Site icon SumutPos

Korban Prostitusi untuk Gay Jadi 148 Anak

FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS Petugas kepolisian saat merilis pelaku kasus Prostitusi Anak di Jakatra, Jumat (2/9/2016).Tiga orang ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus prostitusi anak untuk kaum gay dengan inisial AR, U dan E.
FOTO: MIFTAHULHAYAT/JAWA POS
Petugas kepolisian saat merilis pelaku kasus Prostitusi Anak di Jakatra, Jumat (2/9/2016).Tiga orang ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus prostitusi anak untuk kaum gay dengan inisial AR, U dan E.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Jumlah korban mucikari anak AR dan U terus bertambah. Setelah sebelumnya dipastikan ada 103 anak, kini penyidik Bareskrim menemukan adanya 45 korban lain. Dengan begitu, total korban prostitusi anak untuk gay dan pedofilia menjadi 148 orang.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dirtipideksus) Bareskrim Brigjen Agung Setya menuturkan bahwa dari pendalaman bukti berupa alat komunikasi dari tersangka dan korban, maka diketahui memang ada korban lain yang jumlahnya 45 orang. ”Mereka sedang diidentifikasi,” tuturnya.

Bila, sebelumnya hanya ditemukan korban berasal dari Bogor dan Bandung, kali ini korban juga ada yang berasal dari Jakarta. ”Kami sedang koordinasi dengan Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” jelasnya.

45 orang korban yang baru diketahui ini tentunya akan treatment oleh kementerian. Bahkan, orang tua dari mereka juga akan dilakukan pendekatan. ”Kami belum memberitahu orang tuanya, nanti proses itu bersama dengan kementerian dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia,” ujarnya.

Dari para korban ini akan diidentifikasi berapakah jumlah yang masih usia anak. Dia menuturkan, nanti yang usia anak akan diberikan konsultasi psikologis yang berbeda dengan yang sudah dewasa. ”Tapi, pada dasarnya sama agar menyembuhkan penyimpangan mentalnya,” paparnya.

Agung menuturkan dengan kasus prostitusi anak ini, Bareskrim menargetkan mengetahui semua pelaku mucikari dan pengguna. Sehingga, kasus ini terungkap dari hulu ke hilirnya. ”Kalau mucikari dan pelaku semuanya tertangkap, maka kemungkinan jatuh korban dari perbuatan keduanya tentu bisa diantisipasi,” terangnya.

Masalahnya hingga saat ini Bareskrim masih yakin ada mucikari dan pengguna yang masih lolos. Karenanya, semua orang tua diharapkan tetap waspada dengan ancaman dari predator anak tersebut. ”Kami masih ada target lain,” tuturnya.

Menurutnya, hingga saat ini semua pengumpulan bukti dan keterangan saksi terus dihimpun untuk memastikan siapa saja yang masih lolos itu. ”Dalam waktu dekat, semoga bisa ditangkap yang lainnya,” jelasnya.

Hingga saat ini jumlah tersangka kasus prostitusi anak untuk gay masih tiga orang, yakni AR, U dan E. AR dan U merupakan mucikari, E adalah salah satu konsumen dari AR. Ketiganya dijerat dengan undang-undang perlindungan anak dengan ancaman hukuman lebih dari 10 tahun.

Pakar Pendidikan Anak Seto Mulyadi menjelaskan, akar masalah dari kejahatan seksual anak itu bisa bermula dari banyak sebab. Faktor yang paling dominan selama ini adalah soal kondisi ekonomi orang tua. Hal tersebut membuat orang tua menjadi kurang konsen terhadap tumbuh kembang anak. ”akhirnya, pergaulan anak menjadi tidak terkontrol,” tuturnya.

Karena itu, perlindungan terhadap anak ini perlu penanganan yang lintas sektor. Yakni, memperbaiki perekonomian masyarakat dan meningkatkan pemahaman orang tua. Caranya, bisa dengan membuat satgas perlindungan anak dalam tingkat rukun tetangga dan rukun warga. ”Satgas ini menjadi mata dan telinga untuk pemerintah kota dan pihak kepolisian,” paparnya.

