Site icon SumutPos

Nyawa Nyaris Melayang Saat Melahirkan

Foto: M Salsabyl Adn/JAWAPOS
A, 20, sedang berkumpul dengan ibu-ibu muda lainnya di salah satu desa Kecamatan Majalaya. Dua minggu lalu, dia akhirnya memutuskan cerai setelah empat tahun mengalami KDRT. Foto diambil pada Minggu, (2/4/2017).

SUMUTPOS.CO – Wajahnya yang imut masih terlihat pucat. Badannya terlihat ringkih, tergeletak di salah satu bangsal Rumah Sakit Majalaya, Bandung Selatan, Minggu lalu (2/4). SA, inisial namanya, sekilas seperti sedang dirawat karena diare atau terkena serangan virus lain.

Namun, SA bukan sedang dirawat karena sakit. Perempuan 13 tahun itu baru saja melahirkan dua hari sebelumnya. Melahirkan di usia 13 tahun? Ya…!

”Nggak papa. Ya sudah lah, sudah ikhlas,” kata SA, pasrah, ketika harus melahirkan di usia 13 tahun.

SA adalah potret buram anak Indonesia yang terpaksa menjalani pernikahan di usia anak. Suaminya, SP juga masih sangat muda, 20 tahun. Bisa dibayangkan, betapa mereka sangat belum siap menjalani kehidupan sebagai ayah dan ibu. Secara fisik maupun mental.

Jumat (31/3), nyawanya dalam bahaya. Karena tulang panggulnya kelewat kecil, dia tidak bisa melahirkan normal. Dia tidak bisa melewati pembukaan 6. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bayi dan ibu adalah operasi Caesar.

Siang itu SA ditemani suaminya. Juga beberapa kerabatnya. Setelah dua hari dirawat, dia akhirnya diizinkan untuk pulang. Dia hanya tinggal menunggu persetujuan dokter.

Dengan kemeja merah motif kotak dan bawahan sarung, SA berkali-kali tidur lalu bangun menunggu tandatangan dokter yang tak kunjung tiba. Ketika ditanya keadaan, dia berulang-ulang mengatakan bahwa dia baik-baik saja.

’’Sekarang cuma sedikit sakit. Tapi, sudah nggak apa-apa,’’ ujarnya.

Soal perasaan, gadis pemalu itu tetap saja berulang-ulang mengatakan bahwa dirinya baik-baik. Namun, kisah dibalik perempuan yang sering senyum malu-malu itu tak seenteng yang terlihat.

Nasib SA bisa saja berbeda. Jika tidak ada kader desa sekaligus pendamping SAPA Institut, LSM yang memperhatikan masalah perempuan, membantu dia. Perempuan tersebut baru diketahui hamil saat usia kehamilannya mencapai tujuh bulan. Orang tua yang mengetahui itu pun tanpa pikir panjang langsung menikahkan SA dengan SP melalui lebe, penghulu yang menikahkan secara agama.

Praktis, pernikahan itu membuat mereka berhenti sekolah. Masing-masing hanya mengantongi ijazah SMP.

Masalah demi masalah kemudian bertubi-tubi datang. Karena latar belakang ekonomi kedua keluarga yang tak mampu, SA enggan memeriksakan kandungan. Setelah beberapa bulan dibujuk sang kader, barulah dia berangkat untuk melakukan USG. Tapi, setelah diperiksa justru dokter menemukan bahwa SA sudah mengalami pembukaan dan harus segera disiapkan untuk bersalin.

Lagi-lagi, dia dibantu agar operasi bisa dilakukan tanpa biaya. Karena BPJS yang dimiliki ditolak setelah SA tak bisa menyediakan surat nikah. Menyediakan uang sebanyak Rp 12 juta untuk operasi juga bukan hal memungkinkan. Sang suami kini hanya bekerja sebagai pengantar galon dengan bayaran Rp 1.000 per galon. Bapak SA bekerja serabutan sedangkan ibu bekerja di pabrik tekstil dengan bayaran Rp 150 ribu per minggu.

