Site icon SumutPos

Dipaksa Minum Air Seni Biar tak Ngantuk

Kisah Dua PRT Asal Indramayu yang Disiksa di Medan (1)

Khuraini (16) dan Munisa (17) meninggalkan Indramayu Jawa Barat berbekal beribu harapan. Tapi apa daya, dijanjikan bergaji tinggi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Tangerang, mereka malah ‘dibawa lari’ ke Medan. Mereka pun dipaksa minum air seni agar tak ngantuk oleh majikan.

Kesuma-Jonson, Medan

Begitulah, lewat janji manis yang dibisikkan ke telinga, serta iming-iming mendapatkan gaji Rp600 ribu per bulan, warga Desa Bondan, Blok Kegeneng, RT VI, RW III Kecamatan Sukagumiwang, Kabupaten Indramayu itu bertekad menjadi PRT. Apalagi, janji itu disampaikan seorang penyalur tenaga kerja yang mengaku dari Yayasan Sari Bhakti Mandiri. Penyalur bernama Sunani menawarkan kerja di Tangerang, bukan Medan.

Dengan niat tulus untuk membantu perekonomian keluarga Khuraini dan Munisa mencoba bertaruh nasib untuk bekerja di luar daerah tempat tinggalnya. Sayang, niat baik mereka hempas dan berakhir tragis.

Pengakuan ini didapat langsung dari Khuraini saat ditemui di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD dr Pirngadi Medan, Kamis siang (5/4) sekitar pukul 13.00 WIB. Anak bungsu dari dua bersaudara ini pun menceritakan kisah pilu mereka bisa sampai ke Medan dan bekerja di kediaman Benny Candra di Komplek Perumahan Graha Sunggal, Blok H Nomor 9.

Semua bermula sejak awal Januari 2011 silam. Ketika itu, Khuraini dan Munisa yang dijanjikan bekerja di Tanggerang ternyata dibawa ke Medan oleh si penyalur dan diperkenalkan dengan majikannya Benny Candra serta isterinya Lili Wiki Miati. Meskipun sempat curiga karena daerah yang dituju tidak sesuai dengan kesepakatan awal, namun Khuraini dan Munisa terbujuk janji manis sang majikan.

“Dia bilang (majikan perempuan, Lili) di Medan hanya untuk berkeliling saja dan setelah itu nanti akan kembali ke Tanggerang. Ternyata dia bohongi kami,” aku Khuraini.
Awalnya biasa saja. Rumah majikan mereka cukup besar. Pada bulan pertama, keduanya mendapatkan perlakukan dan perhatian layaknya seorang majikan yang sangat bertanggung jawab. Selain mendapatkan makan secara rutin yakni tiga kali sehari, mereka juga mendapatkan perhatian yang cukup dari kedua majikannya. Keduanya pun merasa nyaman untuk bekerja walau belum pernah menikmati gaji yang dijanjikan.

Memasuki bulan keempat, sebuah perlakuan tidak manusiawai mulai dirasakan Khuraini dan Munisa. “Tiga bulan saja mereka baik sama kami. Setelah itu kami sering dipukuli, dilempar baskom, dan selalu disiksa jika membuat kesalahan saat kerja,” kenang Khuraini.

Bahkan untuk mengganjal perut mereka, keduanya hanya diberikan segenggam beras tanpa lauk pauk dan makanan penyerta lainnnya. “Untuk makan, beras yang dikasih majikan, saya masak menjadi bubur untuk kami makan. Kalaupun kami merasa lapar, biasanya secara diam-diam kami mengambil sisa makanan mereka (majikan). Kalau ketahuan kami selalu dimarahi bahkan sisa makanannya dibuang ke tempat sampah,”tambahnya.

Khuraini juga pernah dipukul dan ditendang majikan prianya ketika dianggap tidak bersih saat mengepel kolong kursi. Bahkan dia juga mengaku sering ditampari oleh majikan perempuannya karena tidak sempurna saat mengerjakan tugas lain yang diperintahkan. Siksaan tidak hanya datang dari kedua majikannya saja. Anak majikannya yang masih duduk di bangku kelas II SMA pun setali tiga uang.

Parahnya lagi, Khuraini sempat menerima perlakuan tak wajar. “Setiap tengah malam kami secara bergantian disuruh nyuci baju. Dan ini harus dikerjakan malam karena kalau pagi masih banyak pekerjaan lain yang harus kami kerjakan. Saat menyuci baju, dia (majikan perempuan) memaksa kami meminum air seninya dengan alasan agar tidak mengantuk,” bilang Khuraini.

Tentu saja keduanya tak mau, namun mereka sama sekali tidak bisa menolak. “Meskipun berulang kali muntah tapi dia tetap maksa kami menghabiskannnya. Saking seringnya sampai saat ini, saya gak ingat lagi berapa kali sudah meminum air seni mereka,” tambah wanita yang hanya bisa menikmati pendidikan sampai kelas V SD itu.

Khuraini juga mengakui jika mereka tidak boleh menangis, harus tegas, dan siap menerima segala siksaan di bawah ancaman sang majikan. “Mereka selalu mengancam kalau kami melangkahkan kaki selangkah saja keluar dari rumah, maka kedua orangtua kami akan dipenjara. Itulah alasan kenapa kami tetap bertahan di rumah itu,”ucapnya sedih.

Beruntung, setelah setahun merasakan siksaaan, keduanya berhasil kabur. Ya, meski harus melompat dari jendela yang berada di lantai dua. (bersambung)

Exit mobile version