Dia menjelaskan, satgas perlindungan anak ini masuk dalam salah satu bidang rukun tetangga. Dengan begitu, maka ada pihak yang bisa memberikan perlindungan terhadap anak. ”Kalau masalahnya soal ekonomi, tentu satgas ini bisa mengusulkan ke pemerintah kota atau kabupaten,” ujarnya.

Bahkan, satgas perlindungan anak ini bisa terus berkoordinasi dengan unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) di setiap polsek dan polres. Informasi dari satgas perlindungan anak ini bisa menjadi kunci utama mencegah kejahatan anak. ”Kalau setiap saat komunikasi dengan unit PPA dan mendata jumlah anak, serta kondisinya di setiap RT tentu akan lebih mudah,” jelasnya.

Sayangnya, saat ini satgas perlindungan anak tingkat RT dan RW baru dibentuk di empat kota, yakni Tangerang Selatan, Bekasi, Kabupaten Banyuwangi dan Bengkulu Utara. Kota yang lainnya belum ada satgas atau seksi perlindungan anak. ”Ini membutuhkan kepedulian pemerintah pusat dan kota,” jelasnya.

Yang utama, dengan keberadaan satgas ini, maka orang tua bisa memiliki tambahan masukan dalam mendidik anak. Bahkan, bisa membuat anak menjadi agen yang anti kekerasan dan kejahatan seksual. ”Orang tua belum tentu memahami bagaimana cara membuat anak lebih peka terhadap adanya orang yang berniat jahat,” tuturnya.

Ada beberapa trik agar bisa mendidik anak menjadi agen anti kejahatan seksual, misalnya orang tua mengajarkan bahwa ada bagian tubuh yang dilarang dipegang oleh orang asing. Seperti, dada dan alat vital. ”perlu diberikan contoh, dalam situasi seperti apa baru diperbolehkan pegang. Misalnya, ke dokter dan mandi saja,” ujarnya.

Lalu, anak bisa diberikan cara mencegah agar anggota badannya tidak dipegang orang asing. Misalnya, dengan berteriak dan minta tolong. Atau, melapor kepada orang tua. ”Ini sederhana, namun penting untuk dalam kondisi tertentu mencegah pelecehan dan kejahatan seksual,” paparnya.

Kepekaan anak juga perlu untuk ditingkatkan dengan membiasakan tidak mandi di tempat yang terbuka. Biasanya, anak-anak ini dibiarkan saja mandi di teras atau hujan-hujanan. Sebenarnya, aktivitas semacam itu membuat anak menjadi terbiasa membuka baju dan membuat predator anak makin mudah memangsa. ”Biasakan anak mandi di tempat tertutup. Jangan diperbolehkan orang lain melihat bagian tubuh,” terangnya.

Yang juga penting, biasakan anak untuk tidur sendiri dan jangan biasakan tidur dengan seseorang, walaupun keluarga. Kas Seto menjelaskan bahwa sebenarnya sebagian besar kejahatan seksual terhadap anak itu timbul dan dilakukan oleh orang terdekat, seperti keluarga. Maka, kebiasaan yang bisa memunculkan kejahatan itu harus ditepis. ”Kalau anak sudah memahami itu, maka dia sudah menjadi agen anti kejahatan seksual,” tuturnya.

Selain mendesak segera disahkannya Perppu Nomor 1 tahun 2016 tentang perlindungan anak, Ketua KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) Asrorun Ni’am Soleh turut menghimbau masyarakat untuk mengenyahkan sifat permisif terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Salah satunya, tentu berkaitan dengan maraknya perkumpulan gay saat ini. Sebab bila tidak, tak menutup kemungkinan akan menyasar anak-anak kita.

”Modus kejahatan seksual semakin beragam, jenisnya, tempatnya, korbannya. Seperti kasus Bogor, ada variable gay. Kita harus bersama-sama komitmen untuk memerangi kejahatan seksual ini. Jangan cenderung permisif karena menganggap sudah biasa,” tuturnya.

