Site icon SumutPos

Pukat Trawl Ditangkap-Lepas di Laut

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
DEMO_Ratusan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Sumatera Utara berunjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Senin (5/2). Mereka menolak keberadaan pukat harimau karena dapat mengurangi hasil tangkapan nelayan tradisional.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Seribuan nelayan asal Pantai Timur Sumatera Utara (Sumut) mendatangi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, Senin (5/2). Mereka kesal dengan pemerintah yang terkesan tidak tegas menindak para pengguna pukat trawl, cantrang, hela dan sebagainya.

Puluhan perwakilan nelayan yang diterima Komisi B DPRD Sumut di ruang rapat Badan Musyawarah (Banmus) menyampaikan, saat ini kapal pukat trawl dan sejenisnya (pukat harimau, pukat hela dan pukat grandong) masih beroperasi dan menangkapi ikan dengan cara yang dilarang pemerintah.

Seperti di kawasan Belawan, masih ada pukat grandong yang beroperasi. Pukat itu beroperasi di daerah bibir pantai sehingga menyebabkan kerusakan ekosistem. Saat ini, kapal berukuran 30 GT sudah tidak beroperasi. Namun para nelayan meminta agar kapal yang berukuran di bawah 30 GT juga ditertibkan.

“Kepada DPRD, agar dapat segera membuktikan peraturan yang sudah diberlakukan oleh Ibu Menteri. Sampai sekarang belum ada buktinya. Pihak yang berwenang seperti memberikan lampu hijau,” kata Hanafi, perwakilan nelayan Serdangbedagai.

Dia juga meminta agar pemerintah segera melaksanakan aturan seperti tertuang dalam Permen KP Nomor 71 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia bahwa setiap pelanggar disanksi pidana 5 tahun. “Sampai sekarang tidak ada penangkapan. Ada yang ditangkap di Sergai, dibawa ke Batubara dan dilepas. Sehingga kita melihat ada dugaan ajang bisnis dalam kelautan,” sebut Hanafiah. Ia menilai, aturan seolah ditarik ulur.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
DEMO_Ratusan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Sumatera Utara berunjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Senin (5/2). Mereka menolak keberadaan pukat harimau karena dapat mengurangi hasil tangkapan nelayan tradisional.

Perwakilan nelayan dari Langkat Zulham, juga bercerita bagaimana kecewaanya dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Sumut. Menurut dia, ada main mata antara dinas perikanan dengan pengusaha kapal. “Lebih baik dinas perikanan ini dibubarkan saja kalau nggak mampu. Ini jadi bisnis , ada kucing-kucingan, ada tangkap lepas. Saya sampai berpikir, jadi teroris untuk menghapus kebatilan seperti ini. Kalau saya fitnah, saya siap ditembak mati,” ungkapnya.

Dalam pertemuan yang berlangsung, suasana sempat memanas. Para nelayan menuding anggota DPRD tidak memberikan solusi konkrit atas permasalahan mereka. Apalagi permasalahan pukat ini sudah menjadi konflik lama.

Ketua Aliansi Nelayan Sumatera Utara (ANSU) Surtrisno mengungkapkan, ada 200 ribu nelayan tradisional yang ada di Sumut. Mereka mengaku bisa mengoperasikan pukat trawl. Namun, mereka tidak mau karena masih menjaga keberlangsungan ekosistem laut. “Kami tidak akan berhenti, jika proses tidak disegerakan. Skema dari pemerintah ini sudah bagus. Januari lalu harusnya penindakan. Kami merasakan, kami diancam, ditabrak oleh nelayan modern. Kalau tidak ada perhatian dari penerintah, bisa jadi terjadi konflik sosial. Kami ingin mempertegas, apakah DPRD bisa membuat peraturan daerah,” ungkap Sutrisno.

Menyikapi ini, Anggota DPRD Sumut Mustofawiyah Sitompul bersama Wakil Ketua Komisi B Aripay Tambunan dan anggota Komisi B lainnya Zulfikar mengatakan, tuntutan para nelayan agar kapal dan alat tangkap ikan jenis pukat trawl bisa ditertibkan merupakan amanah yang diatur dalam Permen KP dan Undang-undang sejak lama. Sehingga hal ini akan segera meraka sampaikan ke pimpinan dewan untuk diteruskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta.

“Pernyataan ini akan kita sampaikan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saya tidak tahu, konstitusi yang sudah ditetapkan kenapa masih diulur-ulur. Semoga nanti ini jadi pertimbangan bagi pusat. Prinsipnya kami mendukung pernyataan sikap ini,” kata Mustofawiyah.

