Site icon SumutPos

PKS Sorot Pembatalan Haji 2020

Ilustrasi

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Terkait pembatalan ibadah Haji 2020, politis PKS yang duduk di DPRD Sumut mengingatkan pemerintah agar jangan membuat kebijakan blunder. “Kita belum menemukan rasionalitas dan urgensi pembatalan pemberangkatan haji ini.

Jangan sampai terulang saat pemerintah tidak mengizinkan mudik atau pulang kampung, tapi selang beberapa hari muncul informasi bahwa mudik dibolehkan,” kata Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPRD Sumut, Hendro Susanto dalam keterangan tertulisnya kepada Sumut Pos, Kamis (4/6).

Ia mengungkapkan, sesaat setelah kabar pembatalan ibadah haji, konstituen mereka banyak yang bertanya. “Mereka menanyakan, apa betul begitu? Jangan-jangan nanti berubah lagi. Ini jelas membuat resah para jamaah calon haji,” ujarnya.

Untuk menjawab keresahan ini, F-PKS DPRD Sumut akan berkoordinasi dengan F-PKS DPR RI. Hemat pihaknya, penerbitan keputusan menteri agama (KMA) masih memiliki berbagai kelemahan.

Pertama, KMA tersebut belum mendapat persetujuan DPR RI dalam hal ini Komisi VIII. Kedua, penerbitan KMA bertentangan dengan Pasal 20 UU No.34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Pada ketentuan Pasal 20 UU No.34/2014 disebutkan; (1) Pengelolaan Keuangan Haji dilakukan oleh BPKH; (2) BPKH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum publik berdasarkan UU ini; (3) BPKH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. (4) Pengelolaan Keuangan Haji oleh BPKH dilakukan secara korporatif dan nirlaba.

Sedangkan dalam KMA tersebut pada diktum Menetapkan Kedua huruf (b) dan (d) mengatur kewenangan, tugas, dan fungsi BPKH dengan membuat norma baru yang berbunyi: ‘Setoran pelunasan Bipih pada Penyelenggaraan Ibadah Haji tahun 1441 H/2020 M akan disimpan dan dikelola secara terpisah oleh BPKH’. Artinya, penerbitan KMA No 494 Tahun 2020 tentang Pembatalan Keberangkatan Jamaah Haji Tahun 1441 H/ 2020 M bersifat cacat secara hukum dan tidak sesuai dengan hubungan ketatanegaraan antara DPR dan Pemerintah.

Jika mengacu pada KMA tersebut, calon jamaah haji diberikan dua opsi, yakni dana yang sudah disetor bisa ditarik atau disimpan secara khusus oleh BPKH untuk nanti dikembalikan.

“Sebenarnya ini merupakan satu bentuk niat baik menteri agama. Tetapi dilakukan dengan cara yang kurang tepat. Sebab, menteri agama secara sepihak menambah kewenangan dan fungsi baru kepada BPKH tanpa persetujuan DPR. Artinya, menteri agama melanggar UU yang sudah disepakati antara Presiden dan DPR,” kata Hendro.

Sebaliknya, sambung dia, jika pemerintah Arab Saudi memutuskan pelaksanaan ibadah haji 2020 ditiadakan, maka patut hormati. “Dan calon jamaah haji tetap bersabar sampai tahun depan. Awas, jangan sampai menjadi prank loh, keputusan Kemenag tersebut,” demikian dia. (drc/ian/prn)

Exit mobile version