Diakuinya, pembahasan soal orientasi seksual ini ada pro kontra yang terjadi. Ada elemen masyarakat yang selalu kontra saat ddiajakn ikhtiar untuk menyelesaikan masalah di hulu. Seperti, soal upaya adanya aturan pemberian pidana bagi pelaku perzinaan di luar pernikahan, termasuk di dalamnya hubungan sesama jenis, yang tengah uji materi di Mahkamah Konsitusi. Uji materi dilakukan untuk pasal 284, 285 dan 292 KUHP Undang-undang dasar.

”Mereka berdalih bagian ekspresi kebebasan, orientasi seksual suka sama suka, wilayah private. Tapi begitu disajikan kasus bogor, semua mengutuk pelaku. Empati. Seandainya, anak kita yang terseret bagaimana,”paparnya.

Dia menekankan, kebebasan tetap ada batasan. Yakni norma. Dan norma ini, harus ditegakkan bukan hanya bagi anak-anak saja. Namun, berlaku universal yang harus dipahami bersama-sama. ”Jangan karena sudah dewasa, jadi perilaku (homoseksual) dibiarkan. Atau bahkan diberikan ruang toleransi. Lalu, diserap oleh anak jadi kalau sudah dewasa boleh. Bukan demikian,” tegasnya. Tentu, lanjutnya, upaya ini tetap harus diimbangi dengan pola pengasuhan yang baik pada anak. Tak lupa, pengawasan
Sementara itu, Deputi Bidang Perlindungan Anak di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Pribudiarta Nur Sitepu menjelaskan bahwa semua factor anak terjun dalam prostitusi anak tersebut berpusat dari lemahnya pengawasan dan pengasuhan dari orang tua. Karena tidak semua anak yang lahir di keluarga miskin terlibat di dalam bisnis prostitusi.

Begitu juga tidak semua anak yang salah pergaulan nasibnya pasti berujung pada bisnis prostitusi. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa peran keluarga terdekat atau orang tua menjadi hal yang sangat vital dalam memberikan perlindungan dan hak-hak kepada anak-anak mereka.

“Jadi masalah prostitusi atau kekerasan terhadap anak bukan hanya tugasnya pemerintah saja, tapi semua sektor, pemerintah, masyarakat, polisi, maupun sekolah. Namun kami melihat hulunya ada pada peran orang tua,” kata Pribudiarta dalam sebuah kesempatan kepada Jawa Pos, kemarin.

Pribudiarta menuturkan, bisa jadi orang tua yang anak-anaknya sampai menjadi korban bisnis prostitusi merupakan orang tua yang kehilangan kemampuan dalam mengasuh anak. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena beberapa hal, salah satunya yakni ketidaksiapan mereka dalam mengemban tugas sebagai orang tua. “Ini namanya orang tua yang tidak siap menjadi orang tua,” tuturnya.

Karena itu, dia mengusulkan sebuah gagasan yang baru dalam perlindungan anak. Yakni merehabilitasi orang tua yang memiliki anak yang menjadi korban bisnis prostitusi karena terbukti gagal dalam memberikan pengawasan kepada anaknya.

“Kalau mencontoh di beberapa negara maju, pemerintah bisa mencabut hak asuh orang tua kalau mereka dianggap lalai mengasuh anak, dan ada unit khusus merehabilitasi orang tua,” ujarnya.

Dia mengatakan bahwa gagasan tersebut dapat digunakan di Indonesia mengingat masih banyaknya jumlah anak-anak yang terlantar atau “salah tempat” karena orang tua mereka yang gagal menjadi orang tua. Meski saat ini hal tersebut memang belum ada, namun sudah ada contohnya di Jawa Barat (Jabar) yang memiliki lima ribu fasilitator keluarga dan di Jawa Tengah (Jateng) yang menerapkan pengawasan anak berbasis masyarakat.

“Kami terus mendorong teman-teman di pemerintah daerah (Pemda) agar orang tuanya yang anaknya jadi korban juga ikut direhabilitasi,” imbuhnya. (idr/mia/dod/bay/jpg)

Exit mobile version