Kalau saja tidak ada bantuan dari SAPA Institute, nyawa SA bisa saja tidak tertolong.

Soal masa depan, SA hanya bisa bilang gimana nanti wae. Pun demikian dengan bagaimana membesarkan anaknya yang belum dikasih nama itu. ’’Ya nanti dibantu sama ibu,’’ ucapnya pasrah.

Yang mungkin tak disadarinya, bagaimana kehidupannya bakal berubah dalam beberapa tahun kedepan. Apa yang mungkin disebut cinta remaja bisa jadi gubuk derita.

Tidak kalah memilukan kisah AN. Baru berusia 20 tahun, dia sudah menyandang status janda. Dia cerai dua pekan lalu.

AN memutuskan menikah dengan RA, tetangganya, empat tahun lalu. Ketika usianya masih 16 tahun. Saat itu, dia merasa RA merupakan jodohnya. Setelah pacaran satu tahun, dia merasa sudah sewajarnya hubungan itu masuk ke jenjang pernikahan.

’’Pikiran saya waktu itu nikah saja soalnya sudah capek kerja. Saya mikirnya suami nanti bakal lurus soalnya berani ngelamar,’’ ungkapnya lirih.

Tapi keberanian RA melamar AN tidak dibarengi niat dan kesungguhan untuk membangun keluarga yang bahagia. Pria yang lebih empat tahun dari AN itu malah membuat sengsara kehidupan sang istri. Daripada membahagiakan dan memenuhi kebutuhan hidupnya.

RA, justru sering mabuk dan main perempuan. Saat AN marah, pria yang bekerja serabutan itu justru berbalik marah. Tidak jarang dia melayangkan pukulan ke wajah AN. ’’Pernah waktu anak masih satu tahun, saya tanya soal selingkuhannya, dia malah mukul muka saya sampai bengkak,’’ kenangnya.

Kini, dengan putri yang berusia 3,5 tahun, dia berniat untuk memulai hidupnya lagi dengan mencari pekerjaan. Dan satu yang pasti, dia tak ingin putrinya mengulangi kesalahannya di masa depan nanti. ’’Nikahnya nanti saja kalau sudah 19 tahun atau 20 tahun,’’ katanya tentang cita-citanya kelak.

Kisah SA dan AN menunjukkan anak perempuan di Indonesia belum lepas dari ancaman bahaya pernikahan dini. Di wilayah-wilayah dengan tingkat perekonomian yang buruk, kasus seperti itu sangat barak. Studi yang dilakukan UNICEF dan Badan Pusat Statistik menyebut bahwa 1 dari empat anak perempuan menjadi korban pernikahan usia anak. (selengkapnya baca grafis).

RS, ibu berumur 34 tahun yang kini juga ikut menjadi kader SAPA Institute, tahu benar bagaimana dampak menikah saat usia muda. ’’Saya nikah pas umur 14 tahun. Karena ada om-om umur 33 tahun nyekokin obat dan saya digituin,’’ kenangnya.

Saat itu, dia tak tahu bahwa itu masuk ke kategori pemerkosaan. Yang dia tahu bahwa dia tak suci lagi. Sampai-sampai dia pernah mencoba bunuh diri. Dan di saat itu pula, dia akhirnya dinikahkan dengan pelaku pemerkosaan itu. Alasannya cuma satu, mencegah aib.

’’Suami orang yang berkecukupan tapi batin saya tersiksa,’’ ceritanya.

Kini, RS terus berusaha untuk hidup positif dan menikah lagi. Namun, dia mengaku memendam benci ke putra sulung yang mempunyai wajah mirip dengan suami pertama. ’’Kalau ingat rasanya nggak enak. Saya jadi takut anak saya kayak bapaknya,’’ ungkapnya.

