.”Dengan begitu, angkutan umum konvensional tetap bisa bersaing. Tak hanya itu, pengusaha yang dipakai harus berasal dari Kota Medan,” sebutnya.

Lebih lanjut Gomery mengatakan, dalam proyek ini Pemko Medan harus mempersiapkan infrastruktur terlebih dahulu, seperti halte dan koridor. Jangan sampai seperti bus Trans Mebidang, naik turun penumpang tidak sesuai halte. Jadi, BRT nanti tidak boleh seperti itu.”Ada satu permintaan lagi dari Organda, agar melibatkan pengusaha angkutan yang ada di dalam organisasi ketika pengadaan bus. Sebab, di Organda banyak pengusaha bus. “Kalau bisa pengusaha lokal yang diberdayakan,” pintanya.

Ketua Komisi D DPRD Medan Parlaungan Simangunsong mengungkapkan, pembangunan LRT dan BRT tersebut harus melalui perencanaan yang matang. Dengan kata lain, harus disusun melalui skema perencanaan yang mendalam.

Menurut wakil rakyat dari Fraksi Partai Demokrat ini, khusus pembangunan BRT tentu membutuhkan pelebaran jalan terlebih dahulu karena nantinya ada jalur khusus untuk kendaraan itu. Melihat kondisi jalan Kota Medan saat ini, lanjutnya, maka tidak memungkinkan adanya jalur BRT. Oleh sebab itu, pembebasan lahan perlu dipikirkan lantaran hal ini selalu menjadi kendala utama dalam pengembangan infrastruktur.

“BRT ini kan butuh jalan khusus seperti busway di Jakarta. Artinya, butuh pelebaran jalan yang harus dilakukan. Makanya, pembebasan lahan sepertinya akan menjadi kendala. Untuk itu, pembebasan lahan masyarakat yang terkena proyek ini ditawarkan ganti rugi dua kali lipat sehingga kemungkinan tidak ada penolakan. Setelah itu, baru bisa dikonsep pembangunannya,” ungkap dia.

Hal senada disampaikan Anggota Komisi D DPRD Kota Medan, Godfried Effendi Lubis. Menurutnya, walaupun program ini ditujukan untuk mengurai kemacetan namun belum tentu diminati masyarakat. “Seharusnya pemerintah memaksimalkan yang ada terlebih dahulu dalam mengurai kemacetan. Contohnya, pembangunnan jalur underpass yang sudah direncanakan Pemko Medan di kawasan Titi Kuning. Tapi sayangnya, sampai sekarang belum juga tuntas,” ujarnya.

Tak jauh beda dikemukakan Anggota Komisi B DPRD Medan H Jumadi. Ia mengungkapkan konsepnya harus dikaji matang sehingga tidak menjadi proyek mubazir. Apalagi, membutuhkan biaya yang cukup besar dan jangan sampai anggarannya terbuang sia-sia jika kajiannya tidak matang.”Pemko Medan tidak sekadar latah untuk mengikuti Jakarta. Harusnya program transportasi darat saja dulu dimaksimalkan. Soalnya, yang ada saja belum maksimal,” cetusnya.

Jumadi menilai, masyarakat Kota Medan belum sepenuhnya membutuhkan moda transportasi massal seperti BRT atau LRT. Hal ini berkaca pada Bus Trans Medan Binjai Deliserdang Karo (Mebidangro) yang telah beroperasi, tapi hingga kini kurang diminati masyarakat.”Lihat saja bus Mebidangro sehari-hari penumpangnya selalu sepi. Apalagi mau buat LRT, saya pesimistis itu diminati masyarakat,” pungkasnya.

Sementara, pengamat Lingkungan dari Universitas Sumatera Utara (USU), Jaya Arjuna mengungkapkan, proyek ini harus memperhatikan dampak lingkungan (Amdal) dan sosial. Namun, sebelum membuat kajian analisis itu, pemerintah harus terlebih dahulu membuat kajian ekonomi dan serta teknis program tersebut. Dari kedua kajian itu, barulah bisa diajukan kajian Amdal.”Pemerintah harus perhitungkan dulu kajian ekonominya, apakah program ini bisa menguntungkan. Jangan pula nanti investasinya saja yang besar tapi malah tidak diminati masyarakat,” kata Jaya.

Jaya menuturkan, jalur BRT dan LRT harus disebutkan dengan jelas sehingga tidak membingungkan masyarakat. Kajian ini harus disosialisasikan jauh-jauh hari. “Jangan sampai nanti masyarakat jadi bingung sendiri apa fungsi BRT dan LRT,” ujarnya.

Diketahui, kajian sementara Pemko Medan, jalur LRT akan melintasi Stasiun Besar Kereta Api Medan, Jalan Williem Iskandar, Jalan M Yamin, Jalan Gatot Subroto, Jalan Iskandar Muda, Jalan Universitas Sumatera Utara (USU), Jalan Setia Budi, Jalan Djamin Ginting, dan terakhir di Pasar Induk Laucih, Tuntungan.

Sedangkan jalur BRT akan menghubungkan kawasan sub pertumbuhan ekonomi di kawasan sekitar inti kota, seperti Pasar Induk Laucih, Terminal Amplas, dan Pelabuhan Belawan untuk menuju kawasan inti kota. Namun disiapkan juga rencana melintasi Jalan Sisingamangaraja atau batas kota menuju Lapangan Merdeka, Jalan Gatot Subroto, hingga Kampung Lalang. (ris/ila)

 

Exit mobile version