SUTAN SIREGAR/SUMUT POS
DEMO_Ratusan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Sumatera Utara berunjuk rasa di depan gedung DPRD Sumut Jalan Imam Bonjol Medan, Senin (5/2). Mereka menolak keberadaan pukat harimau karena dapat mengurangi hasil tangkapan nelayan tradisional.

Sementara terkait adanya laporan masyarakat mengenai kapal pukat trawl yang sempat ditindak namun kemudian dilepaskan kembali, Direktur Ditpol Air Polda Sumut Kombes Pol Syamsul Badhar mengakui hal tersebut. Menurutnya, itu dilakukan karena sebelumnya pada Desember 2017 lalu dalam seminar tentang kelautan, pihak Kementerian KP meminta agar kapal penangkap ikan yang beroperasi tidak sesuai aturan untuk dilakukan penyitaan alat tangkapnya dan diberikan peringatan. Perlakuan ini berbeda dengan kapal dari negara luar yang dianggap mencuri ikan di perairan Nusantara. “Jadi apa yang saya lakukan itu bukan di bawah tangan. Saya laporkan kepada publik dan ke pimpinan. Ini sudah saya antisipasi sebelum 31 Desember 2017, berakhirnya surat edaran dari Dirjen Tangkap (Kemen KP). Jadi diminta agar dikasi peringatan dulu, kalau melanggar lagi, tangkap,” sebutnya yang mengaku menghadirkan pihak DItjen Tangkap dan PSDKP Belawan terkait penangkapan kapal.

Terkait pengembalian kapal setelah ditangkap, Badhar menyebutkan, hal itu benar dilakukan agar nelayan yang bersangkutan bisa kembali mencari ikan. Namun untuk alat tangkap yang ada, telah mereka sita. Alasannya, setelah menangkap kapal, perlu disadarkan dan diberikan kesempatan untuk mencari nafkah.

“Saya sudah prediksi ini akan terjadi. Kalau tindakan, kita sudah beri peringatan tertulis dan meminta mereka buat surat pernyataan tidak mengulang lagi. Alat tangkap kita serahkan ke Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai pembina,” sebutnya.

Sementara nelayan Tanjung Balai Zainal Arifin menyebutkan, persoalan tangkap menangkap kapal pukat trawl dan sejenisnya adalah aturan yang telah ada sejak lama, dimana alat tangkap dalam skala besar memang tidak diperbolehkan beroperasi. Namun meskipun sudah ada aturan, keberadaannya tetap masih banyak dan meresahkan nelayan tradisional.

“Kami minta agar itu ditindak, kenapa harus dilepaskan? Padahal sudah jelas itu ada pidananya. Kalau tidak sanggup menindak, biarkan kami yang menindak. Jangan saat ada pelanggar tidak diberi sanksi tegas, sementara kami yang menindak, dikriminalisasi. Makanya kami minta agar pemerintah dan aparat hukum menertibkan kapal pukat trawl dan sejenisnya itu,” sebutnya.

Menyikapi itu, Wakil Ketua Komisi B DPRD Sumut Aripay Tambunan mengatakan, persoalan ini harus bisa dijelaskan oleh Kementerian KP, mengingat sampai sekarang juga belum ada kejelasan soal pengganti alat tangkap yang disita dan yang dilarang digunakan negara, sebagaimana dijanjikan oleh Kementerian dimaksud.

“Makanya kami akan tanya langsung ke Kementerian Kelautan dan Perikanan penjelasan tentang pembatasan jalur penangkapan ikan dan penempatan alat bantu penangkapan ikan, sehingga tidak merugikan nelayan. Zona itu yang mau kami pertanyakan ke pusat 21 Februari nanti. Karena kapal ikan yang 5 GT ke atas (di bawah 10 GT) juga kan ada aturannya,” sebut Aripay.

Menurutnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam hal ini tidak memberikan sosialisasi terlebih dahulu terhadap hadirnya Permen KP 71/2016. Selain itu, janji pemerintah pusat yang akan menganti alat tangkap ikan nelayan yang dianggap tidak sesuai aturan, juga tidak kunjung datang. Sehingga menuruntya, hal inilah yang memicu munculnya potensi konflik antar nelayan.

Suasana mengharukan begitu terasa saat ribuan nelayan tradisional dari 7 daerah itu mengawali aksinya dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan diikuti pembacaan teks Pancasila. Seluruh pengunjuk rasa terlihat sangat bersemangat menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin koordinator aksi, Syawaluddin Pane.

Begitu juga halnya saat pembacaan teks Pancasila dimana seluruh peserta juga dengan suara lantang terdengar mengikutinya. Mereka datang dengan membawa poster berisi penolakan terhadap pukat yang dianggap telah merugikan nelayan kecil. Unjuk rasa mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian. Beberapa mobil water cannon juga disiagakan dari dalam gedung. (pra/jpg/bal/adz)

Exit mobile version