Kenangan menyakitkan itulah yang membuat dia aktif di SAPA Institute. Dia ingin pengalamannya tidak dialami anak-anak perempuan lain. ”Menikah di bawah usia 18 tahun bukanlah pilihan yang tepat. Jangan sembarangan mengambil keputusan itu,” tandasnya.

Fenomena pernikahan anak sangat sulit untuk diberantas karena kultur dan perekonomian di Indonesia memungkinkan hal itu. Di beberapa daerah minus di Jawa Barat, anak perempuan dianggap sebagai beban keluarga. Ketika dia menikah, maka berkuranglah beban keluarga. Satu anak perempuan menikah, berkuranglah beban satu piring nasi!

Karena belum siap, kelak si anak akan terjebak dalam kondisi kemiskinan seperti orang tuanya. Lagi-lagi kalau punya anak perempuan akan mengalami nasib seperti ibunya. Begitu seterusnya sehingga fenomena itu sangat sulit untuk diputus.

Advokasi Lewat Pendekatan Agama dan Sosial

Mayoritas pernikahan anak berujung pada kehidupan buruk. Namun, ada beberapa kasus pelakunya berkembang menjadi orang yang sukses. Salah satunya adalah Nihayatul Wafiroh, anggota DPR RI dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.

Meski menjadi orang sukses sekarang, perempuan asal Bangkalan itu menegaskan bahwa pernikahan usia anak bukanlah pilihan yang tepat. Karena itu, dia sangat aktif melakukan kampanye untuk mencegah hal itu.

”Saat kuliah, anak saya sudah 15 bulan,” kata Ninik saat dihubungi Jawa Pos.

Ibu dari Ahmad Kavin Adzka dan Muhammad Aqil Mirza itu menuturkant, tidak ada keterpaksaan terkait ekonomi maupun hal lain. Dia menikah dini karena tradisi di lingkungannya.

”Saya sendiri merasakan secara psikologis tidak siap,” ujarnya.

Pengalaman pribadi itu yang dibawa oleh Ninik untuk memperjuangkan pentingnya menghindari proses pernikahan dini. Saat masih menjadi aktivis hingga kini menjadi anggota dewan, Ninik terus aktif memperjuangkan hak perempuan dan anak. Apalagi, di daerah pemilihannya di Bondowoso dan Situbondo, angka pernikahan anak masih terbilang tinggi. Sebagai contoh, data 2015 menunjukkan sekitar 400 perempuan remaja menikah pada usia anak di Bondowoso. Angka itu merupakan yang tertinggi di wilayah Jawa Timur.

”Setiap ke dapil, saya selalu mampir ke ruang NICU rumah sakit, rata-rata bayi yang mendapat perawatan khusus disebabkan ibunya yang usianya remaja,” kata wakil sekjen PKB itu.

Menurut Ninik, saat perempuan mengalami menstruasi, secara fisik dia siap untuk memiliki anak. Namun, faktor psikologis menjadi penentu utama kesiapan perempuan untuk memiliki bayi. Saat remaja, secara psikologis mereka tidak siap untuk bertanggung jawab memiliki anak.

”Mereka kan masih mau jalan-jalan, malu untuk periksa, keuangan belum siap. Itu yang memberikan tekanan pada anak ketika lahir,” ujarnya.

Persoalan utama munculnya pernikahan anak adalah sosialisasi dan regulasi. Dalam hal ini, tidak ada regulasi yang utuh untuk mengatur standar usia pernikahan seorang perempuan. UU perkawinan masih mengatur batas minimal pernikahan adalah 16 tahun. Aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu pernah diajukan uji materi di Mahkamah Konstitusi, namun ditolak. Padahal, bagi Ninik, standar ideal untuk menikah adalah 21 tahun. ”21 tahun itu standar BKKBN, di usia segitu perempuan sudah siap secara fisik dan psikologis,” ujarnya. (bil/bay/ang)

Exit mobile version